Kamis 13 Jun 2013 07:03 WIB

Menanti Kehadiran “Citta Slow” di Indonesia

Tol dalam kota Jakarta.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Tol dalam kota Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Wibisono Bagus Nimpuno*

Perkembangan teknologi di era globalisasi saat ini merupakan sesuatu yang tidak akan terbendung dan akan terus berkembang seiring dengan permasalahan yang dihadapi oleh bumi ini dan perubahan perilaku manusia yang diakibatkan olehnya.

Manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang akan dicapainya karena kepuasaan hanya akan membuat manusia tersebut berhenti untuk berusaha. Namun, usaha tersebut jika tidak memperhatikan lingkungan sekitar akan memberi dampak negatif yang bisa berdampak panjang. Sejatinya Allah menciptakan manusia dan mengirimnya ke bumi untuk menjadi khilafah yang akan mengurus semua isi bumi dengan sebaik-baiknya.

Namun, kenyataannya bumi sekarang semakin sekarat akibat ulah manusia. Perubahan budaya dan perilaku dalam tatanan masyarakat modern perkotaan sebagai salah satu akibat cepatnya perkembangan teknologi. Masyarakat dihadapkan pada segala sesuatu yang serba cepat dan instant. Muncul istilah-istilah instant access, fast food, sosial media, dsb.

Istilah-itilah tersebut telah menjadi sebuah keseharian yang ditemui di perkotaan. Tidak hanya secara individu, perkembangan cepatnya pertumbuhan teknologi diikuti dengan cepatnya perkembangan kawasan urban, sehingga semakin sedikit tanah (ruang terbuka) yang bisa kita nikmati. Hutan-hutan beton dan aspal perlahan mulai menghiasi bumi kita, entah apakah dimasa mendatang anak cucu kita akan melihat dan mencium yang kita sebut dengan tanah.

Selama ini, indikator pertumbuhan ekonomi selalu ditunjukkan dengan pertumbuhan infrastruktur yang pesat, tidak heran kota-kota di Indonesia berlomba-lomba untuk membangun gedung pencakar langit. Kebanyakan dari pemerintah daerah berkiblat pada Jakarta yang notabene sebagai ibukota, padahal seharusnya mereka bisa lebih mengelola kearifan lokal dan menjaga lingkungan alamnya. Indonesia kaya akan budaya dan tatanan masyarakat tradisional yang memiliki harmoni dengan alam.

Konsep ‘kampung’ yang tidak ditemui di kota besar sebisa mungkin harus dipertahankan, jangan sampai hubungan social masyarakat yang terdapat pada konsep “perkampungan” digantikan oleh sosial media seperti yang terjadi di kota besar, dimana interaksi antar sesama hanya dilakukan melalui dunia maya. Banyak aspek-aspek lain yang bisa dijadikan indicator dalam keberhasilan pertumbuhan ekonomi, misalnya kualitas hidup masyarakat, kondisi alam, tatanan ruang dan perilaku, tingkat polusi, dsb.    

Dalam membendung pesatnya arus pertumbuhan teknologi dan perkotaan, maka di Italy muncul sebuah gerakan yang bernama “Cittaslow” atau Slow City. Gerakan tersebut muncul sebagai bentuk protes terhadap masuknya restoran cepat saji (fast food) yang hadir disebuah kota di Italy. Seperti kita ketahui, makanan cepat saji memiliki dampak negatif terhadap kesehatan, sehingga mereka mengkampenyekan slow food (atau makanan rumahan). Selain penerapan slow food, citta slow yang saat itu menjadi gerakan global melawan arus globalisasi membuat kriteria-kriteria lain yang sejalan dengan visi-misi mereka, sehingga muncul istilah Cittaslow atau Slow City.

Saat ini “Cittaslow” telah menjadi organisasi International dengan beberapa Negara anggota yang menerapkan konsep tersebut, sebut saja Italia, Inggris, Cina, Australia, Turki, dsb.

Cittaslow memiliki 50 kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi sebuah slow city. Menerapkan slowcity tidak berarti menolak penggunaan sarana teknologi dan informasi, namun, penggunaan sarana tersebut haruslah terkendali dan bijak.

Konsep cittaslow merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan kota yang berkelanjutan. Bagaimana dengan di Indonesia? konsep “Cittaslow” dapat diadopsi, khususnya didaerah yang memiliki struktur kota tua, seperti Semarang, Yogyakarta, Surakarta, atau di daerah yang dikelilingi oleh alam yang masih terjaga dengan baik, desa-desa adat dan kota-kota yang menjadikan sector pariwisata sebagai pendapatan daerah.

Selain itu, kota-kota yang belum memiliki potensi apapun, dengan menerapkan konsep tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu destinasi wisata yang bisa menjadi andalan dalam menggerakkan ekonomi didaerahnya. Kearifan budaya lokal dan keharmonisan dengan alam harus dijaga, tidak semua harus menjadi metropolitan dan megapolitan. Beri kesempatan anak cucu kita untuk bisa melihat alam dan kebesaran-Nya kelak.

*Mahasiswa Pascasarjana, prodi Perancangan Kota Istanbul Technical University, Turki

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement