Rabu 10 Sep 2014 06:00 WIB

Memulihkan Reputasi Politik

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Politik bisa membawa banyak perbedaan, untuk keburukan atau kebaikan. Pandangan dan sikap politik bisa membangkitkan naluri negatif rakyat, seperti saat pemimpin politik menyerukan permusuhan dan penjegalan. Bisa juga membangkitkan naluri positif, seperti pidato Martin Luther King Jr. (28 Agustus 1963), ‘I Have a Dream’, yang memimpikan anak-anak budak dan pemilik budak bisa hidup berdampingan, dan suatu saat kehidupan bangsa tidak ditentukan oleh warna kulitnya melainkan oleh kekuatan karakternya. Suatu kekuatan visi-mimpi yang membangkitkan daya kreatif-kejuangan bangsa yang dalam proses waktu menjelmakan kemenangan Obama.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Pesan ini perlu diinsyafi secara sungguh-sungguh ketika kepuasan dan kepercayaan rakyat pada politik di negeri ini terus merosot. Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.

Masalah utamanya tidaklah pada “sisi-permintaan” (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan “sisi-penawaran” (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.

Seperti menggenapi sindiran David Lloyd George, ”Polikus adalah orang yang dengannya kita tak bersetuju. Tatkala kita bersetuju, dia adalah negarawan.” Faktanya, begitu kerap publik berseberangan dengan keputusan politik. Di mata publik hari ini, istilah politik menjadi sinonim dengan ’korupsi’, ’asusila’, ’aji-mumpung’, ’tipu-muslihat’, ’eksibisionisme-selebritas’, ’fasilitas tanpa kerja keras’. Menyebut seseorang punya ”motif politik” mengandung konotasi bahwa tindakan orang tersebut tidak dilandasi ketulusan, integritas atau kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang positif kecuali untuk kepentingan pribadi.

Sinisme ini terjadi manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika institusi-institusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface, untuk menyatukan aspirasi-aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, justru dikuasai oleh orang-per-orang. Akibatnya tidak ada sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.

Perundang-undangan yang mestinya merupakan kontrak sosial dengan warga negara, terdistorsikan oleh kepentingan sempit-sesaat elite politik. Prosedur demokrasi mengalami penjelimetan dan pemborosan sebagai rintangan masuk bagi para pesaing seraya membuka peluang transaksional yang menguntungkan kepentingan oligarki politik. Dalam logika ini, rekrutmen kepemimpinan lebih menekankan sumberdaya alokatif, ketimbang otoritatif, yang membuat meritokrasi dilumpukan oleh mediokrasi. Akibatnya, horizon harapan perbaikan seperti terhalang.

Masalahnya, apa yang kita harapkan dan dapatkan dari politik tergantung pada asumsi kita tentang watak manusia yang kita proyeksikan pada aktor politik. Politik adalah aktivitas sosial yang akan berjalan baik dalam situasi adanya kerjasama dan saling percaya.  Jika kita berasumsi bahwa orang lain tak bisa dipercaya, atau mensyaratkan orang lain harus bisa dipercaya terlebih dahulu sebelum kita mengembangkan kepercayaan, maka kita menutup kemungkinan deliberasi, kerjasama dan kebajikan kolektif. Itu berarti, kita mengingkari politik.

Perubahan politik harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan bahwa rasionalitas kepentingan individual tak akan dibayar oleh irasionalitas kepentingan kolektif. Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik terpercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan degannya. Sekali aktor politik menunjukkan sinyal bisa dipercaya, maka partisipasi dan kepercayaan rakyat pada politik akan menguat, seperti tampak dalam meluasnya paritisipasi rakyat  dalam pemilihan presiden Amerika yang lalu.

Jika Presiden Obama mampu mengambil inspirasi dari pengalaman hidupnya di Indonesia untuk menggagas perubahan bagi Amerika, mengapa para politisi kita seperti tak mempercayai dan mewarisi nilai-nilai luhur perjuangan bangsa. Marilah kita perbaiki reputasi politik dengan memulihkan kepercayaan serta kesiapan berkorban demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement