REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Sunyoto *)
Sekolah sebagai panggung pembenihan nilai-nilai, mestinya bebas dari kekerasan, baik kekerasan di antara sesama pendidik, sesama peserta didik, pendidik terhadap peserta didik, maupun peserta didik terhadap pendidik. Namun, hingga kini impian sekolah dengan zero kekerasan itu masih merupakan utopia. Belum lama ini kasus kekerasan di sekolah terjadi lagi.
Seorang pendidik di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 5 Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menjadi tersangka kekerasan terhadap muridnya karena pelaku mencubit korban hingga lebam di bagian lengan, paha, dan dada. Pencubitan beberapa kali itu dilakukan guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan karena siswa tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
Orang tua siswa melaporkan kekerasan itu kepada polisi. Sang orang tua tak memedulikan rekomendasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulteng yang mengimbau orang tua bersangkutan untuk berdamai.
Kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya tampaknya perlu menjadi perhatian semua pemangku kepentingan pendidikan. Dalam perkara di SMPN 5 Marawola itu, setidaknya PGRI perlu meneliti apakah sang guru pelaku kekerasan itu memaklumi bahwa mencubit adalah bagian dari bentuk kekerasan yang tak boleh dilakukan oleh seorang guru terhadap muridnya. Apalagi bila mencubit itu dilakukan beberapa kali dan mengakibatkan bagian lengan, paha, dan dada korban menjadi lebam.
Dalam kasus semacam ini, langkah PGRI Sulteng untuk mengupayakan menutup perkara dengan mendamaikan pihak korban dan pelaku kekerasaan agaknya bukan pilihan yang berdampak positif bagi realisasi tentang cita-cita zero kekerasan di sekolah. Setidaknya, guru tersebut perlu diberi sanksi untuk membangun persepsi yang mengakar di benak para pendidik bahwa mencubit siswa adalah bentuk kekerasan yang tak boleh dilakukan guru terhadap siswa apa pun alasannya.
Seorang guru yang menghukum secara fisik terhadap siswa yang melakukan kesalahan yang berkaitan dengan proses belajar mencirikan bahwa guru itu lebih mengikuti emosinya dibandingkan dengan nalarnya. Guru demikian sesungguhnya menjadi ironi pada era ketika sistem pendidikan guru sudah sedemikian majunya dengan berbagai perangkat teori pendidikan yang dilandasi berbagai visi psikologis yang canggih, yang sampai pada tesis tunggal bahwa kekerasan fisik bukanlah cara efektif membuat siswa jera untuk tak mengulangi kesalahannya.
Besar kemungkinan bahwa kasus pencubitan itu adalah tindakan spontan emosional sang guru, yang dalam kondisi wajar menyadari bahwa perbuatan mencubit itu dilarang dalam praksis pendidikan di sekolah. Itu menandakan bahwa sang guru tak mampu mengendalikan emosinya.
Pada titik inilah, guru tersebut pantas mendapatkan hukuman, seringan apa pun hukuman itu. Dengan demikian, PGRI Sulteng bisa saja mengusulkan hukuman yang sifatnya mendidik tapi bukan sama sekali membebaskan sang guru dari sanksi seringan apa pun.
Kegigihan orang tua siswa untuk meneruskan kasus pencubitan itu ke ranah hukum agaknya perlu diapresiasi dalam arti bukan bermaksud hendak balas dendam terhadap guru yang melukai siswanya. Apresiasi itu perlu diberikan untuk mendorong iklim bahwa segala sepak terjang di sekolah harus dilakukan berdasarkan koridor aturan, bukan mengikuti gerak emosi yang menyebabkan orang lain menjadi korban.
Sungguh ironis jika sekolah sebagai ladang penyemaian moralitas dan nilai-nilai kebaikan diwarnai oleh tindak kekerasan yang sejak Reformasi 1998 diupayakan diminimalisasi kalau bukan dihapus sama sekali. Dengan mencanangkan sekolah sebagai panggung sivilisasi dengan zero kekerasan, diharapkan kelak para siswa setelah dewasa menjadi warga negara yang terpelajar beradab.
Naluri alamiah yang dimiliki manusia untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk kekuatan fisik hanya boleh dilakukan lewat momentum kompetisi olahraga, yang dibarengi dengan aturan ketat dalam menjaga sportivitas.
Sebelum Reformasi lahir, ketika orde politik dikuasai kaum otokrat yang mendasarkan legitimasi politiknya antara lain lewat kekuatan fisik militeristik, kekerasan fisik di sekolah menggejala di mana-mana. Dulu, jari-jari mungil yang dimiliki siswa SD yang lupa memotong kukunya bisa digetok dengan penggaris oleh guru.
Isilah tempeleng yakni menampar di bagian pelipis juga menjadi kosa-kata yang biasa terdengar di sekolah. Guru yang murka karena melihat muridnya tak memperhatikan tutur katanya saat memberikan pelajaran di kelas akan menempeleng murid itu. Padahal, jika diteliti lebih jauh, boleh jadi karena cara mengajar yang membosankan itulah yang menyebabkan guru itu tak diperhatikan siswanya.
Dengan mengandalkan kekerasan fisik saat mengajar di kelas, saat itu guru dipatuhi siswa karena faktor rasa takut bukan karena kata-kata sang guru yang memang layak dipatuhi karena mengandung kebenaran.
Praktik pendidikan di masa-masa kelam pra-Reformasi itu mesti dikubur dalam-dalam saat ini. Itu sebabnya, PGRI Sulteng tak perlu memberikan perlindungan pada anggotanya yang masih mengikuti emosinya dalam menghukum siswa yang lalai tak mengerjakan tugas sekolah.
Bila lalai mengerjakan pekerjaan rumah, siswa cukup diberi hukuman nilai merah. Nilai bagi siswa adalah laba bagi pedagang. Pada aspek terpenting itulah guru bisa menghukum siswanya yang dianggap gagal mengikuti pelajaran yang diberikannya.
Jadi hukuman bukan dalam bentuk cubitan, apalagi dilakukan berkali-kali di bagian tubuh siswa yang sesungguhnya tak boleh disentuh oleh guru. Pelanggaran atas aturan menghukum pada akhirnya perlu mendapat hukuman juga.
*) Pewarta Antara