Kamis 15 Aug 2013 07:00 WIB
Resonansi

Indonesia, Turki, dan Arab (3)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Lebih dua dasawarsa membaca, mempelajari, dan mengambil spesialisasi keilmuan dalam kajian perbandingan masyarakat-masyarakat Muslim Timur Tengah dan Asia Tenggara dan ditambah lagi pengamatan dekat dan intens atas fenomena sosial-budaya dan politik, saya dapat memahami sejumlah perbandingan antara transisi menuju demokrasi yang dialami Indonesia pada satu pihak dengan beberapa negara Arab di lain pihak.

Transisi relatif lancar dan singkat Indonesia dari otoritarianisme menuju demokrasi dalam masa pasca-Soeharto banyak terkait dengan kenyataan bahwa negeri ini memiliki modal dan struktur masyarakat politik (polity) relatif mapan. Indonesia sejak masa kemerdekaan mengadopsi demokrasi dengan sistem multipartai dan pemilu kompetitif yang dilaksanakan pada 1955. Memang, dalam perkembangannya, demokrasi Indonesia tidak merupakan real democracy ketika Presiden Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) yang tak lebih daripada selubung otoritarianisme Soekarno.

Hal yang mirip terjadi pada masa Orde Baru ketika Presiden Soeharto memperkenalkan demokrasi tiga partai (Golkar, PDI, PPP) yang dia sebut Demokrasi Pancasila. Meski terlihat adanya unsur 'demokrasi’ dengan tiga partai tersebut dan juga pemilu reguler, demokrasi genuine tak terwujud karena tidak ada kebebasan politik dan media massa dan absennya fungsi check and balances.

Demokrasi lebih daripada sekadar partai politik dan pemilu reguler. Sebuah negara dapat disebut demokrasi jika memiliki pilar dan kultur politik demokrasi, seperti kebebasan berserikat dan menyatakan aspirasi demokratis dan kebebasan media massa. Meski demikian, dalam batas tertentu, masyarakat politik Indonesia tetap saja telah memiliki pengalaman dalam demokrasi.

Adanya masyarakat politik menjadi faktor penting ke arah transisi dan konsolidasi demokrasi. Ketiadaan atau lemahnya masyarakat politik (polity) membuat sulitnya transisi dan konsolidasi demokrasi. Negara-bangsa yang lemah dalam masyarakat politik menghadapi banyak kesulitan karena kelemahan atau ketiadaan infrastruktur politik dan budaya demokrasi.

Argumen tersebut dapat diaplikasikan ke dunia Arab dalam transisi demokrasi. Umumnya negara Arab tidak memiliki atau lemah dalam infrastruktur budaya dan politik demokrasi. Libya, misalnya, hampir tidak memiliki infrastruktur politik dan budaya kondusif bagi demokrasi untuk tumbuh. Apa yang pernah ada di Libya hanyalah Muammar Qadafi yang mapan sebagai satu-satunya institusi. Keadaan tambah runyam dengan adanya tribalisme yang divisif.

Sedangkan di Mesir, terdapat sejumlah partai politik, khususnya sepanjang masa rezim otoritarianisme Mubarak. Tetapi, kekuatan dominan adalah partai penguasa; partai-partai lain hanyalah dekorasi—sama dengan keadaan Indonesia di masa rezim Soeharto. Bedanya menyangkut rezim adalah Mesir memiliki rezim Mubarak yang dapat disebut sebagai die-hard authoritarian, sementara rezim Soeharto bisa dijuluki sebagai soft authoritarian.

Eksistensi civil society atau masyarakat sipil, masyarakat kewargaan atau masyarakat madani; ada atau tiadanya, atau kuat atau lemahnya, masyarakat sipil sangat menentukan apakah transisi dan konsolidasi demokrasi dapat berjalan lebih cepat atau sebaliknya, lebih lambat dan sangat sulit.

Indonesia jauh lebih beruntung dibanding negara-negara Arab karena Indonesia sangat kaya dalam hal civil society, baik dalam bentuk ormas berbasis keagamaan (religious-based civil society), LSM advokasi, dan asosiasi profesi-kepentingan. Dua bentuk masyarakat sipil yang disebutkan pertama sangat krusial dan instrumental dalam membangun dan memperkuat civic culture dan selanjutnya civility yang perlu bagi setiap demokrasi untuk tumbuh.

Religious-based civil society juga memainkan peran sangat penting dalam menyediakan kepemimpinan alternatif dalam masa transisi dan konsolidasi demokrasi. Ketika kepemimpinan politik dan militer menemukan jalan buntu dan tak mampu menyelesaikan konflik di antara mereka, kepemimpinan alternatif dari civil society dapat tampil dan memainkan peran krusial dalam penyelamatan negara-bangsa.

Pada saat yang sama, ormas berbasis juga sangat penting untuk menjaga kohesi sosial sehingga masyarakat dapat terhindar dari disintegrasi yang muncul dari sektarianisme politik, agama, dan etnis. Melalui jaringan organisasinya, ormas-ormas ini dapat memelihara kohesi dan soliditas sosial.

Dalam bacaan dan pengamatan saya, civil society seperti yang ada di Indonesia, nyaris absen atau sangat lemah di banyak bagian dunia Arab. Kenyataan ini banyak terkait dengan budaya Arab yang lebih menekankan tribalisme atau kabilahisme daripada ikatan asosiasi sukarela yang relatif bebas dari sektarianisme. Tambahan lagi, kekuasaan otoritarianisme yang relatif lama di dunia Arab hampir tidak memberikan ruang banyak kemunculan dan penguatan independent civil society.

Karena itu, transisi dan konsolidasi demokrasi bisa dipastikan berlangsung lama dan pedih. Indonesia yang dekat dengan negara-negara Arab semestinya membantu mereka dengan segala daya dan cara.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement