Rabu 13 Feb 2013 15:35 WIB
Resonansi

Depolitisasi Demokrasi

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif

Tahun 2013 disebut-sebut sebagai tahun politik. Setahun menjelang Pemilihan Umum keempat pada masa reformasi, kegaduhan skandal politik memang merebak di kalangan elite politik. Ironisnya, kalangan wong cilik justru kian menunjukkan tanda-tanda kejenuhan, apatisme dan ketidakpercayaan pada politik. Ini terlihat dari peningkatan angka golput di berbagai pilkada, serta merosotnya kepercayaan publik pada pemerintah, DPR dan partai politik dalam berbagai survei.

Jika setengah atau lebih dari jumlah penduduk tak menggunakan hak pilihnya, negeri ini mengalami erosi partisipasi. Hal ini mengindikasikan gejala depolitisasi baru. Jika di masa Orde Baru, fenomena depolitisasi ini hasil rekayasa negara untuk memalingkan penduduk dari dunia politik ke dunia ekonomi. Di masa kini, fenomena ini merupakan ekpresi kesukarelaan rakyat sebagai wujud ketidakpercayaan, bahkan mungkin kebencian, pada partai dan para pemimpin politik.

Di mata sebagian besar rakyat, politik telah menjadi kata yang kotor. Istilah politik belakangan ini menjadi sinonim dengan ’korupsi’, ’asusila’, ’aji-mumpung’, ’tipu-muslihat’, ’eksibisionisme-selebritas’, ’fasilitas tanpa kerja keras’. Menyebut seseorang punya ”motif politik” mengandung konotasi bahwa tindakan orang tersebut tidak dilandasi ketulusan, integritas atau kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang positif kecuali untuk kepentingannya sendiri.

Mengapa rakyat membenci politik? Hal ini terjadi ketika partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika institusi-institusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface, untuk menyatukan aspirasi-aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, justru dikuasai oleh orang-per-orang. Akibatnya tidak ada sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif. Sumberdaya negara menjadi rebutan kepentingan individual yang tidak membawa kemaslahatan bagi kepentingan bersama.

Dengan kata lain, politik telah gagal mengemban fungsinya. Di negara yang paling liberal sekalipun, politik difungsikan sebagai sarana untuk mengimbangi ketidaksetaraan yang tak terhindarkan yang berlangsung di ranah pasar-individual. Ketidaksetaraan ini dicoba dicegah dan diimbangi oleh politik setidaknya dengan tiga cara. Pertama, menjaga iklim kompetisi yang sehat dengan mencegah terjadinya dominasi monopolitistik-oligopolistik serta persekongkolan penguasa-pengusaha (insider trading). Kedua, dengan cara melindungi yang lemah lewat berbagai jaminan hukum, sosial dan skema ekonomi kecil. Ketiga, dengan jalan berinvestasi dalam sarana-sarana publik (public goods), seperti sarana transportasi masal, institusi pendidikan dan kesehatan publik yang bisa diakses oleh semua warga tanpa pandang bulu.

Apa yang terjadi di Indonesia dalam perkembangan akhir-akhir ini, praktek dan kebijakan politik justru semakin menguatkan ketidaksetaraan. Politik semakin memperburuk iklim kompetisi, membela yang kuat ketimbang yang lemah, serta mengabaikan sarana-sarana publik dengan lebih mengedepankan privatisasi. Ketika konsepsi publik tergeser oleh hegemoni konsepsi privatisasi, yang kuat semakin kuat dan yang lemah kian terpuruk. Rakyat kebanyakan yang hidup dalam lilitan kesulitan menjadi sekadar bilangan statistik untuk kepentingan manipulasi kebijakan ekonomi dan politik.

Dalam pada itu, pasar politik yang semakin padat modal, dalam kondisi kesulitan hidup masyarakat, mengarah pada tumbuhnya industri politik dengan melumpuhkan industri sektor riil sebagai topangan hidup rakyat. Sulitnya kehidupan membuat rakyat lebih berpontang-panting meluangkan waktu lebih banyak untuk sekadar bertahan hidup ketimbang mendatangi bilik-bilik suara. Kalaupun datang ke bilik suara, sebagian lebih didorong kepentingan survival juga, sebagai balas budi kepada mereka yang bayar.

Jika proyek demokrasi ini hendak dipertahankan, diperlukan adanya penyegaran dalam iklim politik kita. Politik harus dikeluarkan dari diktum teori ”pilihan rasional” (rational choice theory), bahwa rationalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik harus ditambatkan kembali pada konsepsi Aristotelian, yang memandangnya sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum; terutama kepentingan kaum lemah, dengan jalan mensubordinasikan kepentingan-kepentingan partikular pada kepentingan kolektif. Politik harus berhenti memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan ’kebajikan publik’. Singkat kata, politik tak boleh lagi dipandang sebagai seni memerintah dengan jalan menipu rakyat.

Siapapun yang berambisi mengambil alih tongkat kepemimpinan nasional harus mampu menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik. Prinsip dasar republikanisme yang berintikan persemakmuran bersama harus ditegakkan, ketika gelombang demokratisasi yang mestinya berorientasi memberdayakan rakyat, justru meninggalkan rakyat dan kemudian ditinggalkan rakyat.

Siapa pun yang punya kehendak untuk mempin bangsa ini, tak peduli tokoh tua atau pun muda, hendaklah mereka memiliki kesiapan untuk ”mengorbannya” dirinya demi ”menyelamatkan” bangsanya. Hanya dengan cara itu, kepercayaan dan harapan rakyat pada politik dan republik bisa dipulihkan.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement