Jumat 18 Mar 2016 16:17 WIB

“PTKIN” dan Masa Depan Studi Islam

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Jumat (27/6)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Jumat (27/6)

Oleh Akh Minhaji (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015 dan Guru Besar Studi Islam)

REPUBLIKA.CO.ID, Kementerian Agama belum lama ini memperkenalkan istilah baru untuk menunjuk perguruan tinggi Islam yang berada di bawah naungannya, yaitu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Sebelumnya, istilah yang telah lama digunakan adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).

Hingga kini belum ada penjelasan resmi secara akademik alasan penggantian istilah itu. Untuk meminimalisasi dampak negatif secara akademik, barangkali ada baiknya jika Kemenag menjadikannya sebagai wacana akademik sebelum digunakan secara resmi. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mendorong ke arah itu.

Mengganti kata "Agama" dengan "Keagamaan", tampaknya sederhana. Apalah arti sebuah nama? Padahal jika dicermati, penggantian istilah, terlebih dalam konteks keilmuan, memiliki implikasi panjang.

Dalam kajian akademik, pengertian agama terbagi dua. Pertama, pengertian yang merepresentasikan pemahaman yang berkembang di dunia Barat-modern-sekuler yang membatasi agama hanya pada keyakinan yang bersifat abstrak (ghaib) dan sakral (sacred). Unsur abstrak dan sakral dipahami melalui kehidupan dan perilaku pemeluknya dalam keseharian. Segala sesuatu terkait agama harus bisa diukur secara konkret, realistis, positivistis, dan empiris.

Kedua, pengertian yang merepresentasikan pemahaman di dunia Timur (terutama Islam) yang memahami agama bukan hanya relasi manusia dan Tuhan, tapi sekaligus relasi sesama manusia dan lingkungannya. Dalam keyakinan Islam, kehidupan bagaikan piramida di mana Allah SWT berada pada titik puncaknya. Islam melandaskan segala sesuatu pada keesaan Allah (tauhid) yang terefleksi pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam memandang ilmu dan alam semesta.

Di awal perkembangan studi agama di Barat, Islam dipandang sebagai agama yang berbeda. Namun dalam tahap berikutnya, Islam disamakan dengan agama-agama lain, dalam arti bahwa kajian dan pemahaman tentang Islam harus bersifat konkret, realistis, positivistis, dan empiris. Unsur-unsur Islam yang abstrak dan sakral harus bisa diukur melalui perilaku konkret umat Islam.

Studi agama di Barat sesungguhnya mengenal dua aspek agama sebagaimana dirumuskan WC Smith. Agama mencakup dua unsur penting: internal dan eksternal; keyakinan (faith) dan tradisi (tradition); doktrin-ajaran (norm) dan sejarah (history). Unsur kedua (eksternal, tradisi, historis) inilah yang menjadi penekanan utama dan dipandang sebagai kajian ilmiah yang objektif. Sedangkan, agama sebagai doktrin-ajaran tidak lagi menjadi bagian penting dalam perspektif ilmu Barat-modern-sekuler.

 

sumber : Pusat Data Republika

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement