Kamis 23 May 2013 15:04 WIB

Miss World, Bisnis Eksploitasi Perempuan?

Miss World
Miss World

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fika Apriani

Tahun 2013 ini Indonesia untuk kali pertama kalinya didaulat menjadi tuan rumah Miss World 2013. Sebanyak 130 kontestan akan berkompetisi untuk meraih mahkota wanita tercantik sejagad.

Rencananya, karantina peserta dilaksanakan di Nusa Dua Bali dan  puncak acara digelar di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, 28 September 2013

mendatang.

Sambutan baik yang diberikan Gubernur Jawa Barat terhadap acara ini ternyata tidak didukung oleh elemen Islam di Jawa Barat. MUI Kota Bogor, FKUB, Muhammadiyah, NU, Persis, Aisyiah, HASMI, HTI, Fos Armi, Garis, BSMI, FUI, PPI, dan dari kalangan partai seperti PAN, PPP, PBB, ramai-ramai menolak kontes wanita tercantik sejagat itu.

Penolakan tersebut diperlihatkan dengan cara penandatanganan surat pernyataan penolakan pada acara milad ke 13 Keluarga Muslim Bogor. Alasan Ahmad Heryawan yang menilai kontes ini akan berjalan lebih sopan karena tidak ada bikini yang digunakan pada kontes tersebut tidak menyurutkan langkah tokoh-tokoh umat Islam untuk kontes buka-bukaan aurat terbesar di dunia tersebut.

Ajang Miss World 2013 di Indonesia diselenggarakan oleh MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo.  Liliana Tanaja Tanoesoedibjo, istri Hary Tanoe, merupakan pendiri Miss Indonesia Organization. Keuntungan besar jelas akan didapat oleh pihak penyelenggara, wajar saja karena hak siar lajang lenggak-lenggok wanita lajang berbusana minim itu sepenuhnya milik penyelenggara.

Sejak dilangsungkan pertama kali tahun 1951 di Inggris, kontes kecantikan ini memang ditujukan dalam rangka bisnis. Kontes ini diselenggarakan pertama kali oleh Eric Morley. Tahun 2000 kontes Miss World berpindah tangan kepada istri Eric Morley, Julia Morley. Di tangan wanita ini, ajang tersebut terus berkembang menjadi sebuah

bisnis raksasa/global.

Miss World yang berpusat di London ini membuat waralaba (franchise) ajang tersebut dan sudah dibeli di 130 negara. Uang yang didapatkan dari bisnis kontes wanita ini mencapai 450 juta dolar Amerika.

Miss World tidak ubahnya Miss Universe, hanya beda pemilik saja. Jika Miss World punya pengusaha Inggris, Miss Universe adalah milik pengusaha Amerika Donald Trump. Kedua kontes ini selain ajang untuk memperkenalkan produk pakaian renang/bikini juga terdapat misi politik yang harus diemban oleh pemenang kontes ini.

Selain eksploitasi dan merendahkan martabat perempuan, tidak ada sedikitpun nilai positif yang bisa dilihat dari ajang ini. Raupan keuntungan yang diraih pihak penyelenggara tidak sebanding dengan jatuhnya harga diri perempuan yang harus menjadi makenin kepornoan. Dalam kontes tersebut, tubuh perempuan tidak lebih hanya sebagai kapstok untuk memajang desain terbaru produk fashion dan kosmetika keluaran terbaru yang akan memberikan untung bagi pihak perusahaan tersebut.

Ini jelas eksploitasi! Inilah potret nyata perempuan di alam demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, demokrasi, tidak lebih dari sekedar komoditi

dan bahan eksploitasi untuk meraih keuntungan bagi para pengusaha.

Kehormatan perempuan tidak lagi dijaga bahkan menjadi barang murah yang bisa didapatkan dimana saja. Aurat terbuka bebas dimana-mana bahkan diberi lahan khusus, dan perempuan dalam demokrasi hari ini, dengan bangga mengikutinya.

Bukan dengan membuka aurat dan menjadi terkenal kemuliaan perempuan didapatkan, tetapi dengan menutup aurat, menjaga kehormahatan, dan menjadi hamba-Nya yang taat keagungan seorang perempuan itu dapat diraih.

Jelas bukan dengan prinsip hidup bebas ala demokrasi yang menjauhkan aturan Tuhan dalam kehidupan, tapi kemuliaan hidup perempuan hanya akan didapat dengan Islam.

Mahasiswa FIK Unpad 2009

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement