REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Inilah kali kedua lembaga-lembaga survei mati angin. Kasus pertama terjadi saat pemilukada Jakarta pada 11 Juli (putaran pertama) dan 20 September 2012 (putaran kedua).
Kala itu, tak satu pun lembaga survei yang mengunggulkan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai pemenang. Hasil survei prapemilukada semua lembaga itu memperlihatkan, bahwa Fauzi Bowo (Foke) dan Nachrowi Ramli yang akan terpilih nenjadi gubernur dan wakil gubernur.
Bahkan lembaga survei yang menahbiskan dirinya sebagai paling akurat pun terpeleset. Ramalannya yang menyebut Foke-Nachrowi akan memang satu putaran, ternyata hanya bualan belaka. Nyatanya, Jokowi-Ahok melenggang dengan mengungguli Foke-Nachrowi di putaran kedua.
Kejadian (hampir pasti akan) berulang lagi saat pemilu legislatif pada 9 April lalu. Dalam survei prapemilu legislatif, mereka semua memaparkan hasil bahwa partai-partai dengan basis massa Islam akan terseok-seok. Lembaga ‘paling akurat’ tadi bahkan menyebutkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan terlempar karena hanya akan mendapat suara 2,2 persen dan otomatis tak lolos ambang batas parlemen.
Hasil hitung cepat yang mereka lakukan menyodorkan fakta yang berbeda dan meluluhlantakkan kinerja lembaga survei. Semua partai Islam mendapat suara memadai. Memang, suara Partai Bulan Bintang (PBB) berdasarkan hasil hitung cepat saat ini hanya sekitar 1,65%, atau turun dari hasil Pemilu 2009 sebesar 1,79%. Akan tetapi perolehan suara parpol Islam lainnya --versi hitung cepat-- sungguh bersinar.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melejit, dari 4,95% pada pemilu sebelumnya menjadi sekitar 9,57%. Partai Amanat Nasional (PAN) juga naik, dari 6,03% ke kisaran 7,45%. Hanya PKS yang sedikit menurun, meski tak sedrastis hasil survei prapemilu, dari 7,89% menjadi 6,73%.
Dengan total perolehan suara partai Islam sekitar 31,9%, harapan masyarakat pun menggumpal dan berarak di langit politik nasional. Mereka menggemakan perlunya koalisi antarpartai Islam. Terutama, koalisi untuk menyongsong pemilu presiden pada 9 Juli nanti. Selama 10 tahun lalu, beberapa partai Islam memang lebih memilih untuk bergabung dengan sang penguasa (Partai Demokrat).
Harapan koalisis partai Islam tersebut tentu bertolak belakang dengan suara para pengamat dan arah ‘penggiringan’ opini selama ini. Para pengamat dan lembaga survei umumnya berpendapat, politik aliran atau parpol sektarian akan semakin ditinggalkan masyarakat. Hampir semua pihak percaya tatkala hasil survei prapemilu menunjukkan angka rendahnya suara partai Islam.
Namun, kondisi saat ini menjadi berbeda. Umat seolah tergugah dan bangkit begitu banyak pihak akan menafikan keberadaan mereka. Mereka seperti kembali kepada ruh dan ingin menunjukkan jati diri semula.
Tentu ada peluang yang baik bagi parpol Islam untuk menggalang koalisi walau itu tak mudah. Paling tidak, ini disampaikan oleh Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, yang sempat menyatakan kapok menjalin koalisi dengan parpol Islam. Hal ini lantaran Abdurrahman Wahid (PKB) yang pernah diusung oleh parpol Islam sebagai peresiden, akibat pelbagai keputusannya yang banyak bertentangan dengan komitmen koalisi, akhirnya juga diturunkan oleh kelompok yang sama.
Kendala menjalin koalisi partai Islam juga akan cukup rumit saat menentukan capres atau cawapres karena hingga saat ini belum ada tokoh kuat yang bisa menjadi patron bagi mereka. Pembagian kekuasaan lainnya secara proporsional, andai koalisi ini menang, juga akan menjadi persoalan berikutnya.
Dalam pandangan saya, koalisi partai Islam yang hanya menentukan figur pemimpin dan berbagi kekuasaan tidaklah bermakna apa-apa. Harus ada nilai plus lainnya dalam koalisi ini. Koalisi partai Islam sangat penting karena itu perwujudan dari ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan sesama Muslim. Kalau antarsesama Muslim saja tak bisa menjalin ukhuwah, bagaimana mau membina kebersamaan dengan umat lain?
Koalisi partai Islam harus pula mampu memberi bukti pengelolaan negara yang benar, orientasi pembangunan yang membela rakyat banyak, dan tidak hanya mengutamakan kepentingan golongan. Bila ini bisa dijalankan, simpati dan dukungan masyarakat terhadap partai Islam tak akan surut di masa mendatang.
Sudah bukan rahasia lagi, selama puluhan tahun, keuangan parpol amat tergantung pada anggaran negara. Dengan berbagi cara, setiap pejabat akan mengupayakan agar bisa ‘menyisihkan’ dana dari anggaran dan badan usaha milik negara untuk kepentingan partai atau dirinya. Cara tak benar ini dan tindak korupsi lainnya, harus enyah dari perilaku elite partai Islam.
Saat ini, sudah terlalu lama rakyat kecil hidup menderita. Kondisi ini hanya bisa berubah bila kebijakan pembangunan memang memihak kepentingan rakyat kecil. Ini perlu pula menjadi komitmen para elite partai Islam.
Selain itu, para petinggi partai Islam juga harus bisa memberi contoh untuk menghindari terjadinya politik dinasti. Hal ini karena politik dinasti itulah yang menjadi salah satu cikal-bakal tumbuh suburnya perilaku korupsi.
Jika komitmen itu yang diusung, koalisi partai Islam memang amat diperlukan. Kalau sekadar koalisi berlabel Islam tetapi tanpa ruh, maka itu tak akan berlangsung lama karena masyarakat akan melakukan mufaraqah (meninggalkan barisan) lantaran tak ada bedanya atau nilai lebih dibanding koalisi pada umumnya.