REPUBLIKA.CO.ID, Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*
Pernyataan politik terbaru PM Israel Benyamin Netanyahu yang menolak solusi damai koeksistensi Palestina-Israel mengundang reaksi keras dari pihak yang selama ini mengupayakan perdamaian antarkeduanya. Termasuk bagian dari pihak itu ialah 'orang dalam Israel'.
Marc Schneier, rabi yang pernah menganggap seluruh Muslim merupakan antisemitis. Sebagai pemuka Yahudi, Rabi Marc tetap menganjurkan pendekatan solusi damai yang mewujud pada bentuk diskusi sipil. Menghindari pendekatan militeristik.
Sepaham dengan Rabi Marc, Imam Shamsi Ali memandang konflik Israel-Palestina mestinya bisa dipecahkan dengan kesadaran untuk tidak bosanbosan menggelar dialog terutama antardua pemeluk agama besar: Islam dan Yahudi.
Dialog lintas agama dipandang perlu lantaran sekian lama kedua pemeluk agama tersebut terkesan saling menutup diri dan menaruh curiga. Pun, pemeluk agama juga bisa menjadi aktor mewujudkan perdamaian terutama melalui jalan dialog.
Sebelumnya, Imam Shamsi muda juga pernah menganggap Yahudi selalu berupaya menghancurkan umat Islam. Namun, peristiwa 11/9 mengubah keadaan beku keduanya. Tampaknya memang harus ada gelaran dialog lintas agama agar pemeluk agama bisa leluasa menumpahkan segala macam sakwasangka untuk kemudian diklarifikasi bersama.
Awalnya, ikhtiar menghelat dialog itu mendapat tentangan keras dari internal Muslim maupun Yahudi. Teranggap sebagai langkah sia-sia. Namun, Imam Shamsi dan Rabi Marc kukuh bahwa dialog adalah pintu masuk untuk saling memahami sembari melenturkan nalar radikalisme beragama.
Pertanyaan turunan yang muncul: bukankah dialog antar pemeluk agama sudah sering dihelat? Ya, namun selama ini yang lebih intens terlihat ialah gelaran dialog Muslim-Nasrani laiknya di Indonesia dan MuslimHindu seperti di India. Nah, giliran dialog Muslim-Yahudi masih teranggap minim–untuk tidak mengatakan tidak pernah ada dialog.
Dan, Amerika Serikat menjadi tempat ideal (baca: netral) bagi perajutan lokus dialog. Apalagi, baik Muslim maupun Yahudi mengalami nasib sama sebagai kaum imigran yang secara historis mengalami kemarginalan di sektor publik. Keduanya samasama menjadi minoritas namun 'mewakili' jutaan mayoritas di
Dalam dialog bersama Rabi Marc dan jemaatnya, Imam Shamsi mencoba menjelaskan makna jihad yang selama ini dianggap komunitas nonMuslim sebagai doktrin membahayakan. Laku-laku destruktif macam menebar teror bahkan aksi pemboman laiknya pada tragedi WTC tahun 2001 silam, terang benderang bukan bagian dari ajaran Islam. Menjauhi laku curang dan ucap dusta justru bagian dari esensi jihad.
Sementara Rabi Marc menjelaskan secara detail konsep 'Bangsa yang Terpilih' yang bersimpul dengan mengenyahkan kesalahpahaman soal konsep keterpilihan dalam Yudaisme. Pun, Imam Shamsi juga memberi perspektif luas perihal Khairu Ummah.
Dengan kata lain, agar pemaknaan sebagai 'superioritas' sebuah bangsa/umat hendaknya secara arif ditafsir komprehensif agar tidak memunculkan kejumawaan dan arogan. Bukankah manusia hakikatnya setara di depan Tuhan dengan tanpa melihat asal-usul keturunan?
Kontradiktif dengan Islam yang mengajarkan untuk saling mengasihi dan bertegur sapa kepada semua komunitas tanpa memandang identitas agama. Problem 'oknum' dalam setiap pemeluk agama yang kerap berbuat onar perlu diabaikan lantaran oknum tidak mewakili kalangan mainstream. Dari sini lah, Rabi Marc juga berupaya keras memerangi Islamofobia dalam tubuh umat Yahudi. Menunjukkan bahwa tidak semua Yahudi adalah jahat.
Bagi Rabi Marc, Israel tidak sekadar urusan wilayah geografis, namun merupakan intisari teologi Yahudi. Maka, Israel mutlak harus diperjuangkan mati-matian. Maka tidak mengejutkan ketika konflik IsraelPalestina dianggapnya sebagai konflik bersifat teologi (halaman 245).
Sedangkan Imam Shamsi menganggap Yerusalem sangat penting dalam sejarah Islam namun tidak sampai menilainya sebuah konflik agama. Namun, Rabi Marc mengakui kesulitan menentukan batas-batas wilayah yang dimaksud sebagai Tanah Israel (Tanah yang Dijanjikan) (halaman 242). Kiranya ini lah yang menjadi alasan mengapa tentara Israel terus memperluas area pendudukannya.
Menjadi pionir dialog Yahudi-Muslim untuk mencairkan ketegangan hubungan selama ini. Setidaknya, uraian-uraian keduanya dalam buku terjemahan ini menyiratkan banyak kesamaan prinsip ajaran. Yakni: pengajuran kasih sayang dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dan, salah besar bila merajut dialog lintas agama selalu diartikan sebagai upaya kekalahan/pengakuan kebenaran/basa-basi kesantunan penganut agama satu dengan lainnya.
Namun, melainkan lebih untuk saling berbagi pengertian. Toh, baik Imam Shamsi maupun Rabi Marc dalam banyak tema teologi tetap kukuh berpegang pada keyakinannya masing-masing. Keduanya bersepakat untuk tidak bersepakat dalam urusan sakralitas ajaran agama. Jadi, tidak kemudian Imam Shamsi sertamerta mencocok-cocokkan teologi Islam dengan Yahudi agar lekas terjalin romantisme keyakinan.
Begitupun sebaliknya. Namun, keduanya bersepakat bahwa keterbukaan diri untuk berdialog merupakan satu-satunya jalan merajut perdamaian dan mengakhiri sak wasangka. Dalam tema kontemporer macam Holocaust, Imam Shamsi berada di garda depan menghadapi bantahan tentang bualan kekejaman Hitler terhadap jutaan etnis Yahudi di Jerman tersebut.
Di sisi lain Rabi Marc menginginkan agar Palestina bisa hidup berdampingan dengan Israel. Apakah ini sebuah sikap kompromi? Lantaran masih banyak Muslim menyangkal tragedi Holocaust dan tidak sedikit Yahudi tidak menghendaki eksistensi Palestina.
Biarpun seandainya hal itu dianggap sebagai upaya kompromi sekalipun, namun, kiranya dapat dikatakan kompromi macam itu sebagai langkah paling realistis upaya nyata mewujudkan perdamaian ketimbang terus mengobarkan api permusuhan dan luncuran rudal. Wallahu a’lam
*Alumnus UIN Yogyakarta
Judul buku: Anak Anak Ibrahim
Penulis: Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier
Penerjemah: Khairi Rumantati
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 303 Halaman