Rabu 08 Aug 2012 12:41 WIB

Melampaui Kegelapan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif 

Ada banyak alasan yang membuat kita kecewa dengan perkembangan kehidupan di negeri ini. Kemana saja kita menghadap, yang tampak seolah hanyalah kekacauan, kepandiran, kerakusan, kemunafikan, kelicikan, dan kelambanan. Mediokritas menjadi warna dominan yang kita sapukan di atas kanvas ke pemimpinan nasional di segala bidang. 

Warna inilah yang memantulkan kecemasan ihwal krisis kepemimpinan. Ketidakateraturan menjadi tatanan umum kehidupan bernegara. Kekacauan tatanan inilah yang melahirkan kemacetan dan ketakterkendalian di mana-mana. Aji mumpung menjadi etos kekuasaan.

Mentalitas menerabas inilah yang mengembangbiakkan korupsi dan menguras cadangan kekayaan bersama. Fenomema mediokritas ini berakar dari apa yang di sebut Frank Furedi (2004) sebagai “the cult of philistism”, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh minat yang berlebihan terhadap interesinteres material dan praktis.

Dunia pendidikan sebagai benteng kedalaman ilmu meng alami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan se jauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.

Orang-orang yang mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai “elitis”, “tak membumi”, dan “marjinal”. Kedalaman ilmu di hindari sedangkan kedangkalan dirayakan. Sekolah sekolah berlomba memberi kemudahan bagi orang-orang malas dan “pecundang” dari kalangan atas, dengan memarjinalkan akses orang-orang rajin dan unggul dari kalangan bawah. Sehingga, merebaklah kegandrungan pada gebyar lahir, ketimbang isi batin.

Kita cenderung melompat pada hasil akhir ketimbang meniti perbaikan proses secara berkeringat dan bertanggung jawab. Demi selebrasi kemenangan, teknik manipulasi dikembangkan dengan melumpuhkan peraturan dan kelembagaan. Maka, institusi-institusi yang dirancang untuk memperbaiki kualitas hidup bernegara, satu persatu mengalami krisis ke wibawaan. Kekinian dihebohkan begitu banyak gerak-gerik tanpa gerakan; begitu dahsyat gebyar pencitraan tanpa kedalaman substansial; begitu banyak perjalanan sekadar untuk jalan di tempat; begitu banyak perubahan se kadar untuk menambah masalah.

Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi saat ini pada hakikatnya merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan karena pengabaian olah batin oleh penyelenggara dan warga negara. Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPKI seperti mengantisipasi kemungkinan ini, “Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif, bukankah tujuan kita propatria.

Tetapi, propatriaper orbis concordiam. Maka, alam moral ini hendaknya kita pecahkan karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.” Betapa pun negeri ini diliputi awan kelam, kita tidak boleh mengutuk bangsa sendiri dengan pesimisme negatif. Psikolog David D Burn mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah. Pemikiran negatif mendistorsikan persepsi sehingga segala hal dipandang buruk dan tak bermakna. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme dan ketidakbermaknaan, daya hidup dilumpuhkan oleh nestapa 4D ( defeated, defective, disserted, dan deprived) yang dihayati sebagai kebenaran mutlak. Di sini, Burn menganjurkan perlunya pemikiran positif dan rasa optimistis.

Pemikiran positif dan optimistis tersebut tentu saja harus besifat realistis. Bukan menunggu kebaikan bak rezeki durian runtuh, melainkan perlu disertai kerja keras dengan kebenaran dan kesabaran dalam pacuan waktu.

Bahwa, kecemasan dan pesimisme akan masa depan hanya bisa diatasi dengan berlomba- lomba menanam biji kebaikan hari ini. Pesimisme akan masa depan terjadi karena sedikit orang yang menanam kebaikan pada hari ini. Padahal, kemarin dan hari esok ditentukan hari ini.

Mengapa begitu? Karena, waktu cepat berlalu sehingga masa kini dalam hitungan hari segera beralih menjadi masa lalu. Maka dari itu, siapa yang dapat mengontrol hari ini dapat mengontrol masa lalu sedangkan siapa yang dapat mengontrol masa lalu dapat mengontrol masa depan. Apa yang membuat kesilaman sebagai kenangan keagungan dan kedatangan sebagai harapan kebahagiaan adalah kesabaran dan keseriusan kita merebut hari ini.  

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement