Kamis 19 Sep 2013 09:15 WIB
Resonansi

Mitos Gelombang Muslim (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Ada banyak mitos gelombang Muslim di Barat, tegasnya Eropa dan Amerika Utara. Terdapat kalangan Barat yang sangat khawatir dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk warga Muslim dalam diaspora masing-masing. Kekhawatiran ini ditambah terus mengalirnya migran Muslim dari kawasan dunia Islam yang menurut imajinasi mereka akhirnya bakal membuat kaum Muslim menjadi mayoritas penduduk di kedua benua itu dan selanjutnya menguasai politik setempat.

Sejumlah penulis Barat yang membawa semangat anti-Muslim mengklaim, misalnya, pada 2025 nanti populasi Muslim mencapai sekitar 40 persen penduduk Uni Eropa, dan menjelang pertengahan abad 21 mereka menjadi mayoritas di benua ini. Klaim tentang gelombang Muslim ke Eropa dan Amerika Utara menimbulkan berbagai 'mitos' yang meningkatkan sikap anti-Muslim dan fobia Islam di kalangan masyarakat kedua benua tersebut. Akibatnya, kecemasan juga kian meningkat di kalangan Muslim, baik yang merupakan generasi kedua atau ketiga atau migran yang belum lama datang ke Eropa atau Amerika Utara.

Mengadakan beberapa kali perjalanan ke Eropa Barat sepanjang September 2013, saya juga menemukan peningkatan kecemasan di antara kaum Muslim Eropa tentang kian kuatnya sikap permusuhan (hostility) dari penduduk 'pribumi' lokal. Misalnya Ali Mahmud, sopir taksi asal Baghdad yang membawa saya dari Hotel Sheraton di pusat Kota Stockholm ke Bandara Arlanda pada awal September. Ketika saya tanya tentang kehidupannya belakangan ini, dia menjawab singkat, hidupnya kian sulit dan hampir selalu mendapat tatapan tajam penumpangnya yang mengisyaratkan kemarahan dan kebencian.

Mencoba berefleksi tentang nestapa Ali dan kalangan kaum Muslim Eropa lain, saya ibarat mendapatkan "pucuk dicinta ulam tiba" di Bandara Arlanda ketika di salah satu toko buku menemukan karya Doug Saunders, The Myth of the Muslim Tide: Do Immigrants Threaten the West (New York: Vintage Books, 2012). Meski buku ini mencakup anak judul "immigrants" secara umum, isinya hampir sepenuhnya menyangkut tentang kaum Muslim migran yang menetap di Eropa dan Amerika Utara.

Walaupun begitu, 'gelombang' imigran ke Barat sebenarnya bukan hanya mencakup kaum Muslim. Sebelum datangnya migran Muslim setelah Perang Dunia II, sampai sekarang masih berlangsung apa yang disebut sebagai ‘gelombang’ Katolik dan ‘gelombang’ Yahudi di Eropa maupun Amerika Utara. Tetapi, gelombang kedua masyarakat keagamaan ini dalam hal tertentu berbeda dengan gelombang migran Muslim yang mulai berlangsung intensif sejak masa pasca-Perang Dunia II sampai sekarang.

Gelombang-gelombang imigran ke Barat selalu mendapatkan 'perlawanan’ dari masyarakat lokal. Meskipun dalam kasus migran Muslim belakangan kelihatan lebih sengit. Kesengitan itu jelas banyak terkait dengan peristiwa penyerangan WTC di New York dan markas Pentagon 11 September 2001 di AS, yang kemudian disusul pengeboman di London dan Madrid.

Ketika gelombang kaum Katolik ke AS terus meningkat sejak dasawarsa awal abad 20, pada 1949 seorang penulis, Paul Blanchard, menerbitkan buku American Freedom and Catholic Power. Buku ini segera menjadi hit dengan masuk daftar best seller harian the New York Times selama 11 bulan berturut-turut. Edisi pertamanya terjual 240 ribu kopi dan dicetak ulang sampai 26 kali.

Blanchard menyalakan ‘lampu merah’ yang menyentakkan masyarakat Protestan Amerika. Ia mengatakan, gelombang migran Katolik ke Amerika mendatangkan ancaman serius bagi demokrasi, kesetaraan, dan sekularisme Amerika. Menurut dia, migran Katolik berasal dari negara-negara yang hampir sepenuhnya otoriter, fundamentalis secara keagamaan, dan menentang hak-hak perempuan serta menolak pembatasan kelahiran (birth control).

Selain itu, gereja Katolik menganut dogma tidak bisa diubah yang sudah ditetapkan sejak zaman azali. “Gereja [Katolik] adalah peninggalan otoritarianisme abad pertengahan yang tidak punya tempat pas dalam demokrasi Amerika," tulisnya.

Lebih jauh, seperti juga tuduhan yang dilontarkan kepada kaum Muslim belakangan, Blanchard menuduh migran Katolik dengan tingkat kelahiran yang tinggi bakal melampaui jumlah masyarakat Protestan, dan akhirnya menguasai kepresidenan Amerika. “Mereka tidak bakal terintegrasi, sebaliknya, membuat masyarakat terpisah yang berencana jahat (plot) memaksakan keimanan mereka secara lebih luas."

Persepsi yang sama juga berlaku bagi kaum Yahudi yang mulai bermigrasi ke Amerika Utara sejak dasawarsa akhir abad 19. Umumnya mereka berpindah karena meningkatnya sikap anti-Yahudi di Rusia dan Eropa Timur. Semula, mereka bermigrasi ke Eropa Barat yang kemudian juga menjadi anti-Yahudi sehingga akhirnya berpindah ke Amerika Utara--AS dan Kanada.

Memang, di kota besar seperti New York, di mana terdapat imigran Yahudi dalam jumlah signifikan, mulai terlihat mereka membentuk masyarakat terpisah. Mereka tampil dengan penampilan fisik, agama, bahasa, pakaian, dan makanan (kosher) yang khas. Media setempat berulang kali mengingatkan dalam laporannya tentang "masalah orang asing" yang telah "menguasai" pertetanggaan. Orang-orang Yahudi sering dianggap sebagai pelaku kriminal, sehingga Komisioner Polisi New York, Theodore Bingham, pada 1908 menulis di North American Review, “Meski orang Yahudi hanya seperempat penduduk kota, separuh mereka adalah kriminal."

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement