REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Nidia Zuraya
Awal April lalu, dunia dibuat gempar oleh bocornya jutaan dokumen finansial dari sebuah firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca. Dokumen-dokumen yang oleh publik dikenal dengan nama Panama Papers tersebut mengungkapkan kepada publik bagaimana jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kaum borjuis disembunyikan di surga bebas pajak.
Keberadaan dokumen finansial ini memungkinkan publik untuk mengintip bagaimana dana-dana gelap mengalir ke perusahaan-perusahaan yang sengaja didirikan di British Virgin Islands, Singapura, Panama, dan surga bebas pajak lain, yang sulit dilacak penegak hukum. Hal inilah yang mendorong lahirnya banyak modus kriminalitas dan merampok pundi-pundi negara dari pajak yang tak dibayarkan.
Di Indonesia, nama-nama para pengusaha ternama yang setiap tahun masuk dalam daftar orang terkaya versi Forbes Indonesia juga bertebaran dalam dokumen Mossack Fonseca. Mereka membuat belasan perusahaan offshore untuk keperluan bisnisnya.
Bocornya dokumen Mossack Fonseca ini di kemudian hari dijadikan momentum oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menggolkan pengesahan undang-undang (UU) tax amnesty atau pengampunan pajak di parlemen. Secara tegas, Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro mengatakan, tax amnesty digunakan untuk merangsang wajib pajak agar dana yang disimpan di luar negeri kembali ke Tanah Air.
Bahkan, saat itu Bambang juga meminta Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, mempelajari data Panama Papers. Tujuannya untuk mencocokkan dengan data yang didapat dari otoritas pajak negara-negara maju kelompok G20.
Terlebih lagi, saat ini kondisi keuangan negara memang mengalami defisit besar. Penyebabnya adalah kekurangan realisasi penerimaan pajak dari target yang ditetapkan mencapai Rp 219 triliun. Maka, salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah dengan menerapkan kebijakan tax amnesty.