Kamis 14 Jul 2016 07:02 WIB

Mengokohkan Mazhab Syafi’i di Indonesia

Red: M Akbar
 Dalam Islam dikenal empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
Foto:

Jika dai telah memahami hal ini, maka ia akan terus berusaha untuk menyesuaikan materi dan pengamalannya dengan apa yang dilakukan dan dimaklumi oleh masyarakat sebagai dari syariat Islam selama ia bukan perkara yang menyimpang dan bertentangan secara jelas dengan sumber-sumber syariat.

Dalam masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, maka tuntutan al-bashirah dan al-hikmah dari sang dai lebih dipertegas, jangan sampai dikarenakan persoalan khilafiyah muktabarah apalagi kalau hanya sekedar perbedaan dari sisi afdhaliyah yang diyakini dan dipraktekkan oleh sang dai justru menjadi penyebab objek dakwah menjauh bahkan menolak apa yang disampaikan oleh sang dai. Padahal, jika ia mau “bertoleran” dalam batasan yang dibenarkan maka tentunya akan meminimalkan bahkan menihilkan tabir pemisah antara dai dan objek dakwahnya.

Bahkan dalam keadaan tertentu sang dai dibolehkan oleh para ulama untuk beramal dengan pendapat yang dianggap tidak kuat dikarenakan adanya kemaslahatan yang lebih besar. Sebagai contoh sederhana dalam masalah furu’ adalah ketika makmum meyakini tidak disunnahkannya qunut shubuh, tetapi ia shalat di belakang imam yang melakukannya, maka ia disunnahkan untuk mengikuti imamnya berqunut dan mengaminkannya demi menjaga kekompakan dalam berjamaah yang merupakan salah satu tujuan disyariatkannya sholat berjamaah, dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata:

وإذا فعل الإمام ما يسوغ فيه الاجتهاد يتبعه المأموم فيه وإن كان هو لا يراه، مثل: القنوت في الفجر، ووصل الوتر، وإذا ائتم من يرى القنوت بمن لا يراه تبعه في تركه.

Apabila Imam melakukan sesuatu perkara dalam wilayah yang dibolehkan untuk berijtihad sementara makmum tidak berpendapat demikian maka ia tetap mengikuti imam, seperti : qunut dalam sholat shubuh, menyambung rakaat witir, dan jika makmum berpendapat disyariatkannya qunut kemudian ia bermakmum kepada imam yang tidak berpendapat seperti itu, maka makmum mengikutinya untuk tidak melakukannya. (al-Fatawa al-Kubra 5/348).

Di bagian lain beliau juga mengatakan:

وكذلك إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه سواء قنت قبل الركوع أو بعده. وإن كان لا يقنت لم يقنت معه. ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لا يستحبونه فتركه لأجل الاتفاق والائتلاف: كان قد أحسن

Begitu juga jika makmum mengikuti imam yang qunut pada sholat shubuh atau witir, maka hendaklah ia ikut qunut bersamanya baik ia melakukannya sebelum atau sesudah ruku’. Jika imam tidak berqunut maka makmumpun tidak melakukannya. Jika imam berpendapat bahwa satu perkara disunnahkan sementara makmum tidak memandangnya sebagai perkara sunnah, lalu (imam) tidak melakukannya demi menjaga kesepakatan dan persatuan, maka ia telah melakukan hal yang baik. (Majmu’ Fatawa 22/268).

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement