Oleh: Dr Syahganda Nainggolan*
Berbagai media, baik mainstream maupun medsos, memberitakan pemburuan Setya Novanto, ketua DPR Republik Indonesia, oleh KPK. Dari mulai KPK dan polisi yang mengejar SN ke rumahnya, sampai urusan pemburuan SN. Bahkan, sebuah LSM Anti Korupsi, MAKI, mengeluarkan sayembara hadiah 10 juta rupiah untuk informasi SN di mana berada. Dan juga LSM IPW meminta polisi menembak di tempat jika Novanto melawan polisi yang hendak menangkapnya.
Hiruk pikuk soal menghilangnya Novanto ini, didominasi caci maki dan kebencian yang amat dahsyat terhadap sosok SN, yang memang dalam perkara korupsi E-KTP ini berkali kali mampu mematahkan tuduhan KPK terhadap dirinya. Bahkan, SN sudah berkali kali pula sebelumnya menghadapi perkara perkara besar, mulai dari Cessie Bank Bali, "papa minta Saham", dan terakhir skandal E-KTP, yang merugikan negara triliunan rupiah.
Caci maki ini telah membuyarkan beberapa substansi persoalan Novanto ini dalam perspektif berbangsa. Yang jika kita tidak sensitif, maka sesungguhnya kita tidak menyentuh persoalan sesungguhnya. Setidaknya ada 3 hal penting yang harus kita dalami dalam situasi ini.
Pertama, Novanto bukanlah penjahat dalam pengertian hitam putih. Artinya, kita sulit menempatkan diri kita sebagai alat ukur yang sah untuk menilai Novanto sebagai penjahat, seperti yang kita lakukan terhadap maling, pencuri, pembunuh, pelacur dsb.
Mengapa demikian? Karena Novanto dalam sistem sosial politik kita merupakan bagian dari sistem politik yang ada. Sistem politik ini adalah sebuah sistem yang memang permisif dan toleransi atas orang orang yang berkarakter seperti Novanto.