Kamis 21 Mar 2013 07:00 WIB

Arnie Karlsson dan Agama

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Arndt Karlsson, biasa dipanggil Arnie. Lelaki aktivis advokasi HAM dan demokrasi asal Denmark ini sudah saya kenal sejak lima tahun lalu. Di antara waktu itu, saya bertemu dia beberapa kali di Oslo dan Stockholm dalam konferensi menyangkut tema-tema tentang HAM, demokrasi, dan agama. Dalam kesempatan di sela konferensi, kami sering pula bertukar pikiran dan berdebat tentang agama.

Arnie adalah tipikal banyak orang dari kawasan Nordic atau Skandinavia yang ateis atau sedikitnya agnostik, walaupun negara-negara tersebut memiliki agama resmi semacam Kalvinis atau Lutheran. Arnie dan banyak warga Skandinavia lain bisa disebut sebagai ‘ateis organik’, tidak percaya pada Tuhan karena pilihan bebas.

Sebaliknya, banyak pula orang yang merupakan ‘coercive ateis’, yang diwajibkan negara otoriter-totaliter komunis untuk tidak percaya kepada agama yang dianggap hanya sebagai ‘candu’ yang merusak kehidupan.

Berapa banyak orang semacam Arnie? Menurut berbagai laporan Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia PBB sejak 2004 tentang agama dan juga sumber lain semacam Gallup (2006-2012), Dentzu (2006), atau Zuckerman (2005) tentang ‘Irreligion by Country', dari sekitar 170 negara, kawasan Skandinavia memiliki persentase warga ateis atau diagnostik paling banyak.

Tertinggi Swedia sekitar 64-85 persen dari total penduduk; kedua, Denmark 48-80 persen; ketiga Norwegia 54-72 persen. Kemudian, berurutan Jepang 65 persen, Republik Ceska 54-61 persen, Finlandia 41-60 persen, Prancis 44-54 persen, Korea Selatan 30-52 persen, Estonia 49 persen, dan Jerman 41-49 persen.

Mengapa sikap ateis, diagnostik, atau ‘tidak beragama’ (irreligion) bisa begitu luas di banyak negara? Arnie menjelaskan beragam faktor, sejak dari perlawanan historis terhadap otoritas, kepemimpinan, dan lembaga agama yang korup, irasionalitas aspek tertentu ajaran agama, intensif dan ekstensifnya sekularisasi masyarakat sampai pertimbangan ‘praktis’ untuk tidak ‘menghabiskan’ waktu dalam berbagai ritual agama.

Kalau begitu, apa pegangan warga ateis dan diagnostik dalam kehidupan sehari-hari? “Kami percaya, humanisme sekuler, kepatuhan kepada hukum, saling menghormati hak setiap orang merupakan pegangan yang membuat kehidupan sehari-hari warga tenteram”, ujar Arnie.

Tetapi, Arnie bukan merupakan representasi sempurna masyarakat Barat. Amerika Serikat yang menerapkan sekularisme ternyata merupakan salah satu di antara sedikit negara Barat yang termasuk kategori religius. Menurut berbagai sumber tadi, hanya sekitar 3-7 persen warga Amerika yang menyatakan diri sebagai ateis atau tidak beragama; persentase yang sama juga terdapat di Irlandia.

Kebanyakan warga di kedua negara ini selain masih percaya kepada Tuhan, juga rajin mengunjungi rumah ibadah. Bagaimana keadaan di Dunia Muslim? Menjawab pertanyaan Arnie ini saya menjelaskan, umumnya negara berpenduduk mayoritas Muslim secara legal-konstitusional tidak membenarkan warganya menjadi ateis, diagnostik, atau tidak beragama.

Berbeda dengan banyak negara di kawasan dunia Muslim yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, Indonesia mengadopsi Pancasila sebagai dasar negara. Meski Pancasila merupakan deconfessional ideology yang tidak terkait dengan Islam atau agama manapun. Pancasila melalui sila pertamanya menjadikan agama sebagai sebuah kewajiban kewargaan.

Dalam konteks terakhir ini, saya kembali mendapat pertanyaan tajam dari Arnie. Jika Indonesia menjamin kebebasan beragama, mengapa negara ini tidak pula sekaligus membebaskan warga untuk tidak beragama, atau diagnostik atau bahkan ateis.

Ketentuan Konstitusi—khususnya dalam Pembukaan UUD 1945 tentang Pancasila—boleh saja mewajibkan warga untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa—tetapi dalam praktiknya bukan tidak ada warga ateis, agnostik, atau tidak beragama. Hal inipun tidak luput dari catatan Gallup (2006-2011) yang mencatat adanya sekitar satu persen warga Indonesia yang ateis atau tidak beragama.

Terlepas dari masalah metodologis tentang bagaimana Gallup mendapatkan angka persentase itu, dalam kehidupan sehari-hari tidak sulit menemukan kalangan warga yang ateis, agnostik, atau tidak beragama. Bahkan, juga orang yang dalam KTP-nya mencantumkan agama tertentu, tetapi tidak pernah memedulikan ajaran agama.

Hal ini sesuai dengan pertanyaan yang diajukan Gallup kepada para respondennya, “Is religion an important part of your life”. Bagi kebanyakan warga Indonesia jawabannya adalah “yes”, tapi ada juga warga yang menjawab “no”.

Adanya warga yang tidak percaya agama, atau tidak memandang agama sebagai hal penting dalam kehidupannya, jelas merupakan peringatan buat otoritas dan kepemimpinan agama, penyiar, lembaga, dan ormas agama negeri ini.

Jika dalam realitas kehidupan sehari-hari, kian banyak orang tidak peduli pada agama, dan sebaliknya melakukan tindakan melanggar ajaran agama seperti korupsi, ketidakadilan, kelaliman dan kemunafikan, boleh jadi pula irreligiusitas warga tambah merajalela. Peningkatan irreligiusitas di tengah disorientasi bangsa dapat membuat negara-bangsa Indonesia semakin terpuruk secara akhlak, moral, dan etik.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement