Ahad 28 Jan 2018 01:03 WIB

Inovasi dan Literasi

Dunia riset mengalami kejumudan dalam inovasi.

Anak-anak memilih buku untuk dibaca yang dibawa oleh Perpustakaan Keliling Yayasan Pustaka Kelana di Taman Pintar, Pulogadung, Jakarta (Ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Anak-anak memilih buku untuk dibaca yang dibawa oleh Perpustakaan Keliling Yayasan Pustaka Kelana di Taman Pintar, Pulogadung, Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suherman *)

“Seniman hebat itu meniru, sedangkan seniman besar mencuri” kata  Pablo Picasso yang sering dikutip oleh Steve Jobs yang juga menambahkan “Dan kami tidak pernah merasa malu karena mencuri berbagai ide hebat.”  Dari mana Jobs mengetahui berbagai ide hebat? Dari membaca.

Para penggemar produk-produk Apple pasti mengenal siapa Jobs. Sang inovator kelas wahid ini bukan hanya terkenal karena inovasi dan gaya presentasinya, akan tetapi juga terkenal dengan tradisi literasinya yang sangat hebat. Dengan pengetahuan yang luas dan mendalam jobs menjadi seorang pribadi yang sangat kareatif dan inovatif.

Bukan hanya jobs, ilmuwan besar seperti Einstein, Faraday, Newton, dan Habibie adalah mereka yang rakus membaca buku. Paling mutakhir adalah Elon Musk, seorang indstrialis kaya raya yang dijuluki Leonardo Da Vinci abad 21, menjadi inovator yang jenius karena tradisi membaca buku yang dia pupuk sejak kecil.

 

Para ilmuwan dan inovator besar tersebut membaca buku bukan hanya bidang spesialisasinya akan tetapi hampir semua bidang mereka baca, termasuk agama dan fiksi. Tradisi literasi inilah yang menjadikan mereka sangat kreatif  dan imajinatif sehingga melahirkan karya yang bukan hanya inovatif akan tetapi juga inspiratif.

Selain para ilmuwan, orang-orang besar dalam bidang politik, agama, dan kebudayaan juga adalah mereka yang kutu buku. Semua orang besar memiliki budaya literasi yang kuat. Sejarah akan sulit mencari orang besar yang bukan kutu buku. Dalam buku  Mereka Besar Karena Membaca (segera diterbitkan Republika) saya mengulas tradisi membaca orang-orang besar seperti Karl Marx, Stalin, Mao, Che, Castro, Steve Jobs, Hassan al-Banna, Khomeini, Hitler, Obama, Malcolm-X, Diponegoro, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Hamka, dan Gus Dur.

Para inovator kelas wahid tidak pernah mengeluh tentang keterbatasan dana, miskinnya fasilitas, ketiadaan regulasi yang memihak, atau kesempitan pasar. Justru karena serba keterbatasan itulah mereka menjadi kreatif dan inovatif. Para inovator lahir karena kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah dan keterbatasan bukan sebagai para penikmat fasilitas. Sejarah mencatat bahwa banyak inovasi yang lahir pada saat terjadi tekanan, krisisis, atau musibah besar. Televisi, xenography, pencukur elekrik, dan radio FM, tercipta pada masa Depresi Besar.

Adanya korelasi yang sangat kuat antara budaya inovasi dengan budaya literasi bukan hanya dalam skala individual, akan tetapi juga dalam skala bangsa. Bangsa yang memiliki budaya inovasi yang kuat pasti lahir dari bangsa yang memiliki budaya litrasi yang kuat. Baru-baru ini Forum Ekonomi Dunia melansir Indeks Daya Saing Global di amana dimuat 10 negara paling Inovatif yaitu Swiss, Amerika Serikat, Israel, Finlandia, Jerman, Belanda, Swedia, Jepang, Singapura, dan Denmark (Koran Tempo, 25-10-2017). Negara-negara tersebut adalah yang memiliki budaya literasi yang bagus. Nampak sangat jelas korelasi antara budaya literasi dengan inovasi atau atara budaya litrasi dengan daya saing bangsa.

Dengan bermaksud  untuk menjadi bangsa yang inovatif itulah, maka pemerintah  membuat \ tidak kurang dari 30 regulasi yang berkaitan dengan jabatan fungsional. Yang terbaru adalah  PP 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Di dalamnya banyak regulasi tentang jabatan fungsional (ada 129 jenis). Semua PNS yang tidak menduduki jabatan struktural harus masuk jabatan fungsional. Tentu saja tujuan utama dari peraturan ini adalah supaya kinerja PNS semakin meningkat. Akan tetapi  di balik tujuan mulia itu terdapat celah yang justru kontraproduktif.

Indikator utama capaian kinerja jabatan fungsional adalah angka kredit yang harus dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Angka kredit kurang, jabatan dan tunjangan pasti melayang. Dari ratusan jenis pekerjaan yang  paling besar angka kreditnya adalah karya tulis seperti buku, makalah, dan lainl-lain. Sejatinya tulisan adalah hasil sampingan (by product) dari sebuah kegiatan penelitian yang tujuan utamanya penemuan. Akan tetapi yang terjadi adalah justru tulisanlah yang  dijadikan prioritas utama, maka tidak heran banyak orang yang menyindir lembaga riset dengan sebutan “pabrik makalah.”

 

Tim penilai pun terkadang hanya melihat persyaratan administrasi tanpa melihat substansi  dan manfaat dari tulisan. Apakah tulisan itu layak dibaca publik atau tidak bukan  masalah—malah sebagian besar karya tulis memiliki pembaca tetap yang setia yaitu dirinya sendiri, tim penilai, dan Tuhan. Akhirnya, banyak PNS menjadikan angka kredit sebagai “ideologi” yang harus diperjuangkan sampai tetes darah penghabisan. Pekerjaan utama mereka sehari-hari adalah mengumpulkan angka kredit terutama dengan membuat karya tulis sebanyak-banyaknya apapun caranya.

Sudah menjadi tradisi apabila batas waktu pengumpulan angka kredit mendekati batas akhir maka para PNS yang mengambil fungsional disibukkan dengan penyiapan admministratif. Terlebih bila sudah mendapat teguran  atau peringatan yang disertai ancaman akan diberhentikan karena angka kredirnya kurang. Maka, dimulailah perburuan angka kredit  "yang diselenggaran dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" maka tidak heran apabila dalam waktu satu bulan ada yang bisa membuat empat judul makalah.

 

Kok bisa? Di Indonesia itu perkara kecil, karena Sangkuriang, tokoh legenda di Jawa Barat, bisa membikin perahu dalam satu malam. Keajaiban tidak berhenti sampai di situ karena ternyata makalahnya lolos di tim penilai. Akhirnya,  selamatlah dia dari malapetaka itu dan akhirnya jabatan fungsional, dan tentu tunjangannya yang penting,  bisa diperpanjang sampai pensiun. 

Sistem penilaian seperti itu juga berdampak pada semakin menjamurnya jasa pembuatan karya tulis, praktik plagiarisme, dan munculnya jurnal predator alias jurnal abal-abal. Pengguna jasa pembuatan makalah ternyata banyak mulai dari guru, mahasiswa sampai calon guru besar atau profesor. Sejak diberlakukan sertifikasi di kalangan para dosen telah terjadi 808 kasus plagiarisme dalam satu tahun (Tribun Jabar, 4 Juni 2014)

Darurat literasi

Sebagaian besar peneliti kita memiliki budaya literasi yang lemah, salah satu indikatornya bisa dilihat dari referensi yang digunakakan dalam makalah-makalah yang mereka tulis. Lemahnya budaya literasi ini berakar jauh dari masa pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi. Ahmad Baedowi pernah melakukan survei terhadap para wisudawan dan terungkap bahwa para mahasiswa pada saat menjalani pendidikan di perguruan tinggi rata-rata hanya mampu menamatkan buku satu sampai dua judul saja (Republika, 7 April 2014).

 

Abdul Mu’ti mengakui sikap malas membaca buku bukan hanya di tingkat kalangan mahasiswa tingkat sarjana, tapi juga pada kelompok mahasiswa pascasarjana (Media Indonesia, 15 Januari 2011). Fenomena tersebut juga bisa menjelaskan mengapa setiap tahun pengangguran lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Memang secara umum, pendidikan kita belum mampu menumbuhkan rasa keingintahuan yang besar atau tidak merangsang rasa kasmaran terhadap ilmu pengetahuan yang menurut banyak penelitian ditentukan oleh budaya literasi.

Budaya literasi juga diperlemah dengan daya dukung infrastrukur informasi (perpustakaan) yang semakin kurang dipedulikan. Perpustakaan di sebagian lembaga riset banyak yang tutup dengan alasan tidak ada lagi anggaran untuk membeli buku. Alasan lain, karena para peneliti pada melanggan jurnal elektronik yang sudah dirasa cukup untuk mendukung penelitiannya. Malah yang paling mengkhawatirkan adalah banyak yang merasa cukup dengan Google saja.

 

Mereka lupa bahwa jurnal, majalah, dan media massa hanyalah untuk perbandingan dan melihat trend, sedangkan  untuk pendalaman peran buku belum tergantikan. Finlandia membuat sebuah program yang namanya gerakan kembali ke buku. Gerakan ini dilakukan setelah meneliti dampak dari perkembangan teknologi informasi, terutama gadgate yang ternyata, selain memberikan banyak kemudahan, juga mengakibatkan kedangkalan dan memiskinkan pembedaharaan kata untuk komunikasi, selain itu juga  berefek kepada mentalitas (budaya instant)  para penggunanya.

Dunia riset mengalami kejumudan dalam inovasi bukan semata fatkor dana, fasilitas, dan sisitem  akan tetapi yang paling utama adalah lemahnya budaya literasi di kalangan para peneliti. Pada era Habibie pernah dana riset dinaikan cukup signifikan, akan tetapi tidak menghasikan hasil-hasil riset inovatif yang bermanfaat bagi masyarakat.

Upaya pembangunan budayan literasi harus segera dilakukan di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset. Gerakan literasi sekolah (GLS) sekarang ini sedang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membangun budaya literasi di sekolah. Hendaknya gerakan literasi juga harus diprogramkan oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Para peneliti, dosen, dan fungsional lainnya juga harus diubah paradigma dan mindset-nya tentang pentingnya membangun budaya literasi untuk meningkatkan kualitas diri  dan daya saing bangsa.

 

Mengharapakan budaya inovasi tanpa membangun budaya literasi seperti mengharapkan buah dari batang pohon yang sakit. Bukan buah segar yang dipetik berupa inovasi yang solutif bagi permasalahan bangsa, akan tetapi buah busuk berupa plagiarisme yang bukan saja merugikan diri sendiri akan tetapi bisa membinasakan bangsa.  

*) Pustakawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ketua Masyarakat Literasi Indonesia (MLI)

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement