Sabtu 28 Jun 2014 06:00 WIB

Selebritas dan Penampilan Mereka

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Ada beberapa hal yang baru-baru ini menyentakkan terkait selebritas dan penampilan mereka. Pertama, tayangan YKS yang telah dihentikan oleh KPI setelah sebelumnya menampilkan segmen yang melukai banyak pihak sebab “mengasosiasikan” Benyamin Sueb, aktor legendaris dan budayawan Betawi yang dihormati, dengan anjing.

Hal kedua adalah penampilan selebritas Indonesia, Ahmad Dhani, dalam video klip yang mengenakan seragam (yang menurut intrepretasi sebagian orang) mirip dengan yang dipakai Heinruich Luitpold Himmler, komandan Schutzstaffel (SS), satuan elite Nazi sekaligus orang kepercayaan Adolf Hitler.

Tidak hanya itu, lebih jauh lencana pada kerah dan lencana merah pada bagian saku kanan dari baju yang dikenakan juga menjadi sorotan sebab (lagi menurut beberapa kalangan) diasosiasikan sebagai simbol rezim Nazi Indonesia.

Kecaman dari banyak pihak berdatangan. Para selebritas Indonesia pun urun suara, memprotes keras penampilan yang seolah menyepelekan luka jutaan keluarga korban kekejaman Hitler. Sesuatu yang tidak pantas terpikirkan, bahkan jika hanya ingin membuat sensasi.

Uniknya, reaksi dari selebritas yang memang kerap menimbulkan kontroversi ini santai saja. Media tidak menangkap lahirnya nada penyesalan dari musisi terkenal tersebut.

Dhani mengaku heran mengapa hal seperti ini baru dipermasalahkan sekarang, padahal kegemarannya pada fashion militer sudah berlangsung lama. Entahlah, apakah Dhani lupa atau tidak sensitif akan konotasi historis pada seragam militer yang kali ini digunakannya.

Dalam berita lain, musisi pria tersebut berkilah, "Apa hubungan antara tentara Jerman dan musisi Indonesia? Kami, orang Indonesia, tidak membunuh jutaan orang Yahudi, bukan?" Dua berita yang menimbulkan reaksi keras.

Terkait YKS, luka yang ditimbulkan tak lantas hilang dari ingatan meski pihak YKS juga Trans TV sudah mendatangi langsung keluarga Benyamin Sueb dan meminta maaf. Pun, dengung perihal seragam Ahmad Dhani meski pihak manajemennya telah mencabut video tersebut dari YouTube.

Bagaimanapun kata-kata, penampilan, dan tingkah polah para selebritas, pejabat, dan tokoh masyarakat bukan perkara sepele. Suka atau tidak suka, diniatkan atau tidak, semuanya menjadi semacam pernyataan sikap. Hal penting yang seharusnya disadari benar oleh tokoh publik.

Tayangan YKS, misalnya, meski diniatkan sekadar hiburan dan tidak dimaksudkan melecehkan, ketika ditampilkan oleh orang-orang atau dalam tayangan milik publik, menimbulkan sorotan yang berbeda. Bukan hanya penghinaan terhadap almarhum Benyamin Sueb yang setelah kepergiannya tahun 1995, tetap dicintai berbagai lapisan masyarakat, tapi juga menjadi semacam pernyataan seolah menghormati yang sudah meninggal (respect for the dead) bukan sesuatu yang penting, hingga karenanya sah saja membuat lelucon terhadap mereka.

Tragisnya pihak stasiun televisi entah bagaimana ikut tidak sensitif sehingga tayangan ini lolos dan disiarkan secara nasional.

Kurangnya pemahaman tentang sosok publik ini tampil jelas dalam jawaban Ahmad Dhani lewat akun Twitter-nya, "Kalo sy pake kalung bintang daud, awam anggap sy Yahudi... klo sy pake seragam Nazi, awam anggap sy Fasis... dasar awam tetep aja awam.

Apakah Der Spiegel, media Jerman yang terusik dan mengangkat berita ini termasuk dalam pihak “dasar awam” yang dikatakan Dhani? Juga Times of Israel yang juga menyoroti hal ini dan menganggap burung garuda berwarna emas yang digunakan dalam klip video tersebut menyerupai lambang elang Nazi. Atau situs Europe online magazine yang memuat artikel berjudul “Indonesian rocker criticized for Nazi outfit in election video?”

Ketiga media di atas merupakan media massa kelas dunia meski kita tak menutup mata bahwa media merupakan alat propaganda dan sering mewakili kelompok atau paham tertentu. Akan tetapi, kali ini suara keras mereka tak bisa dianggap suara masyarakat “awam”.

Berpikir sebelum berkata-kata. Teliti sebelum mengemas satu penampilan. Apalagi terkait era internet saat ini. Bahkan, cuit di akun Twitter pribadi pun kini terbiasa dicomot dan menjadi kutipan sah di berbagai media.

Ikut terimbas hal serupa, beberapa menteri di Tanah Air sempat menuai protes. Masyarakat sama sekali tidak menerima ketika si menteri berdalih ini adalah komentarnya pribadi dan bukan mewakili pernyataan sebagai menteri dalam bidang tersebut.

Seorang motivator nasional terpaksa menutup akun Twitter-nya, juga karena satu twit-nya terkait perokok, mendapatkan gelombang kecaman. Bahkan, meski apa yang dikatakannya sebenarnya sama sekali tidak salah. Padahal, jika saja motivator tersebut berani mempertahankan prinsipnya, pihak lain yang mungkin jumlahnya jauh lebih banyak sebenarnya bisa menjadi pendukung atas sikap dan keberaniannya.

Tidak satu-dua selebritas dunia yang melakukan hal sama, tak tahan diprotes, dan terpaksa menutup akun Twitter mereka. Di sisi lain, walau menakutkan, sebab setiap hal yang ditampilkan seorang tokoh atau selebritas seolah menjadi sebuah pernyataan kepada publik, terbuka kesempatan luas untuk meluruskan pemahaman yang salah, mengedukasi, memberi tuntunan, bahkan mengajak masyarakat luas pada kebaikan, jika para selebritas tadi memahami dampak psikologis, memiliki visi hingga mampu memprediksi respons dan risiko macam apa yang akan lahir dari sesuatu yang mereka sampaikan atau tayangan yang dikemas.

Dan, ini merupakan sebuah ruang luar biasa besar yang bisa menjadi semacam sekolah bagi masyarakat, tak hanya di Tanah Air, bahkan juga dunia serta bernilai ibadah jika dilakukan dengan sadar dan keikhlasan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement