Selasa 18 Apr 2017 07:53 WIB

Pemimpin yang Mau Memeluk

Arsitektur Islam Andalusia.
Foto: Islamic-arts.org
Arsitektur Islam Andalusia.

Oleh Yusuf Maulana*

 

Rajab 479 H. Di kota Zallaqah. Kota bersuanya pasukan Yusuf bin Tasyfin dan Alfonso VI. Pertempuran legendaris yang ditandai taktis culas Raja Alfonso VI memperalat muslimin dalam penentuan hari pertempuran di medan peperangan. Bukan Jumat, demi menghormati ibadah muslim, tawarnya. Nyatanya yang terjadi, di hari itu pasukan Alfonso VI menyerbu tanpa basa-basi muslimin. 

Yusuf bin Tasyfin sudah memfirasati adanya taktik penyerbuan tersebut. Di hari mulia itu, ia sudah antisipasi. Walhasil, pasukannya memukul mundur hingga kocar-kacir Alfonso VI. Banyak pasukan sang raja nasrani yang terbunuh. Tinggal sang raja yang melarikan diri disertai sekira 500 pasukan berkuda.

Di tangan Ibnu Tasyfin, Dinasti Murabithun menjulang harum sebagai kekuasaan ideal. Kekuasaannya dijalankan amanah, mampu mengayomi, dan pemimpinnya taat pada ajaran Islam. Keadilannya diperlihatkan ketika ia membagikan harta rampasan dalam pertempuran Zallaqah. Hingga banyak rakyat di Andalusia mencintainya. Tapi ia memilih kembali ke jazirah Maghribi, dan meninggalkan 3.000 orang prajuritnya untuk melindungi penduduk Andalusia dari serangan musuh. 

Padahal, saat itu, kalangan fuqaha membolehkan Ibnu Tasyfin menggabungkan Andalusia masuk ke kekuasaannya. Bahkan mereka mewajibkannya melakukan itu demi mencari ridha Allah dan demi menyelamatkan umat dari kelaliman raja-raja kecil muslim di Andalusia, Muluk al-Thawa’if. Fatwa serupa datang dari kalangan fuqaha di Timur, menguatkan fatwa fuqaha Andalusia. Demikian dicatat Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh dalam al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami.

Rakyat Murabithun, terlebih di ibu kotanya Marrakesh, paham siapa  Yusuf bin Tasyfin. Seorang lelaki yang taat beragama, berprinsip, dan cerdas. Penaklukan demi penaklukan terus dilakukan sampai hampir seluruh Maghribi berada di genggamannya. Meski begitu, ia tidak terlampau berambisi untuk mengambil alih kekuasaan rapuh raja-raja muslim di Andalusia agar tunduk dalam kekuasaannya.  

Tak ayal, nama Yusuf bin Tasyfin dikenal dan disegani luas di seantero negeri musuh. Sebaliknya, kaum Kristen Andalusia dongkol kepadanya, tapi hanya melampiaskan dengan  menyimpan dendam terhadap Ibnu ‘Abbad, Raja Sevilla, yang telah mengundang Ibnu Tasyfin datang ke Andalusia. Karena itu, mereka mengumpulkan kekuatan untuk menghabisi Dinasti Ibnu ‘Abbad..

Pesona Yusuf bin Tasyfin sendiri sampai di telinga seorang ulama besar masa itu: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Selepas menarik diri dari kekuasaan Baghdad dan membina madrasah sendiri, al-Ghazali mendengar bagaimana reputasi dan rekam kiprah Ibnu Tasyfin. Al-Ghazali pun terpikat untuk menemui. Bahkan, seperti ditulis Majid Irsan Kaylani, Hakadha Zahara Jailu Shalahu al-Din wa Hakadha ‘Adat al-Quds, sudah siap berangkat. Sayang, sebelum bersua, sosok penguasa itu wafat lebih dulu. 

Bukan hanya al-Ghazali yang merespek Ibnu Tasyfin, melainkan juga banyak ulama. Tak berlebihan bila Ibnu Jubair dalam ar-Rihlah mengungkapkan begini, “Hendaklah benar-benar yakin, bahwa pada masa itu Islam sudah tidak ada lagi, kecuali di negeri Maghribi.” 

Yusuf bin Tasyfin dihormati karena ia tahu dirinya memangku amanah. Mau menempatkan diri sebagai penguasa yang harus mengayomi. Menjadi pemimpin yang memeluk sesama saudara seiman atau orang berbeda iman tapi mau menghormati arti perjanjian bersama. Ia menjadi penanda beda ketika institusi khalifah di Baghdad dan dinasti-dinasti berdaulat muslimin memperlihatkan watak tidak islami.

Ambisi Ibnu Tasyfin bukan untuk kekuasaan itu sendiri, apatah lagi kemewahan dan kecintaan pada dunia. Sebuah gaya hidup yang terbilang “tak wajar” masa itu dan lebih-lebih lagi hari ini. Meski namanya tidak sering disebut oleh muslimin dibandingkan para khalifah tepercaya, kiranya Rajab ini kita patut merenung-resapi jejak jihadnya. Di medan pertempuran Zallaqah ia hadirkan legasi yang luar biasa arti mengemban amanah. Amanah untuk menyelamatkan wilayah muslimin, harta benda, dan terutama nyawa serta iman di dada. 

Seusai peperangan dan kemenangan diraih, ia tak kemudian besar kepala dan sekonyong-konyong mengambil alih Andalusia meski para ulama memintanya. Sebab, perilaku raja-raja muslimin di sana tak patut dipercaya. Kadang menaruh kepercayaan kepada kalangan lawan demi menyingkirkan saudara seiman.

Medan Zallaqah di Rajab 959 tahun lalu itu sepatutnya jadi inspirasi muslimin di tanah air. Tidak gamang mencari pemimpin yang tulus dan bukan pencari harta benda. Bukan yang memihak kalangan penguras keringat rakyat, tapi malah beringas pada rakyat. Menghadirkan teladan Yusuf bin Tasyfin: pemimpin yang mau memeluk, merangkul komponen negeri ini; bukan malah mengotak-ngotakkan dan menjarah harta dan harga diri mereka.     

Sungguh, gempita muslimin di tanah air terhadap kontestasi memilih penguasa Jakarta awalnya sebatas ranah politik. Tapi mencukupkan politik saja lantas membuang peran agama, tidaklah beradab. Lebih-lebih bagi muslimin. Ini bukan semata satu kawasan agar dikelola penguasa muslim,tapi lebih dari itu adalah penguasa yang mampu jadi pemimpin. Penguasa yang siap memeluk dan mengayom sebagaimana Ibnu Tasyfin. Bukan pengumpat dan bermurah hati membagi-bagi bujukan materi murah belakangan ini ketika hendak dipilih.

Nah, akankah Jakarta diatur oleh pemimpin pemeluk rakyat? Atau malah dikelola lagi oleh penguasa “murah hati” marah-marah dan menyalahkan rakyat? Rajab, bulan mulia, semoga jadi penanda baik agar sembako yang dihujankan hari-hari ini berubah jadi sebuah pertaubatan warga Ibu Kota agar sadar bahwa mereka lebih merindu pemimpin pemeluk. Bukan orang yang baik baik temporer tapi di lain waktu beringas. [] 

*Kurator Pustaka Lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement