REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)
Tanpa terasa, pergantian tahun dari 2017 menuju 2018 tinggal menghitung hari. Namun demikian, kerja-kerja pemerintah, khususnya di bidang ekonomi, kita saksikan tidak lantas mengendur.
Beberapa waktu lalu, pemerintah -- dalam hal ini Kementerian Keuangan -- baru saja merilis wacana kebijakan berupa rencana memungut bea masuk dari barang-barang tak berwujud (intangible goods) mulai Januari 2018. Kebijakan itu akan berlaku jika negosiasi dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pertengahan Desember ini membuahkan hasil.
Sebab, Indonesia selaku negara anggota WTO, termasuk ke dalam negara-negara yang menyepakati penghentian sementara (moratorium) pengenaan perpajakan terhadap intangible goods. Kesepakatan itu akan berakhir pada akhir tahun 2018.
Sebagaimana biasa, rencana pemerintah menerapkan sebuah kebijakan baru, tentu menuai pro dan kontra. Tidak terkecuali soal bea masuk dari barang-barang tak berwujud (intangible goods) yang direncanakan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Menarik untuk didiskusikan, sebenarnya apa urgensi dari rencana tersebut? Kemudian apa dampak positif dan negatifnya terhadap perekonomian dalam negeri? Haruskah kebijakan ini diterapkan?
Sebuah landasan
Sejak rencana ini mengemuka, kata-kata intangible goods semakin kerap terdengar dan terbaca di berbagai medium penyiaran. Secara sederhana, intangible goods merupakan barang-barang tak berwujud yang memiliki nilai dan manfaat serupa dengan barang berwujud (tangible goods).
Sebagai contoh e-book (buku dalam platform digital). Sudah lama kita mengenal e-book sebagai buku yang tidak mewujud dalam lembaran-lembaran kertas, melainkan dalam halaman demi halaman pada file yang kita miliki di smart phone maupun laptop.
Contoh lain adalah lagu. Dahulu untuk mendengarkan lagu karya musisi, terutama luar negeri, kita harus membeli kaset/CD. Belakangan, selepas Apple mendobrak lewat keberadaan iTunes, maka cara-cara lama pun berubah. Lagu dapat dibeli dengan cara mengunduh (men-download) melalui medium tersebut.
Contoh-contoh ini dikenal dengan sebutan disruption. Sederhananya, proses yang terjadi dalam sebuah bisnis selama ini mengalami perubahan. Sudah banyak pakar yang menyinggung hal tersebut dalam bukunya. Salah satunya adalah Guru Besar Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali dalam buku bertajuk "Disruption" yang menyebut fenomena itu sebagai peradaban uber.
Lantaran cara-cara lama terdisrupsi, maka pemerintah ingin menghadirkan level playing field yang sama. Apalagi, setiap transaksi barang maupun jasa dari dalam maupun luar negeri, harus ada pengenaan pajak. Untuk itu, dihadirkanlah rencana pengenaan bea masuk terhadap barang-barang tak berwujud.
Dan memang benar, Kemenkeu, dalam konteks ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, telah memiliki dasar hukum dalam Pasal 8B ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Dalam pasal itu disebutkan pengangkutan piranti lunak dan/atau data elektronik untuk impor dan ekspor dapat dilakukan melalui transmisi elektronik. Ditjen Bea Cukai menyebut ini barang digitan (digital goods).
Dengan demikian, apabila sidang WTO di Buenos Aires menyetujui moratorium tak diperpanjang, bea masuk terhadap intangible goods dapat segera dikenakan. Tentunya setelah PMK disahkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sikap
Menanggapi rencana pemerintah, penulis ingin menanggapi dari dua sisi. Pertama, dari sisi pendapatan negara. Hal ini pun telah dikonfirmasi pejabat Ditjen Bea dan Cukai dalam wawancara di berbagai media bahwa potensi pendapatan negara besar dari pengenaan bea masuk terhadap intangible goods.
Bagi penulis, rencana ini tak lebih dari sebuah upaya mencari tambahan setoran untuk memenuhi kebutuhan APBN. Ini patut dipertanyakan. Sebab, bea masuk, sebagaimana bea keluar dan cukai, bukanlah instrumen utama dalam menyokong pendapatan negara. Pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang seyogianya harus digenjot, bukan bea masuk.
Lagi pula, rencana ini ibarat mengulang lagu lama. Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah sering membidik objek baru untuk dikenakan bea masuk, bea keluar maupun cukai. Misalnya minuman berpemanis dan emisi kendaraan bermotor hingga kantong kresek.
Namun, jika diperdalam, rencana pemerintah terasa wajar jika disimak dari sisi makro. Setiap tahunnya, penerimaan pajak kerap kali meleset dari target. Sedangkan penerimaan bea dan cukai tergolong sering hampir mencapai target.
Seperti pada tahun lalu, penerimaan pajak secara keseluruhan per 31 Desember 2016 mencapai Rp 1.105 triliun. Jumlah ini sebesar 81,54 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2016 yang tercatat Rp 1.355 triliun. Sedangkan realisasi penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 178,72 triliun atau 97,15 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2016 yang tercatat Rp 183,96 triliun.
Sementara tahun depan, setoran pajak 2018 ditargetkan mencapai Rp 1.423,9 triliun dan penerimaan bea dan cukai diproyeksikan sebesar Rp 194,1 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, rasa-rasanya target pajak maupun bea cukai sulit diperoleh kecuali dengan kerja ekstra keras. Istilahnya extra effort.
Apalagi ketidakpastian masih mewarnai perekonomian global, terutama Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump hingga krisis di Semenanjung Korea. Sedangkan di dalam negeri, tahun depan merupakan tahun politik karena ada pemilihan kepala daerah serentak pada Juni 2017 serta dimulainya tahapan pemilihan umum legislatif dan presiden-wakil presiden 2019.
Poin berikut dari tanggapan penulis terhadap rencana ini adalah aspek pengawasan. Anggaplah lobi pemerintah di forum WTO diterima sehingga moratorium terkait pengenaan bea masuk terhadap intangible goods dicabut.
Yang jadi pertanyaan, sudahkah pemerintah memikirkan bagaimana cara mengawasi transaksi intangible goods? Sebab, sebagaimana dijelaskan di awal, intangible goods jelas berbeda dengan tangible goods.
Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Bea Cukai melalui kantor-kantornya di berbagai titik masuk barang berwujud tentu tak ada yang meragukan. Sementara untuk intangible goods, tentu dibutuhkan cara-cara berbeda.
Tidak terbayangkan rasanya pemerintah mengawasi setiap orang maupun badan yang mendownload, katakanlah sebuah software. Tentu dibutuhkan sebuah sistem dengan tingkat kemapanan tinggi sehingga tak ada ruang penyelewengan tersisa.
Menurut penulis, koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa menjadi jalan keluar. Dengan demikian, aparat pemerintah tidak kecolongan dalam pengenaan bea masuk. Hal ini memang sangat dimungkinkan karena semua yang berbasis digital bisa mudah ditelusuri.
Dari dua aspek yang penulis utarakan, sejatinya pemerintah bisa menimbang kembali baik maupun buruk dari rencana pengenaan bea masuk terhadap intangible goods. Pesannya, jangan sampai kontraproduktif dengan tugas dan fungsi pemerintah, khususnya Ditjen Bea dan Cukai.
Patut diingat bahwa selain untuk penerimaan negara, Bea Cukai memiliki fungsi yang tak kalah penting, yakni sebagai pelindung masyarakat sehingga dapat menghadirkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan. Rasanya juga dalam upaya enforcement-nya tentunya akan menjadi sulit dan cenderung tidak realistis. Tapi, biarlah kita menunggu langkah-langkah kongkret pemerintah tersebut.
*) Founder Indosterling Capital