Rabu 05 Jun 2013 07:45 WIB
Resonansi

Membumikan Pancasila

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Sebuah kongres bertajuk “Strategi Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila” baru saja dihelat di kampus Universitas Gadjah Mada (31 Mei-1 Juni). Pertanyaan sentral kongres tersebut adalah bagaimana idealitas nilai-nilai Pancasila bisa dibumikan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara?

Pertanyaan itu mewakili kesadaran banyak orang dalam menyoal Pancasila. Setelah 67 tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan bernegara terus diimpikan tanpa kemampuan untuk membumikannya.

Sebuah penantian kesiasiaan menyerupai kisah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Alkisah, Vladimir dan Estragon berhari-hari menanti di jalan sunyi kedatangan makhluk misterius bernama Godot. Setelah yang dinanti tak kunjung datang, keduanya memutuskan untuk pergi. Estragon: “Baiklah, haruskah kita pergi?” Vladimir: “Ya, mari kita pergi.” Meski begitu, keduanya tidak bergerak, tetap di tempat.

Waktu terus berlalu, meninggalkan bangsa Indonesia terus menanti pendaratan mesiah Pancasila. Penantian yang tak kunjung datang melahirkan sumpah serapah. Dalam kaitan ini, warisan terburuk dari pemerintahan otoriter adalah ketidaksanggupan warga untuk membayangkan sisi-sisi baik dari masa lalu. Masa lalu dipandang sebagai sumber kutukan. Pancasila yang diindoktrinasikan di masa lalu lantas ramai-ramai dihapus dari kurikulum persekolahan dan kesadaran kenegaraan.

Setelah sumpah serapah dimuntahkan atas penantian yang dijanjikan masa lalu nan tak kunjung datang, kita memutuskan pergi untuk mengubah keadaan lewat reformasi. Nyatanya, keputusan pergi itu tidak diikuti oleh pergerakan. Perubahan demi perubahan prosedural terus terjadi untuk membuat kehidupan bangsa tetap jalan di tempat. Dalam kaitan ini, warisan terburuk dari pemerintahan demokratis yang tak membawa perbaikan adalah ketidakmampuan warga untuk membayangkan sisi-sisi baik dari masa depan.

Dalam kegelapan harapan ke depan, orang-orang kembali menengok masa lalu. Pancasila kembali dirayakan. Namun, sekali lagi, tanpa kesungguhan usaha untuk membumikan. Kepedulian terhadap Pancasila berhenti sebagai komedi omong, yang tingkat kedalamannya hanya sampai di tenggorokan. Kadar pembumian Pancasila hanyalah berayun dari seremoni penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) ke seremoni sosialisasi 4P (Empat Pilar), tanpa kekayaan metodologi dan perluasan imajinasi pematrian nilai-nilai Pancasila itu dalam pembentukan karakter bangsa.

Setiap pandangan hidup atau ideologi yang ingin memengaruhi kehidupan secara efektif, tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, melainkan perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses “pengakaran” (radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).

Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus diyakinkan bahwa, seperti kata John Gardner, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.” Mematrikan keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan afektif-emotif dengan menggunakan bahasa seni-budaya dan instrumen multimedia akan jauh lebih efektif.

Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus dijadikan paradigma keilmuan yang melahirkan teori-teori pengetahuan dan komunitas epistemiknya. Proses objektivikasi ini penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Setiap rancangan perundang-undangan selalu didahului oleh naskah akademik. Jika pasokan teoretis atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang bersumber dari paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan perundang-undangan yang tak sejalan dengan imperatif moral Pancasila.

Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia tidak akan dapat meraih kemajuan-kebahagiaan yang diharapkan.

Radikalisasi Pancasila merupakan suatu kemestian, betapapun hal itu merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri yang dirundung banyak masalah. Namun, dengan semangat gotong-royong yang menjadi nilai inti Pancasila, kesulitan itu bisa ditanggung bersama.

Dalam membangkitkan semangat itu, diperlukan kepemimpinan yang dapat memulihkan kembali kepercayaan warga pada diri dan sesamanya. Kekuasaan digunakan untuk menguatkan solidaritas nasional dengan memberi inspirasi kepada warga untuk mencapai kemuliaannya dengan membuka diri penuh cinta pada yang lain. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam kehidupan publik untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement