REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : M Firdaus *)
Kutipan dari Celotehan KH Hasyim Muzadi dari ceramah HBH IPB, 13 Juli 2016.
Dari ceramah beliau yang luar biasa, ada beberapa catatan yang sempat tertulis. Tentunya, banyak bagian yang tidak sempat terekam oleh tangan saya. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi amal jariah almarhum.
Pertama, ceramah dibuka dengan adanya dua macam Lebaran yaitu Idul Fitri dan Lebaran Kupat. Tentunya, tradisi yang pertama saja yang ada hadisnya. Lebaran kupat adalah tradisi yang berkembang sebagai perayaan setelah selesai puasa sunah enam hari sejak hari kedua bulan Syawal.
Puasa sunah Syawal, dahulunya, dalam masyarakat lazim dilakukan oleh para ulama, pemimpin, dan tokoh masyarakat. Pada saat itu, mereka harus menerima tamu yang datang berlebaran. Namun, tidak perlu menunjukkan bahwa saya sedang berpuasa. Kalaupun tiba saatnya mempersilakan minum, si empunya rumah berpura-pura ikut minum, padahal gelas hanya diangkat dan diputar. Inilah bentuk toleransi dan tingginya adab mereka terhadap orang lain.
Silaturrahim adalah instrumen. Permohonan maaf harus dilakukan. Karena Allah tidak memaafkan kesalahan sesama manusia sebelum sesamanya memaafkan.
Selanjutnya, disampaikan bahwa terkait perkembangan kekinian, khususnya dalam merespons isu-isu besar global seperti hak asasi manusia, apa pun respons kita tidak boleh bertentangan dengan pokok ajaran dari Nabi Muhammad SAW. HAM yang lahir tahun 1948 di Eropa, tidak boleh ditelan bulat-bulat oleh bangsa Indonesia. Banyak yang harus disaring dengan kaidah tersebut. Seperti isu LGB yang berkembang. Kita harus juga mempertimbangkan kewajiban asasi manusia, bukan hanya menuntut hak semata.
Terkait dengan dunia akademik, perintah iqra dapat dimaknai membaca apa saja, dan dengan penglihatan, pendengaran juga hati. Ada empat hal yang harus dibaca, yaitu Ayat Alquran; bukti kebenaran dari ayat Alquran tersebut; fenomena alam, dan kejadian-kejadian.
Ayat-ayat Alquran sebagai pokok ajaran Islam pasti benar. Meski ada yang mengatakan tidak benar, maka tidak akan mengurangi kebenarannya. Islam itu tinggi dan tidak bisa diungguli. Namun, yang selalu unggul adalah ajarannya. Sedangkan umatnya bisa kalah tergantung pada bagaimana derajat dalam mengimplementasikan keislamannya.
Perintah membaca tadi adalah untuk memecahkan problematika umat. Masalah umat Islam yang utama antara lain dalam hubungan sosial. Semisal sesorang sudah bagus hubungan vertikalnya dengan shalat berjamaah di masjid, namun masih ada kejadian sendal hilang, bahkan kotak infak juga bisa raib.
Di negeri yang notabene non-Muslim seperti Taiwan, berlaku UU untuk barang yang hilang. Dijamin barang yang hilang akan bisa kembali semua karena untuk mengembalikan kepada si empunya ada fasilitas biaya dari negara. Bila yang menemukan tidak mengembalikannya, maka akan masuk kategori kriminal.
Perintah membaca dilakukan misalnya dengan riset-riset. Bangsa Indonesia harus maju, tidak hanya sekedar menjadi konsumen (kreditur) mobil, tetapi harus menjadi menjadi produsen mobil.
Membaca dengan ayat-ayat Alquran akan menyebabkan seseorang menjadi seimbang antara pintarnya dan akhlaqnya. Dahulu banyak orang yang benar, tetapi susah mencari orang pintar. Sebaliknya sekarang banyak orang pintar, tapi sedikit orang yang benar.
Untuk itu setelah membaca (iqra) harus diikuti dengan Bismirabbikalladzi khalaq. Setelah membaca ayat kauniah dan kauliah tadi harus diikuti dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan. Inilah yang disebut Ulul Albab. Orang yang pintar dan juga benar. Dengan demikian Islam difahami bukan hanya sebagai teks, stempel. Namun harus dengan esensi.
Orang Islam harus membangun tata sosial yang baik. Sudah sangat jelas dalam surah al-Maun disampaikan tentang hal ini. Dalam Alquran juga setelah seseorang menyatakan beriman, harus diikuti dengan amal shaleh. Diikuti kemudian dengan berbuat baik. Bukan setelah beriman, diikuti dengan bertengkar. Berdebat tentang segala hal sehingga berbuat baik yang seyogyanya didahulukan malah jadi terlupakan.
Membangun Indonesia harus dimulai dengan kesempurnaan Islam. Tidak harus dengan dekonstruksi. Bila benar harus dikatakan benar, yang salah adalah salah. Untuk itu, berbagai golongan harus bekerja sama, bukan sama-sama saling ngerjain.
Dahulu, ada pertentangan dalam membaca qunut atau tidak. Antara Muhammadiyah yang tidak menganut adanya qunut dalam shalat Subuh dan NU yang sebaliknya sudah mulai ada saling pemahaman. Demikian pula untuk penetapan 1 Syawal. Belakangan sudah mulai terjadi kekompakan. Meskipun antara keduanya terdapat perbedaan yang disebabkan metodologi dalam penentuannya secara mendasar berbeda. Toh yang berbeda adalah tanggal hari rayanya, sedangkan hari rayanya, bacaan dan tata cara shalat Id-nya, khutbah Id-nya sama.
Untuk urusan khilafiyah bisa saja terjadi perbedaan pendapat. Namun, untuk urusan tauhid, harus lakum dinukum waliyadiin. Misal tahlil di gereja tentu sudah melanggar syariat. Namun, urusan akses terhadap sarana publik, pendidikan dan kesehatan sama untik semua ummat beragama.
Bila terlalu keras, tentu akan selalu terjadi pertengkaran. Namun, bila terlalu lemah, akan berakibat iman menjadi ruwet.
Sebagai contoh, kita tidak bisa memaksakan semua ummat manusia beragama Islam. Karena dalam Alquran disebutkan istilah kafirin dan zhalimin. Sehingga sampai akhir zaman akan selalu ada golongan tersebut. Kalau tidak demikian bisa jadi "kebohongan publik".
Dalam piagam Madinah yang berisi 47 pasal pun tidak disebutkan harus negara Islam, tapi yang penting adalah dijalankan prinsip-prinsipnya. Masing-masing negara tentu berbeda ada yang berbentuk kerajaan, ada yang berbentuk republik. Jangan ribut dengan bentuknya, tapi yang lebih penting isinya harus Islam.
Saat ini, mumpung kita adalah mayoritas, meski baru dalam jumlah belum dalam peranan maka kita harus bersatu. Mari kita isi kehidupan bernegara ini dengan kesempurnaan Islam.
*) Wakil Dekan FEM IPB