
Oleh : Hendarman; Analis Kebijakan Ahli Utama pada Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen, Ketua Dewan Pakar Jabatan Fungsional Analis Kebijakan INAKI, dan dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan karakter pemuda adalah investasi krusial bagi keberlanjutan suatu bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan global yang kompleks. Globalisasi menyebabkan peluang sekaligus tantangan signifikan bagi pemuda, mulai dari disrupsi teknologi hingga isu sosial yang kompleks.
Menarik apabila mencermati rencana besar dari Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam kaitan pembangunan pemuda Indonesia masa depan. Kementerian yang dipimpin oleh Erick Thohir ini menitikberatkan pada nilai patriotik/patriotisme, empati dan gigih dalam pembangunan pemuda.
Rencana besar ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, dimana Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Rencana ini patut diapresiasi dan didukung mengingat kesiapan pemuda tidak hanya diukur dari kemampuan akademis, tetapi juga dari kekuatan karakter.
Ketiga pilar karakter itu sangat krusial dan relevan untuk menghadapi dinamika perubahan yang terjadi. Patriotisme setidaknya terkait dengan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap negara; empati terkait dengan kemampuan merasakan dan memahami kondisi orang lain; dan kegigihan yang menyangkut dengan semangat pantang menyerah.
Belajar dari pengalaman baik (best practices) di beberapa negara merupakan hal penting. Keberhasilan negara-negara tersebut dapat diadopsi atau diadaptasi dalam rangka mengembangkan strategi efektif dan sistematis.
Pengalaman Singapura
Singapura menekankan pada pendidikan kewarganegaraan dan karakter yang terstruktur. Pendekatan yang sangat terstruktur melalui program "Character and Citizenship Education" (CCE) yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah dari tingkat dasar hingga menengah.
Dalam kaitan dengan patriotisme, CCE menekankan pemahaman mendalam tentang sejarah Singapura, keragaman budaya, dan tantangan unik sebagai negara-kota kecil. Yang diterapkan bukan sekadar hafalan, melainkan analisis kritis terhadap perjuangan bangsa untuk bertahan hidup. Partisipasi dalam upacara bendera dan kegiatan Hari Nasional dirancang untuk menanamkan kebanggaan nasional yang kuat.
Nilai empati diajarkan melalui proyek pembelajaran berbasis komunitas (Service Learning). Bagi murid atau pemuda diwajibkan terlibat dalam kegiatan sukarela yang berhubungan langsung dengan kelompok rentan atau isu sosial lokal. Misal, mereka mengunjungi panti jompo atau membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Pengalaman langsung ini memupuk kepekaan sosial dan pemahaman akan realitas masyarakat.
Nilai kegigihan ditujukan untuk menyeimbangkan tekanan dengan fokus pada pengembangan resiliensi mental dan kemampuan beradaptasi. Program konseling sekolah dan dukungan sebaya didorong untuk mengelola stres dan bangkit dari kegagalan akademis.
Pengalaman Jepang
Negara ini menekankan pada integrasi nilai dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga nilai karakter tersebut dikuatkan dengan penekanan pada realisasi pengajaran moral dalam kehidupan sehari-hari (Padmadewi, 2015). Nilai-nilai seperti harmoni sosial, kolektivitas, dan ketekunan sangat dihargai dalam budaya Jepang.
Patriotisme lebih sering diwujudkan dalam bentuk penghargaan mendalam terhadap budaya, tradisi, lingkungan lokal, dan kepatuhan terhadap aturan sosial yang ketat. Rasa tanggung jawab kolektif terhadap keharmonisan masyarakat ("wa") adalah bentuk nyata cinta tanah air.
Empati dan kepedulian diajarkan secara eksplisit melalui kegiatan sehari-hari di sekolah. Contoh, murid membersihkan ruang kelas dan area sekolah mereka sendiri secara bergiliran (osoji). Aktivitas ini mengajarkan kerja tim, tanggung jawab kolektif, dan empati terhadap petugas kebersihan serta lingkungan sekolah.
Nilai kegigihan (gambaru) sangat tertanam dalam etos kerja dan pendidikan di negara ini. Murid didorong untuk terus berusaha keras, meskipun menghadapi rintangan sebagai bagian dari ekspektasi sosial. Kegiatan klub sekolah yang menantang dan budaya kerja keras di lingkungan akademis memperkuat ketahanan mental ini.
Pembelajaran
Pengalaman kedua negara tersebut menunjukkan bahwa pembangunan karakter patriotik, empati, dan gigih pada pemuda memerlukan pendekatan yang terencana dan terintegrasi. Kunci keberhasilan terletak pada pergeseran dari pengajaran teoretis semata menuju pembelajaran berbasis pengalaman nyata. Pengalaman nyata didasarkan atas praktik nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dan masyarakat.
Yang tidak kalah penting adalah bahwa Pemerintah atau negara tidak dapat memainkan peran tersebut secara sendirian. Pemerintah harus bekerja sama dalam bentuk sinergi dengan penekanan pada kejelasan peran dan tugas dari masing-masing pihak. Sinergi dimaksud juga harus dilakukan dengan kementerian/lembaga terkait di tingkat makro. Dalam tingkat mikro maka peran keluarga, sekolah, dan komunitas harus disinergikan dan diberdayakan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan karakter yang holistik ini.