Sabtu 21 Oct 2017 07:00 WIB

Tentara, Suporter Sipil, dan Liga Profesional

Ketua Umum PSSI, Letjen TNI Edy Rahmayadi (kedua kiri) bersalaman dengan suporter klub sepak bola Indonesia saat jumpa suporter di Wisma Menpora, Jakarta, Kamis (3/8). Jumpa suporter tersebut bertujuan untuk mendorong komitmen para suporter agar patuh pada peraturan dan menjunjung tinggi perdamaian.
Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Ketua Umum PSSI, Letjen TNI Edy Rahmayadi (kedua kiri) bersalaman dengan suporter klub sepak bola Indonesia saat jumpa suporter di Wisma Menpora, Jakarta, Kamis (3/8). Jumpa suporter tersebut bertujuan untuk mendorong komitmen para suporter agar patuh pada peraturan dan menjunjung tinggi perdamaian.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Wartawan Republika, Bambang Noroyono

Kita patut heran dengan kondisi sepak bola di Indonesia. Masih belum mampu menghadirkan kompetisi yang sehat dan bisa dipercaya. Bahkan, tingkah laku beberapa kelompok suporter di dalam negeri, juga mengerikan. Tak kalah lagi sikap para pemain saat di lapangan, berkelahi, bahkan nekat bersilat dengan wasit pemimpin pertandingan.

Kengerian semakin bertambah dengan munculnya suporter dari barisan para tentara. Terakhir ini sempat menjadi pertanyaan paling serius. Yaitu, ketika PS TNI ambil bagian dalam kompetisi sementara Indonesia Soccer Champions 2016 buatan Gelora Trisula Semesta (GTS).

Saya sesungguhnya bukanlah sosok yang anti-terhadap tentara. Jika tak ada mereka, mau bagaimana menjaga negeri ini dari ancaman. Namun, melibatkan para serdadu dalam kompetisi antarsipil, tentunya akan menjadi bom waktu. Perkiraan itu benar saja. Ledakan pertama pun terjadi. Tepatnya pada 22 Mei, ketika Persegres United menjamu PS TNI.

Usai laga di Stadion Petrokimia, Jawa Timur (Jatim), bentrok antarsuporter terjadi. Benturan sipil--yang direpresentasikan oleh Suporter tuan rumah--beradu nyali dan otot dengan suporter tim tamu dari kalangan yang ditempa untuk perang dan siap membunuh. Insiden itu membuat sekitar 48 suporter sipil dilarikan ke rumah sakit. Mereka habis disepak, ditendang, dipukuli dengan tangan kosong ataupun kayu oleh suporter tamu. Ironis.

Ledakan kedua kembali terjadi pada Rabu (11/10). Kali ini pada laga Liga 2 yang mempertemukan Persita Tangerang kontra PSMS Medan. Laga di Lapangan Persikabo Cibinong itu berakhir bentrok antara suporter sipil dan tentara. Kelompok sipil yang tergabung dalam Benteng Viola beradu otot dengan suporter si Ayam Kinantan yang berasal dari serdadu Divif 1 Kostrad, Cilodong.

Jika suporter tentara mendukung PS TNI memang masih terdengar lumrah. Tapi, apa urusannya para serdadu itu mendukung kesebelasan dari Sumatera Utara (Sumut) sana? Buntut dari rusuh itu, suporter Persita yang baru berusia 17 tahun harus meregang nyawa setelah mengalami pendarahan di bagian kepala. Inilah ironisme kedua dari kompetisi yang katanya ingin tampil profesional dan bermartabat.

Insiden di Cibinong itu, akhirnya membuat Ketua Umum PSSI yang juga menjabat sebagai Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi memberikan penjelasan. Ia mengakui, dalam kerusuhan itu prajuritnya telah terlibat. Tapi, dia tak suka menyebut serdadunya sebagai pelaku.

Namun, dengan dua kejadian yang melibatkan tentara di Gresik dan Cibinong, Edy akhirnya percaya gesekan antara suporter tentara dan sipil bisa membuat stadion bak 'neraka' dunia. Perwira bintang tiga itu mengambil pilihan agar tak ada lagi mengerahkan suporter tentara ke dalam stadion.

Edy pun berjanji untuk menghukum jika serdadunya ada yang bersalah. Investigasi terbuka langsung diinstruksikan oleh jenderal berbintang tiga ini. Sayangnya, sampai hari ini, hasilnya tak ada. Siapa pelaku dan yang mana korban pun masih sumir.

Padahal, saat sarasehan antarsuporter di Jakarta pada Agustus silam, Edy mengatakan, jika suporter tak beres, PSSI tak becus. Ungkapan itu saya anggap, respons dan sindiran untuk semua kita, atas meninggalnya Ricko Andrean, suporter Persib Bandung yang tewas pada Juli lalu saat laga Maung Bandung menjamu Persija Jakarta. Dan, sungguh, saya sangat tak ingin ungkapan tak becus itu menjadi kata pahit untuk Panglima yang ternyata tak mampu menjadikan seluruh prajuritnya sebagai pelindung bagi rakyatnya sendiri. Kalau sudah begini, apakah sudah cukup layak untuk menyebut kompetisi sepak bola negeri ini profesional dan bermartabat?

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement