REPUBLIKA.CO.ID, OLeh: Rudi Agung *)
Sejarah telah mencatat kelicikan, kekejian, dan kebiadaban PKI. Sejarah berdarah komunis itu, seperti pesona wanita tetapi amat mengerikan. Karena pesonanya, banyak yang mengejar sejarah itu. Tapi semakin digali, kian menyeramkan.
Ya mau tak mau, itulah sejarah kelam bangsa ini. Sejarah abadi, yang kini mulai dihilangkan. Bahkan, dijungkir balikan. Nyaris sebagian besar generasi tak familer dengan kekejian PKI. Hal menyedihkan, malah banyak yang mengaguminya.
Apa musabab? Barangkali memang ada grand design aktor-aktor intelektual yang ekstra keras mengaburkan dan memutar balik sejarah biadab itu. Kita ingat-ingat lagi sejenak. Masih ingat: Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati. Apa itu?
Itu satu yel-yel PKI. Selain genjer-genjer, yang lebih terkenal. Yel-yel tersebut digaungkan, ketika PKI berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan. Setelah itu, target PKI berikutnya: Pesantren Takeran, dekat Gorang Gareng.
Dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien, pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien. Pesantren ini jadi musuh utama PKI karena punya kekuatan sangat diperhitungkan. Pesantren di Magetan dan Madiun menjadi incaran utama PKI.
Di sekitar pabrik gula Rejosari, Kecamatan Kawedanan, Magetan, ada tugu yang dipucuknya terpacak patung burung Garuda. Di temboknya, tercatat 26 nama. Antara lain, bupati Magetan, anggota kepolisian, patih Magetan, wedana, kepala pengadilan Magetan, Kiai, dan warga biasa.
Selain itu, ada lima sumur lain yang juga dipakai sebagai ajang pembantaian oleh PKI. Bila dijumlahkan, seluruh korban pembantaian tercatat ada 114 orang.
Sejumlah nama ulama di monumen itu, juga tertulis nama KH Imam Shofwan. Pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun. KH Imam dikubur hidup-hidup dalam sumur itu, setelah disiksa berkali-kali. Beserta dua anaknya.
Mari kembali mengingat sejarah Sumur tua Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Di peristiwa berdarah pemberotankan PKI tahun 1948, Soco memiliki sejarah tersendiri. Sedikitnya 108 jenazah jadi korban kekejaman PKI.
Lalu, menengok sejarah sumur tua Desa Bangsri, Sumur tua Desa Cigrok, sumur tua Desa Kresek, dan segambreng sumur tua lain. Belakangan, tersebar viral dan broadcast yang mengingatkan lagi sejarah kebiadan PKI. Bahkan, sejarah PKI dari awal sebelum negara ini bernama: Indonesia.
Hal menarik, jika digabung mungkin bisa ribuan manusia dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua saat pemberontakan PKI 1948 dan 1965, namun, kini makin dilupakan, dijungkir balikan!
Sejarah itu diputar balik. PKI di-skenario-kan jadi terdzalimi. Generasi muda yang lalai sejarah kepincut doktrin Komunisme Gaya Baru, ini. Kasihan PKI, anggap mereka. Lalu, dengan bangga memakai kaos palu arit, dipamerkan ke medsos, ke jalan: sebagai bentuk empati. Duh, ampun! Halusnya standar ganda HAM.
Bangsa ini terutama umat Muslim, tak pernah lepas dikepung varian serangan mematikan standar ganda: Sara, HAM, toleransi. Tak terkecuali standar ganda PKI. Para Ulama, Kiai, santri, dan warga Muslim menjadi korban kebiadaban PKI yang makin dilupakan. Padahal, amat banyak keturunan korban PKI masih trauma.
Belum hilang trauma itu, kepolisian di Jatim melakukan pendataan ke Ulama. Bolehlah beralasan untuk dialog dan silaturahmi. Kenapa baru sekarang? Kenapa polisi sebelumnya tidak melakukan pendataan? Kenapa pendeta, dan pemuka agama lain tak didata? Banyak pertanyaan. Banyak pula alasan menggelikan.
Pendataan Ulama membuat masyarakat Indonesia resah. MPR pun terkejut. Keresahan itu mengingatkan pada luka lama. Menyalakan api trauma yang belum padam. Secarik data Ulama, menggali lagi ingatan bangsa ini pada kekejian PKI.
Belum cukup kah melukai umat Islam dan Ulama, yang nota bene penjaga utama dan pertama NKRI. Ah, jangan ditutup lagi sejarah itu. Jangan pula dibalik. Sudahi segala alasan. Polisi kenapa tak memburu koruptor.
Publik selalu menanti: kabar kelanjutan hukum dugaan korupsi TransJakarta, taman BMW, Reklamasi, Sumber Waras, lahan Kedubes. Begitu pula kelanjutan proses hukum kasus rekening gendut polisi, BLBI, Century.
Penegakan hukum kunci terakhir menjaga sebuah peradaban. Jika hukum sudah dipermainkan, kerusakan hebat pasti mendera peradaban itu. Cepat atau lambat. Satu rangkaian Sunatullah yang diwanti-wanti Rasulullah. Ini sudah mulai terbukti:
Kini, ekonomi nasional makin babak belur. Daya beli kian ambruk. Kesenjangan menganga. Kriminalitas terus meningkat. Perceraian melonjak. Teringat pameo: Komunis takkan pernah mati ketika kemiskinan menggurita. Ah, ingin rasanya kembali menyapa, apa kabar Esemka? Apa kabar uji akademik buku soal PKI?
Komunis piawai berkamuflase ke pelbagai bentuk, menyusup pelbagai lini, namun targetnya tetap sama: Ulama dan umat Muslim. Kenapa? Karena sebagai penjaga NKRI. Sejarah memang bisa direkayasa, dimiliki rezim, bahkan diputar balik, tapi ia takkan pernah berdusta. Kebenarannya akan selalu muncul, dan itu berulang.
Saat komunis bermunculan, korban berdarah umat Muslim selalu berjatuhan. Itu yang diagendakan ke depan, sebagai upaya ulur waktu ketatnya audit finansial global pelbagai kejahatan finansial masa silam? Lagi lagi terkait sejarah terdahulu.
Apapun itu, umat Muslim takkan diam saat Ulama disakiti, takkan pernah diam NKRI diacak-acak pemberontak. Panggilan tauhid malah kian menguat. Sebuah panggilan jiwa, anugerah terindah dari Sang Maha. Lantas apa iya, aksi 212 dan rentetaannya, tanda fase-fase embrio kebangkitan umat di Nusantara?
Lalu, masihkah kita mau disekat bendera: parpol, ormas, kelompok, suku, sosok? Masihkah kita memelihara fanatisme buta, tanpa terasa? Bukankah Islam itu satu tubuh. Tubuh yang ikut sakit bila anggota tubuh lain sakit.
Duhai, gali kembali lorong persatuan umat. Selamatkan ‘tubuh’ kita yang sedang sakit ini, yang mungkin sudah lama kita mati rasa, mati jiwa: terkotak-kotak, tersekat, tersengat racun-racun standar ganda. Shalaallahu alaa Muhammad.