Senin 09 Dec 2013 06:30 WIB

Ajaran Pesantren Diamalkan Mandela

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Ketika mendengar kabar Mandela meninggal dunia, bukan hanya penduduk di Afrika Selatan saja yang bersedih. Masyarakat dunia pun ikut berkabung. Mereka, para warga dunia, mulai dari ujung barat ke ujung timur serta dari selatan ke utara menyatakan kesedihannya. Mereka merasa kehilangan seorang tokoh teladan. 

Beberapa pemimpin dunia memerintahkan mengerek bendera setengah tiang sebagai hari berduka.  Sejumlah pemimpin dunia meyatakan akan terbang langsung ke Johannesburg untuk menghadiri pemakaman Mandela, termasuk Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan dua presiden pendahulunya, George W Bush dan Bill Clinton. Presiden Rusia, Putin, juga dikabarkan akan menghadiri pemakaman tokoh yang selalu memakai batik Indonesia ini.

Rasa kehilangan masyarakat dunia yang begitu besar terhadap kematian Mandela (Nelson Rolihlahla Mandela) membuat saya penasaran. Saya pun teringat pelajaran di pesantren dulu. ''Wannasu alfun minhum kawahidin. Wawahidun kal alfi in amru 'ana,'' kata ustad saya. Artinya kira-kira begini: Manusia seribu di antara mereka seperti satu. Dan satu orang seperti seribu apabila ia menaruh perhatian (terhadap yang seribu ini). 

Guru yang lain menyampaikan, manusia yang besar itu akan kelihatan kebesarannya justeru ketika ia sudah meninggal dunia. Ustad lainnya, menjelaskan sebuah Hadis Rasulullah SAW, mengatakan, sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan disertai dengan banyak amal soleh. Seburuk-buruk orang adalah yang panjang umurnya dan buruk perilakunya. ''Karena itu doa umur panjang hanya dibolehkan bila diikuti dengan doa banyak amal soleh,'' ujar ustad.

Mandela jelas tidak pernah mesantren. Namun, menilik sejarah panjang kehidupannya, tampak betul dalam kehidupan sehari-harinya ia mengamalkan nilai-nilai dan ajaran yang biasa diberikan para ustad dan kiai kepada pada santrinya. Simaklah riwayat hidupnya. Mandela bukan tipe pendendam. Ketika dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan (periode 1994-1999), Mandela mengundang orang-orang kulit putih yang dulu memenjarakannya selama 27 tahun sebagai tamu kehormatan. Ia menerima mereka dengan hangat dan ramah. Ia memaafkan sebelum mereka meminta maaf.

Banyak orang yang menyebut dirinya sebagai pejuang. Banyak yang menjadi pemberani melawan sebuah rezim kekuasaan yang lalim. Banyak pula yang menderita siksaan psikis maupun fisik selama dalam penjara. Namun, sangat jarang dari mereka yang kemudian menjadi pemimpin nasional yang negarawan seperti Mandela. Yang terakhir ini telah mengalami siksaan dari yang ringan hingga yang berat. Bisa saja ketika berkuasa ia kemudian balas dendam. Menjebloskan ke penjara siapa pun mereka yang pernah menjadi lawan politiknya. Namun, dengan kebesaran hati Mandela memaafkan siapa saja yang pernah menyebabkannya menderita bertahun-tahun dalam penjara.

Sebagai sarjana hukum bisa saja Mandela membangun masa depan yang enak sebagai pengacara. Ia juga bisa bekerja sama dengan rezim penguasa. Tapi, Mandela lebih memilih berjuang untuk rakyat yang menderita karena politik apartheid kulit putih. Ia juga tidak gentar menghadapi sidang pengadilan yang mengancam hukuman mati. Beberapa kali ia ditawari pembebasan dengan syarat mau bekerja sama dengan penguasa. 

Namun, berkali-kali pula ia menolak pembebasan bersyarat. Ia hanya mau pembebasan tanpa syarat apa pun. Kebebasan yang kemudian ia dapatkan setelah mendekam dalam penjara selama 27 tahun. Bagi Mandela, negara dan bangsanya adalah nomor satu. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak peduli ketika ia harus ditinggalkan istrinya yang cantik. Tidak peduli juga ketika teman-teman seperjuangannya meninggalkannya satu persatu lantaran perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tidak peduli pula ia dikecam teman-teman separtainya ketika ia menolak untuk dipilih menjadi presiden untuk periode kedua. 

Penolakan yang dimaksudkan untuk pendidikan politik buat generasi yang akan datang. Bahwa sebuah negara harus mengedepankan sistem. Sistem yang berlandaskan undang-undang dan hukum. Bagi Mandela, sebuah negara tidak boleh hanya dikendalikan seseorang. Penguasa tidak boleh maruk dan berkuasa sepanjang umurnya betapapun berjasanya dia. 

Apa yang dilakukan Mendela, termasuk hanya mau menjadi presiden dalam satu periode, adalah untuk memberi contoh. Bukan hanya buat Afrika Selatan, tapi juga untuk negara-negara lain, terutama di Benua Afrika.

Sejumlah pihak meramalkan bahwa negara-negara di Benua Hitam itu akan mengalami kekacauan politik setelah merdeka dari pernjajahan. Mereka memprediksi akan terjadi perebutan kekuasaan yang berdarah. Mandela ingin membuktikan bahwa perkiraan mereka, terutama masyarakat Barat, adalah salah. Mandela membuktikan diri bahwa orang-orang Afrika bisa berbangsa dan bernegara dengan benar. Terbukti kemudian bahwa setelah Mandela tidak lagi jadi presiden, Afrika Selatan pun menjadi negara yang demokratis. Pergantian penguasa berjalan normal. Bahkan banyak negara di Afrika yang kemudian mengikuti jejak Afrika Selatan yang demokratis.

Bagi Mandela, berkhidmat untuk bangsa, negara, dan kemanusiaan pada umumnya tidak harus menjadi penguasa. Pemimpin adalah sepanjang masa. Mandela telah membuktikan semuanya. Ia menjadi pemimpin melawan politik apartheid ketika muda, ia tetap memimpin di balik jeruji penjara. Ketika menjadi presiden, ia fokus untuk menghapus pengaruh apartheid dengan memberantas rasisme, kemiskinan, dan mendorong rekonsiliasi rasial serta sosial.

Mandela juga tetap sebagai pemimpin ketika tidak lagi menjabat sebagai presiden. Pemimpin yang mengilhami dan menggerakkan bangsa. Ia pun aktif di lembaga-lembaga amal untuk memberantas kemiskinan dan HIV dan AIDS melalui Yayasan Nelson Mandela. Dengan aktivitas kemanusiaannya itu, pengaruh Mandela pun sudah lintas batas. Lebih dari 250 penghargaan telah ia terima, termasuk Hadiah Nobel untuk Perdamaian pada 1993, Medali Kebebasan Presiden Amerika Serikat, dan Order of Lenin dari Uni Sovyet.

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip perkataan Ibnu Duraid Al Azdy (wafat 321 H), ‘’Wainnama al mar-u haditsun ba’dahu. Fakun haditsan hasanan liman wa’aa.’’ Arti bebasnya kira-kira begini, manusia itu diukur dari pengaruh setelah ia meninggal dunia. Makanya berilah pengaruh yang baik semasa hidup. 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement