Rabu 03 Apr 2013 17:10 WIB
Resonansi

Demokrasi Anarki

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif

Tindakan anarkistis menyusul Pemilukada Kota Palopo, Sulawesi Selatan, membersitkan sisi kelam dari demokrasi kita. Ruang kebebasan yang dimungkinkan demokrasi digunakan untuk membunuh nilai-nilai demokrasi.

Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana nonkekerasan.

Di bawah kondisi-kondisi demokratis, kekuasaan dan kepentingan tidak bisa diperoleh melalui jalan pemaksaan, melainkan melalui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik pada orang lain yang setara meskipun berbeda. Demokrasi juga merupakan suatu sistem pembagian kekuasaan secara legal yang aktor-aktornya sama-sama menghindari bahaya kekerasan dan sama-sama diuntungkan oleh ketiadaan kekerasan.

Ekspresi kekerasan di Palopo dan juga daerah lainnya di Tanah Air mengindikasikan bahwa kecepatan perubahan prosedur dan kelembagaan demokrasi tak seiring dengan kecepatan perubahan budaya politik. Perubahan budaya politik memang perkara yang paling muskil dan lambat dalam transformasi menuju masyarakat demokratis, karena melibatkan perubahan mendasar dalam tata nilai yang tidak bisa diarahkan secara efektif oleh elite penguasa dalam tempo singkat.

Akan halnya di Indonesia, kesulitan perubahan budaya politik ini dipersulit oleh konsentrasi yang berlebihan pada perubahan aspek-aspek prosedural dengan mengabaikan perhatian pada proses pembelajaran masyarakat. Elite dan partai politik hanya sibuk melakukan perubahan aturan main demi kepentingannya sendiri, melupakan fungsi pendidikan politik dan kapasitas rakyat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tatanan tersebut.   

Dalam pada itu, betapa pun demokrasi telah membawa keterbukaan ruang publik yang memungkinkan pengartikulasian beragam kepentingan, tidaklah berarti bahwa suara-suara publik itu otomatis mendapat akses pada proses pengambilan keputusan. Penjelimetan prosedur demokrasi menyuburkan isu politik yang membuat rezim pemberitaan harus berkejaran dengan perputaran isu yang berganti cepat.

Akibatnya, perhatian publik pada isu tertentu sulit mengalami pengendapan dalam tempo yang relatif lama karena bisa segera dilibas oleh isu lainnya. Situasi ini memberi angin bagi para perumus kebijakan yang cenderung narsistis untuk lebih mengurusi agenda kepentingannya sendiri, dengan mengabaikan perhatian pada aspirasi publik.

Terjadinya kemampatan transformasi aspirasi dari ranah publik ke ranah kebijakan memberi peluang bagi proses dagang sapi dalam penyusunan prioritas kebijakan dan perundang-undangan. Kebijakan pemekaran wilayah merupakan lahan yang sarat transaksi seperti itu. Dalam banyak kasus, pengabulan pemekaran tidaklah didasarkan pada tingkat urgensi atas pertimbangan strategisnya, melainkan oleh tingkat “kecanggihan” deal maker-nya.

Perkembangan cepat dalam proses pemekaran wilayah merangsang elite-elite lokal yang kalah bersaing dalam wilayah politik lama untuk memperjuangkan pemekaran. Dirangsang oleh preseden irasionalitas izin pemekaran sebelumnya, elite-elite ini pun kerapkali datang tanpa kalkulasi yang masuk akal dan bisa saja menggunakan aksi-aksi irasional dalam memaksakan kehendaknya. Dengan kata lain, aksi irasionalitas kekerasan dalam kasus Sumatra Utara itu merupakan arus balik dari kebijakan-kebijakan irasional yang dikeluarkan oleh para pembuat kebijakan sebelumnya di seantero negeri.

Oleh karena itu, demokrasi sebagai cara menyelesaikan masalah publik tanpa jalan kekerasan hanya bisa dipertahankan dengan memuliakan akal sehat dan pertanggungjawaban. Politik sebagai sarana menyelesaikan masalah kolektif harus dibebaskan dari tawanan kepentingan elitis menuju kemaslahatan hidup bersama, di mana kebebasan hanya memperoleh kemuliaannya dengan bertanggung jawab kepada yang lain.

Untuk itu, demokrasi lebih dari sekadar ledakan kebebasan dan penjelimetan prosedural, melainkan juga suatu transformasi dalam proses belajar kolektif. Secara perlahan, masyarakat harus dibawa keluar dari ikatan-ikatan komunal yang tertutup menuju asosiasi-asosiasi yang terbuka. Di dalam asosiasi, syarat keanggotaan tidaklah ditentukan oleh latar primordialnya, melainkan oleh kapasitas individualnya.

Hal ini merupakan prasyarat bagi kehidupan kenegaraan dan kewargaan yang baik. Bahwa keanggotaan dan kepemimpinan dari suatu unit lembaga kenegaraan tidaklah didasarkan oleh latar primordial, seperti putra daerah, melainkan oleh kemaslahatan dan kapasitas warganya. Dalam konteks bernegara, warga masyarakat harus bertransformasi menjadi warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

Oleh karena itu, demokrasi yang baik memerlukan pendidikan kewarganegaraan yang baik. Bahwa manusia dan warga masyarakat yang baik tidaklah dengan sendirinya menjadi warga negara yang baik. Untuk menjadi warga negara yang baik, pemimpin dan kebijakan negaranya sendiri harus baik berkelindan dengan kapasitas warganya untuk menyadari hak dan kewajibannya.

Kita telah memiliki perangkat keras demokrasi, tetapi perangkat lunaknya masih tetap tirani. Marilah kita belajar berdemokrasi dengan memuliakan nilai-nilainya!

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement