Senin 22 Feb 2016 06:00 WIB

Perang Suriah Cita Rasa Rusia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Presiden Rusia, Vladimir Putin, intervensi militer negaranya di Suriah barangkali hanya dianggap sebagai piknik untuk para tentaranya.  Akan baik bagi para tentara berada di kehangatan sinar matahari Suriah daripada membeku di barak-barak militer Rusia dengan suhu di bawah lebih dari sepuluh derajat celsius. Itu sebabnya Putin buru-buru mengirimkan tentaranya ke negara di Timur Tengah itu pada bulan September tahun lalu. Bukan pada Maret depan -- di mana di Suriah sudah mulai musim semi dan sinar matahari mulai menyengat  -- sebagaimana perencanaan semula.

Apalagi pengiriman tentara pun dinilai Putin akan memberikan banyak keuntungan bagi Rusia. Lebih daripada sekadar ‘piknik militer’ -- yang tentu saja juga dibutuhkan oleh tentara Rusia untuk menghilangkan kejenuhan latihan militer sehari-hari. Pertama, pengiriman militer akan mengembalikan Rusia pada posisi strategis di kawasan Timur Tengah, baik politik -- termasuk politik dalam negeri Rusia --  maupun strategi global.

Kedua, intervensi militer Rusia adalah atas permintaan rezim Presiden Bashar Assad dan disetujui oleh Iran. Presiden Assad -- meskipun kekuasaannya sempat goyah dan 60 persen wilayahnya sudah dikuasai oposisi, ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), dan kelompok-kelompok radikal lainnya --  secara de jure adalah masih sebagai Presiden Suriah. Sementara Iran sudah  lebih dulu mengirimkan ‘orang-orangnya’ ke Suriah untuk mendukung rezim Bashar Assad agar tidak jatuh. Kini kehadiran militer Rusia terbukti telah berhasil mengembalikan eksistensi Presiden Assad untuk lebih menancapkan pengaruhnya di negaranya.

Ketiga, intervesi militer Rusia  ternyata tidak ditolak oleh Pemerintah Zionis Israel dan Amerika Serikat (AS). Sebagai catatan, sebelum Rusia mengirimkan militernya ke Suriah, Presiden Putin telah beberapa kali bertemu dengan para pejabat tinggi Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Sedang untuk AS, Presiden Barack Obama tampaknya sangat alergi (baca: tidak berani mengambil risiko) untuk mengirimkan pasukan daratnya ke kawasan Timur Tengah. Obama kelihatannya tidak mau mengulang apa yang dilakukan pemerintah AS sebelumnya, terutama para periode Presiden George W Bush, yang telah melakukan intervensi militernya secara langsung ke sejumlah negara di Timur Tengah. Pelibatan pasukan darat AS di Afghanistan, Irak, dan negara lainnya dipandang Presiden Obama telah menimbulkan banyak kerugian di pihak AS, baik personil tentara -- tewas dan cacat -- maupun dari segi dana.

Karena itu, sejak menjabat sebagai presiden selama dua periode, Obama tidak pernah mengirimkan pasukannya di negara-negara konflik di Timur Tengah. Bahkan ia juga telah menarik pasukan tempurnya yang berada di Afghanistan dan Irak kecuali para penasihat militernya. Penjara Guantanamo yang menampung para teroris pun ia tutup karena telah menyedot dana jutaan miliar dolar.

Walhasil, perang di Suriah dan konflik di Timur Tengah pada umumnya kini adalah lebih sebagai ‘cita rasa’ Rusia daripada Amerika Serikat. Dominasi ‘cita rasa’ Pak De Putin daripada Pak Lik Obama. Dalam khasanah budaya Jawa, Pak De adalah lebih senior dan, karena itu, lebih berwibawa dan dihormati dibandingkan dengan Pak Lik.

Sikap Obama yang ‘lembek’ ini beberapa kali telah dikeluhkan oleh sejumlah pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk yang dipimpin Arab Saudi. Bahkan AS yang diharapkan bisa memimpin koalisi internasional untuk menghajar kelompok teroris seperti ISIS, selama ini hanya berani melakukan serangan udara, yang risikonya dinilai lebih kecil daripada serangan darat.

Keluhan yang berkembang menjadi ketidak-sabaran itulah yang kemudian membuat Arab Saudi memutuskan untuk membentuk koalisi negara-negara Islam untuk menyerang ISIS. Bahkan Saudi juga telah bersedia mengirimkan pasukan daratnya ke Suriah untuk menghabisi ISIS, dengan syarat tetap dalam payung koalisi internasional pimpinan AS dan direstui PBB. Bagi Saudi, kelompok radikal seperti ISIS adalah bahaya nyata. Beberapa kali ISIS telah melancarkan serangan bom di sejumlah tempat di Saudi, termasuk serangan terhadap beberapa masjid yang menewaskan puluhan warga. 

Kini serangan pasukan darat Saudi dan negara-negara Arab lainnya tinggal menunggu aba-aba dari Presiden Obama. Aba-aba yang hingga kini belum tampak tanda-tandanya. Apalagi masa jabatan Presiden Obama tinggal kurang dari setahun. Para pengamat berpandangan, Obama tidak akan berani mengambil keputusan penting dan penuh risiko, seperti serangan darat ke Suriah, di sisa jabatannya.

Kondisi yang demikian tentu merupakan kesempatan emas bagi Rusia untuk menancapkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah, melalui intervensi militernya di  Suriah. Pengiriman pasukan yang dilengkapi dengan sejumlah pesawat tempur, senjata ringan dan berat, tank, serta kapal-kapal perang. Intinya, Rusia telah siap dengan segala persenjataannya -- baik darat, udara maupun laut – untuk hadir di Timur Tengah.

Apalagi, menurut sumber di militer Rusia seperti dikutip media al Sharq al Awsat, operasi militer di Suriah kali ini tidak akan menghabiskan dana yang sangat besar. Dana ini cukup hanya mengandalkan dari anggaran rutin latihan militer yang biasanya dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Rusia setiap tahunnya. 

Salah satu penyebabnya lantaran kekuatan militer kelompok-kelompok perlawanan di Suriah dinilai sangat tidak sepadan apabila dibandingkan dengan kekuatan dan kecanggihan militer Rusia -- baik dari segi latihan militer dan apalagi dari sisi kecanggihan persenjataan. Belum lagi adanya perpecahan dan   konflik bersenjata antar-kelompok-kelompok di Suriah itu sendiri. Karena itu, Rusia tak perlu mengerahkan serangan militer secara besar-besaran yang juga membutuhkan dana besar.

Pada awalnya,  kehadiran militer Rusia di Suriah adalah untuk menyerang basis-basis kelompok teroris ISIS. Apalagi setelah pesawat sipil Rusia dijatuhkan oleh ISIS di Sinai, Mesir, yang menewaskan seluruh penumpangnya. Namun, pada perkembangannya, militer Rusia juga menyerang kelompok-kelompok bersenjata dari para oposisi Suni moderat. Rusia memasukkan mereka sebagai kelompok teroris. Serangan Rusia pada kelompok oposisi ini  juga sering menyasar masyarakat sipil dan telah menewaskan ribuan orang.

Padahal, mereka  yang tergabung dalam Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah atau biasa disebut Koalisi Nasional Suriah itu selama ini didukung oleh koalisi internasional, termasuk Saudi dan Turki, baik dana maupun persenjataan. Bagi Saudi, Turki, dan masyarakat internasional,  penyelesaian konflik di Suriah adalah ISIS dan kelompok radikal lainnya harus dihancurkan, Presiden Bashar Assad mundur, dan kekuasaan dikembalikan kepada rakyat yang diwakili oleh Koalisi Nasional Suriah. Yang terakhir ini mereka anggap sebagai kelompok Suni moderat yang juga dianut oleh mayoritas rakyat Suriah.

Karena itu, bila Rusia terus menyerang basis-basis Suni moderat ini dikhawatirkan akan menyeret negara-negara Suni seperti Saudi, Turki, dan negara-negara lainnya ke dalam konflik yang berkepanjangan di Suriah. Ketika hal itu terjadi bisa saja nasib militer Rusia seperti ketika mereka menjajah Afghanistan beberapa tahun lalu. Intervensi militer Rusia yang pada awalnya dianggap sebagai ‘piknik pasukan’ justeru bisa menjadi kuburan masal buat mereka.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement