Jumat 02 Feb 2018 04:00 WIB

Sufisme dan Harmoni Global

Kerinduan terhadap kehidupan dunia yang damai semakin mendesak saat ini.

 Sufisme atau tasawuf sangat melekat dengan tradisi keislaman masyarakat..
Foto: muslimstoday.info
Sufisme atau tasawuf sangat melekat dengan tradisi keislaman masyarakat..

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail *)

Tak dapat disangkal, banyak pihak kecewa dan cemas menghadapi ancaman kekerasan, intoleransi, dan terorisme yang semakin fenomenal belakangan ini. Termasuk konflik bersenjata dan berda rah yang menahun di negeri-negeri Arab dan Afrika Utara tanpa ada yang bisa mempre diksi kapan semua itu berakhir. Kerinduan terhadap kehidupan dunia yang damai semakin mendesak saat ini.

Tak heran bila banyak pihak mulai menyuarakan perdamaian, tidak hanya pemimpin politik dan aktivis HAM, tetapi menariknya diserukan juga para imam sufi dan pemimpin tarekat di berbagai belahan dunia. Setidaknya, inilah pesan utama para sufi dan pemimpin tarekat dalam seminar inter nasional di Jakarta belum lama ini, yang be tajuk "The role of al-Imam al-Ghazalis's Su fism: Building world civilization in peacefully and harmony".

Seminar diselenggarakan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Mu`tabarah al-Nahdhiyyah (JATMAN), pimpinan Habib Luthfi bin Yahya, Yayasan Amanah Kita (Hartono Limin), UIA (Profesor Achmad Mubarok), dan didukung PBNU. Ada dua hal menarik, untuk didiskusikan dari seminar ini, yaitu sufisme dan Ghazali. Pertanyaannya, mengapa sufisme dan terlebih lagi al-Ghazali perlu diangkat sebagai alternatif untuk membangun dunia yang damai dan harmoni?

Paradigma sufisme

Dari berbagai perspektif keagamaan, tasawuf (sufisme) dipandang lebih menjanjikan untuk mendukung harapan lahirnya ke hidupan dunia lebih damai dibandingkan, misalnya, perspektif fikih yang hitam putih. Apalagi, pendekatan politik, yang me man dang segala sesuatu dari sudut untung rugi. Paradigma sufisme menarik karena konstruksi epistemologisnya dibangun di atas empat prinsip yang membuat ia berbeda dari paradigma Islam lain.

Pertama, Allah SWT sebagai pusat dan sumber kebenaran, diposisikan sebagai Yang Terkasih. Sehingga keberagamaan lebih didorong hasrat ingin dekat, bukan komunikasi patron-client yang didorong ancaman dan rasa takut.

Maka itu, orang beriman kepada Allah dan Rasul mesti meneruskan kasih sayang Allah itu dengan selalu berbuat baik kepada sesama manusia, sesuai misi dasar Islam, rahmatan lil`alamin (QS Al-Anbiya, 21: 107). Kedua, sufisme menekankan semangat peningkatan moral dan keluhuran budi pe kerti. Ini penting karena Islam sejatinya adalah agama akhlak. Seorang tak disebut beragama bila ia mengabaikan akhlak mulia. Semangat dasar Alquran, menurut Pro fesor Fazlur Rahman, adalah membangun ko mu nitas moral yang adil dan egaliter. Ketiga, pemahaman agama didasarkan pada kekuatan rasa, spiritual, dan bukan akal semata.

Dengan terus mengasah dan membersihkan diri dari dosa dan maksiat, mengingat Allah sepanjang waktu, dan melakukan olah jiwa (al-Taftazaniy, al-Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy: 1984), potensi rohani dan kekuatan manusia yang menurut Alexis Carrel tak terbatas, sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah dengan citra ketuhanan, bisa di kenali dan dieksplorasi lebih dalam. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: 1984).

Keempat, para sufi memahami agama tidak hanya dari sisi lahir, tetapi terlebih lagi dari bagian dalam agama sehingga diharap kan mampu menemukan substansi, yakni kebenaran sejati yang bersifat universal. Dari sudut pandang ini, paradigma sufisme tampak memiliki kelebihan, tentu saja di luar kelemahan-kelemahannya. Di antara kelebihannya, ia lebih toleran terhadap perbedaan, baik internal maupun eksternal.

Ia juga lebih terbuka bahkan lebih rendah hati, jauh dari truth claim karena kesadaran bahwa ilmu Allah terlalu luas untuk bisa dicapai semua oleh manusia. Dengan rendah hati Guru Besar Sufi, Syekh Junaid al-Baghdadi, pernah berkata, "Sebuah cangkir teh mana bisa menampung semua air lautan."

Di luar itu, sufisme menekankan cinta kasih kepada sesama manusia, bahkan memperoleh momentum tepat saat ini, kala dunia diancam perpecahan dan kekerasan. Ada dua prinsip ajaran yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, prinsip cinta dan kasih sayang. Kedua, prinsip trilogi persaudaraan, yaitu saudara sesama Islam, saudara sebangsa dan setanah air, dan saudara sesa ma manusia.

Kedua prinsip ini ditegaskan kembali oleh KH Ma`ruf Amin, ketua umum MUI, yang juga rais am Syuriah PBNU, saat membuka acara seminar tasawuf Ghazali di atas. KH Ma`ruf mengharapkan, kedua prinsip yang sudah lama ditanamkan dan dirawat di Indonesia itu, bisa ditiru dan dikembangkan komunitas Islam di tempat lain, terutama di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Bagi Indonesia, doktrin sufistik yang menekankan cinta dan persaudaraan ini menjadi sangat penting, bahkan absolut memasuki tahun politik jelang Pilkada serentak tahun 2018 dan Pilpres 2019.

Terkait pertanyaan mengapa Ghazali, banyak argumen bisa dikemukakan. Pertama, Ghazali diakui sebagai pemikir besar dunia yang mungkin belum ada tandingannya hingga sekarang. Setidaknya, di kalangan Sunni di wilayah Islam bagian Timur. Ia menyabet tiga gelar sekaligus, yaitu sebagai pembela Islam, pembaharu abad ke- 5 Hijriyah, dan yang menyalakan kembali ilmu-ilmu agama. (Qardhawiy, al-Ghazaliy baina madihi wa naqidih: 1984).

Kedua, Ghazali berkontribusi besar dalam percaturan pemikiran Islam, khususnya bidang tasawuf, dalam tiga hal penting, yaitu membersihkan tasawuf dari unsur asing sehingga tasawuf jadi halal di kalangan umat. Selain itu, mendamaikan tasawuf dan fikih serta mengonstruksi pemikiran jalan tengah yang mengandung dan mendukung spirit perdamaian. Tidak hanya antarsekte Islam, tetapi juga antarbudaya dan peradaban dunia.

Dialektika pemikiran Islam saat ini, menurut Doktor Muhammad Imarah, berpusat pada tiga mazhab besar, yaitu literalis-fundamentalis, liberalis-sekularistik, dan moderasi Islam yang merupakan sintesis di antara keduanya. Bagi Imarah, mazhab moderasi Islam lebih menjanjikan untuk masa depan Islam dan peradaban dunia yang lebih damai dan berkeadaban.

Dari sudut pandang ini, Ghazali pelopor pemikiran jalan tengah Islam, bukan hanya relevan melainkan makin urgen untuk dikedepankan saat ini. Paling tidak untuk memompa spirit perdamaian yang ditiupkan Ghazali, tidak hanya antarsekte Islam, antara Sunni-Syi`I, Ortodoksi-Sunni, dan Salafi-Wahabi, tetapi juga dalam konteks hubungan antarumat manusia. Wallahu a`lam!

*) Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi`iyah (UIA)

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement