REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaim Uchrowi*
Alhamdulillah ’maknyuss’ tidak jadi berubah menjadi ’maknyoss’. Kemungkinan itu sempat mengemuka dalam beberapa pekan terakhir ini. Yakni setelah Satgas Pangan Kepolisian RI menggrebek pabrik PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi. Perusahaan tersebut adalah penghasil beras kemasan merek Ayam Jago. Juga merek Maknyuss tentu.
Begitu serius sangkaan yang ditudingkan pada PT IBU saat itu. Kabar yang mengemuka tersebut, dalam istilah Said Didu –Ketua Himpunan Alumni IPB—”begitu mengejutkan.” Bahkan bagi publik luas, apalagi bagi pemerhati dunia pertanian. Sedemikian mengejutkan kabar itu hingga pantas saja bila dijuluki ’maknyoss’.
Betapa tidak ’maknyoss’ kabarnya ketika para komandan tertinggi otoritas hukum dan juga pangan terjun langsung di urusan ini. Kapolri Jenderal Tito Karnavian turun di soal ini. Begitu pula Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Bila kedua tokoh ini terjun bersama, tentu masalahnya tidak mungkin sepele. Masalahnya pasti serius, kalau bukan malah sangat-sangat serius.
Tapi apa seriusnya? Publik pada awalnya bertanya-tanya. Sempat bergulir tudingan PT IBU mengoplos beras. Juga menipu konsumen. Seolah Maknyuss dan Ayam Jago adalah beras berkualitas premium, padahal sebenarnya beras kelas medium. Perusahaan inipun dianggap memanfaatkan beras petani yang pupuknya juga disubsidi.
Sempat mengemuka pula bahwa praktek nakal perusahaan ini merugikan publik sampai Rp 400 triliun. Wah… Angka yang sungguh fantastis, yang membuat banyak pihak mulai bertanya. Punya siapa PT IBU ini hingga punya kemampuan nakal yang begitu dahsyat?
Anggapan soal ini mereda setelah Anton Apriyantono membantahnya. ”Dari mana angka Rp 400 triliun itu sedangkan omsetnya saja sekitar Rp 4 triliun,” papar Anton, Menteri Pertanian 2004-2009, kini komisaris utama perusahaan ini. Dengan integritasnya selama ini, Anton tetap dihormati dan didengar kalangan pemangku kepentingan pertanian di Indonesia.
Kebingungan publik sempat berlarut. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanda tanya itu berputar-putar di awang-awang, tanpa turun ke tanah untuk menjelaskan apa menjadi duduk persoalannya. Tetapi Kapolri pasti tidak sembarangan bertindak. Jenderal Tito bukan saja kompeten melainkan juga pemegang otoritas penegakan hukum.
Begitu pula Menteri Amran. ’Menteri petarung’ ini adalah pengusaha tangguh dari Sulawesi Selatan. Hal yang menjadikannya sebagai menteri terkaya di jajaran Kabinet Kerja. Ia paham persis praktek-praktek bisnis para pengusaha pada umumnya. Tentu ia tak akan menjatuhkan bisnis beras seperti Maknyuss kecuali ada alasan sangat kuat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lalu, apa?
Pelan-pelan potret bisnis beras perusahaan ini tersingkap. IBU merupakan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (TPS). Perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di lantai Bursa Efek Jakarta. Manajemen perusahaan induk ini tampaknya sangat menguasai bisnis beras. Mereka tahu, petani selama ini cenderung jadi korban tataniaga beras. Padahal jutaan petani itulah kunci pasokannya.
Merangkul para ’korban’ itu akan menjadi langkah menguntungkan pihaknya. Itu yang dilakukan TPS, termasuk melalui IBU. Yakni membeli beras petani dengan harga lebih mahal ketimbang yang ditawarkan para pedagang dan tengkulak lain. Maka petani pun berbondong menjual berasnya pada mereka. Hal itu menyulitkan para tengkulak mendapatkan beras petani dengan harga rendah.
Langkah ini memang meningkatkan biaya produksi IBU. Namun hal itu bukan persoalan karena mereka punya jurus penawarnya. Pertama, membuat biaya produksi sangat murah. Ini terjadi karena skala usahanya menjadi sangat besar termasuk karena menguasai pangsa pasokan. Dengan skala produksi besar, biaya per satuan produk akan menjadi murah.
Kedua, mereka paham persis perilaku konsumen beras. Terutama terkait dengan meningkatnya jumlah kelas menengah yang tidak lagi sensitif pada harga. Masyarakat kelas menengah cenderung lebih peduli pada ’citra premium’ dalam berkonsumsi. Termasuk dalam soal beras. Maka ’branding’ menjadi hal yang sangat penting.
Itu yang lalu ditempuh IBU yang tak cukup menggunakan ’brand’ Ayam Jago, namun juga mengambil ’brand’ Maknyuss yang dipopulerkan oleh kolumnis penjajal makanan Bondan Winarno. ’Brand’ itupun ditopang dengan ’pricing’ tinggi untuk membangun citra premium. Dengan demikian perusahaan dapat mengambil marjin yang sangat tinggi untuk usahanya.
Apakah itu salah? Kebanyakan orang menggeleng. Umumnya mereka bahkan menilai positif pendekatan ’menang-menang’ yang dilakukan grup itu terhadap petani, dengan memandangnya sebagai cara cerdik mereka untuk menjadi salah satu pebisnis beras terbesar di tanah air. Namun, sebagaimana banyak bisnis lain, semakin tinggi pohon bisnis menjulang akan semakin keras angin menerpa.
Tentu tak semua pihak senang melesatnya IBU. Banyak tengkulak pasti kesulitan untuk mendapat beras murah karena banyak diborong oleh pihak IBU. Para pengusaha kakap juga tidak nyaman pangsa pasarnya tergerus oleh IBU yang terus membesar. Sebagian orang mungkin juga tertarik untuk ikut menikmati buah membesarnya korporasi itu. Apakah melalui lantai bursa atau dengan jalan lain.
Berbagai spekulasi pun berkembang. Jangan-jangan ada pihak yang ingin menggoyang harga saham TPS agar jatuh hingga dapat diborong. Di sisi lain, harga saham jatuh juga memudahkan pemilik untuk membeli kembali sahamnya. ’Buy back’. Spekulasi yang lebih jauh dihubungkan dengan politik. Bahkan dengan Anton yang sewaktu menjadi menteri berafiliasi dengan partai tertentu.
Namanya juga spekulasi. Dasarnya tentu juga tidak jelas. Remang-remang informasi soal apa yang menjadi kesalahan IBU membuat spekulasi itu menjamur. Tapi tentu tidak mungkin kepolisian bertindak atas dasar spekulasi. Lebih tidak mungkin lagi jika bertindak atas dasar kemauan pihak-pihak yang berkepentingan dengan IBU. Kejelasan informasi atas latar tindakan Satgas Pangan itu yang kemudian paling banyak ditunggu publik.
Benar. Itu yang paling banyak ditunggu. Maka ketika kemudian Kepolisian menersangkakan pimpinan PT IBU, kabar ’maknyoss’ itu mereda. Polisi menyebut ada perbedaan keterangan kemasan beras itu dengan kenyataannya. Soal SNI juga dianggap masalah, karena SNI yang dipakai milik PT SAKTI. Bukan milik IBU.
Biarlah proses hukum kemudian memperjelas semuanya. Sekarang setidaknya beritanya sudah tidak lagi ‘maknyoss’ atau menghebohkan. Hal itu penting bagi dunia pertanian, yang saat ini perlu pemikiran yang mendalam serta ketekunan untuk mengurai satu per satu permasalahannya. Kabar-kabar heboh atau ’maknyoss’ cenderung akan mendistorsi perhatian bersama yang perlu dicurahkan ke pengembangan agrobisnis secara semestinya.
Memang kabar ’maknyoss’ bukan tanpa manfaat. Antara lain untuk bersama membuka mata bahwa pertanian –di negeri agraris ini—masih mengidap banyak persoalan. Ketimpangan hidup petani adalah salah satunya. Masalah yang tak mudah dipecahkan, bahkan oleh Menteri Pertanian sekelas Amran Sulaiman sekalipun. Selain perlu kompetensi tinggi menemukan solusi teknis, juga perlu ketulusan hati untuk semata mendapat ridlo ilahi dengan membantu petani.
Sempitnya kepemilikan lahan misalnya adalah salah satu masalah yang belum ada tanda-tanda jalan keluarnya. Untuk berusaha tani padi, struktur sawah kecil itu sama sekali tak menguntungkan petani. Bila bercocok tanam sepanjang tahun di tanahnya sendiri dan dikerjakan sendiri, petani paling hanya mendapat hasil rata-rata Rp 750 ribu, per setengah hektar untuk mencukupi kebutuhan seluruh keluarga. Jauh di bawah UMR sekalipun. Belum lagi bila terjadi peristiwa tak terduga yang ’maknyoss’. Serangan hama wereng akibat fenomena La Nina di pertengahan 2017 adalah salah satunya.
Geger ’maknyoss’ beras ’maknyuss’ menjadi lonceng pengingat bahwa semua perlu kerja lebih keras. Kerja keras untuk membuat petani Indonesia lebih sedikit menerima hal-hal yang ’maknyoss’. Lebih dari itu adalah untuk membuat hidup para petani bertahap menjadi ’maknyuss’.
*Founder Kultura Indonesia