Oleh : Peneliti Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Konflik Palestina-Israel yang terus berlangsung menyisakan luka mendalam bagi kemanusiaan.
Dalam situasi ini, boikot terhadap produk yang diduga mendukung Israel sering muncul sebagai bentuk solidaritas masyarakat global, termasuk Indonesia.
Gerakan ini menjadi simbol perlawanan damai terhadap ketidakadilan, di mana konsumen menunjukkan sikap moral dengan memilih untuk tidak menggunakan produk tertentu.
Namun, boikot tidak sesederhana berhenti membeli atau menggunakan suatu produk. Apalagi dalam ekonomi pasar dimana bisnis saling terkait dan kolaborasi usaha lokal dan modal luar menjadikan suatu entitas bisnis sulit ditentukan apakah terafiliasi atau tidak dengan Pemerintah Zionis Israel.
Makna terafiliasi kemudian menjadi tidak sederhana, apakah bila ada satu produk yang memiliki kandungan komponen barang yang diproduksi oleh perusahaan milik orang keturunan Yahudi kemudian harus kita boikot?
Kalau iya berapa hanyak sebenarnya produk produk yang kita pakai memiliki kandungan komponen yang diproduksi oleh perusahaan Israel. Atau harus berapa besar dan berapa banyak keterlibatan atau kepemilikan bangsa atau orang Israel yang bisa kita boikot.
Seringkali juga kepemilikan bisnis oleh keturunan Yahudi diindentikan dengan dukungan pada Pemerintah Israel, padahal penduduk Israel bahkan keturunan Yahudi banyak yang menentang dan mengutuk tindakan Pemerintahan Benyamin Netanyahu.
Karena tindakan hati hati dan sikap aktif dalam mencari informasi tentang keterkaitan sebuah produk atau perusahaan milik bangsa Israel atau milik orang Yahudi dengan dukungan terhadap kekejaman Pemerintah Zionis Israel.
Lebih dari itu, boikot adalah aksi moral yang harus dilakukan secara bertanggung jawab, dengan memperhatikan dampaknya secara menyeluruh. Dalam sejarah global, boikot sering menjadi alat efektif untuk mendorong perubahan, namun dampaknya dapat beragam tergantung pada bagaimana aksi tersebut dirancang dan dilaksanakan.
Di tengah upaya seperti ini, kita menyaksikan dua respons yang berbeda. Ada pihak yang sibuk membangun narasi melalui berita, media sosial, dan iklan berbayar, namun ada pula yang memilih menjawab dengan fakta dan aksi nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa solidaritas tidak hanya dapat ditunjukkan melalui retorika, tetapi juga melalui langkah konkret yang mempertimbangkan dampaknya secara luas.
Pentingnya validitas informasi
Langkah pertama dalam melaksanakan aksi boikot adalah memastikan bahwa informasi yang menjadi dasar keputusan tersebut benar dan dapat dipercaya.
Sebelum memboikot sebuah produk, perlu dilakukan verifikasi terhadap keterlibatan perusahaan dalam tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Tanpa bukti kuat, tuduhan yang salah dapat merugikan pihak yang tidak terlibat, termasuk perusahaan atau pekerja yang tidak memiliki kaitan langsung dengan konflik.
BACA JUGA: Israel, Negara Yahudi Terakhir dan 7 Indikator Kehancurannya di Depan Mata
Tindakan gegabah ini justru bertentangan dengan semangat keadilan yang ingin ditegakkan melalui boikot.
Boikot yang tidak tepat sasaran dapat menimbulkan dampak serius terhadap tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi. Oleh sebab itu, aksi boikot harus direncanakan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap semua pihak.
Alih-alih hanya berfokus pada tekanan ekonomi terhadap perusahaan, aksi ini juga perlu memperhatikan konsekuensinya pada tenaga kerja lokal. Pendekatan yang lebih bertanggung bijak menjadi solusi yang lebih efektif tanpa merugikan pihak yang tidak terkait langsung dengan konflik.