Jumat 14 Nov 2014 23:53 WIB

Di Mana Indonesia?

Faqih
Foto: Republika/Daan
Faqih

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mansyur Faqih

twitter: @m_faqih

"Lho, kamu orang Indonesia kok menjadi prajuritnya Singapura? Bagaimana ini ceritanya?" Penggalan rasa heran Panglima TNI Moeldoko itu mungkin menjadi pertanyaan banyak orang lain saat tahu ada dua WNI yang kemudian ketahuan mengikuti wajib militer (wamil) di Singapura.

Keduanya diketahui menjadi bagian dari pasukan angkatan darat negeri jiran itu saat melakukan latihan gabungan bersama TNI di Magelang, Jawa Tengah. Akibatnya, kedua orang itu kemudian dideportasi kembali ke Singapura. Namun, sebelumnya mereka menjalani pemeriksaan dan isolasi di Magelang selama sepekan.

Kenyataan itu memang menjadi fakta yang ironis. Bagaimana bisa dua orang Indonesia malah mengikuti wamil dan menjadi pasukan dari negara lain? Meskipun kemudian muncul dalih, dua orang itu terpaksa untuk ikut wamil karena berstatus permanent resident di Singapura. Sesuai aturan negara itu, semua warga negara, termasuk permanent resident, diharuskan mengikuti wajib militer.

Tetap saja, alasan itu tak menghilangkan kekhawatiran yang muncul. Sebagian orang khawatir kalau hal itu merupakan bentuk aksi intelijen terhadap Indonesia. Mungkin saja hal itu terjadi. Mungkin.

Namun yang membuat saya miris adalah di mana Indonesia? Di mana Indonesia sampai ada warganya yang dengan sukarela terlibat dalam kegiatan militer negara lain?

Saya masih ingat ketika masyarakat ramai menolak munculnya unsur wamil dalam RUU Komponen Cadangan (RUU Komcad) yang digodok di Komisi I DPR. Padahal, komcad yang termuat di RUU itu berbeda dengan definisi wamil, termasuk praktik yang kini diaplikasikan di Singapura.

Namun, ternyata ada warga Indonesia yang mau ikut wamil tetapi ikut wamil di negara orang lain. Padahal, konsep itu marak ditentang di rumah sendiri yang tujuan sejatinya untuk membela Tanah Air. Pemerintah harusnya tak abai dengan fakta ini. Saat ini Indonesia tak lagi ada di hati beberapa warganya. 

Coba saja lihat apa yang terjadi di Kalimantan Timur yang belum lama ini ramai di media. Sebanyak 10 desa di daerah itu warganya berencana pindah kewarganegaraan ke Malaysia. Alasannya sangat membuat hati pilu di zaman teknologi canggih saat ini, yaitu kelaparan dan kemiskinan. Ketika negara lain berbicara mengenai teknologi untuk menurunkan berat badan, Indonesia masih bergulat soal isu mendasar dari kehidupan manusia: perut!

Dari berita yang beredar diketahui, warga 10 desa itu ingin masuk menjadi warga negara Serawak, Malaysia, karena merasa nasibnya tak diperhatikan oleh pemerintah. Selama ini warga 10 desa di wilayah Long Apri itu hidup sangat memprihatinkan dan jauh dari akses yang layak.

Mereka bisa melihat bagaimana kehidupan sehari-hari yang dialami sangat bertolak belakang dengan kehidupan di wilayah jiran. Bagaimana masyarakat Malaysia bisa hidup dengan perut kenyang serta jaminan kesehatan, pendidikan, dan akses yang layak.

Coba saja main ke wilayah terluar Indonesia yang berbatasan dengan negara lain. Tanya ke warga di sana, mata uang apa yang mereka gunakan untuk transaksi sehari-hari?

Pemerintah, di bawah komando Joko Widodo (Jokowi), harusnya bisa melihat konsep yang disampaikan Ibnu Khaldun, pemikir Islam yang hidup pada abad pertengahan. Ia melihat kekuatan sebuah negara bukan terletak di pusat, melainkan berada di garis terluar negara itu. Wilayah di mana perbedaan antarsatu warga negara dengan lain bertemu. Wilayah di mana orang bisa membedakan bagaimana rasanya hidup di negara lain.

Dengan konteks globalisasi saat ini, garis terluar itu bisa saja merupakan wilayah negara lain. Sejauh manusia Indonesia bisa menjejakkan kakinya. Bagaimana negara bisa hadir di sana? Caranya dengan memastikan kalau mereka tetap menemukan Indonesia di mana pun mereka berada, yaitu dengan menjaga solidaritas yang membuat semua warga negara memiliki satu semangat persatuan yang sama.

Solidaritas yang membuat mereka merasa bahwa Indonesia adalah rumah. Sehingga, sejauh apa pun kaki melangkah, suatu saat akan membawa pulang sang empunya ke rumah.

Untuk itu, pemerintah di bawah rezim Kabinet Kerja memang memiliki pekerjaan rumah yang berat. Apalagi, faktanya, Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan masyarakat yang beraneka ragam.

Walaupun demikian, bagaimanapun caranya, harus tetap dibangun solidaritas agar mereka menemukan Indonesia yang sama di dalam hati dan impiannya. Jangan sampai dua WNI yang saat ini ikut wamil di Singapura kemudian berbuntut pada 250 juta orang lainnya kehilangan Indonesia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement