Selasa 02 Dec 2025 06:21 WIB

Teori Ketidakpastian Heisenberg: Ketika Tumbler Tuku Mengubah Realitas Sosial

Media sosial Indonesia sedang menuju moral heat death.

Pasangan suami istri, Alvin dan Anita, meminta maaf atas kasus tumbler Tuku yang viral, melalui video yang diunggah pada Kamis (27/11/2025) malam.
Foto: Dok. Instagram/@alvinhrrs
Pasangan suami istri, Alvin dan Anita, meminta maaf atas kasus tumbler Tuku yang viral, melalui video yang diunggah pada Kamis (27/11/2025) malam.

Oleh : Anang Fahmi, Pusdiklat BAZNAS RI, Dosen UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto

REPUBLIKA.CO.ID, Werner Heisenberg mengajarkan bahwa dalam mekanika kuantum, tindakan mengamati sebuah partikel akan mengubah keadaan partikel itu sendiri. Siapa sangka, prinsip fisika kuantum ini menemukan analoginya dalam drama tumbler Tuku di KRL: tindakan mengamati (viral di media sosial) telah mengubah realitas kejadian itu sendiri—dari kehilangan barang sederhana menjadi katastrofe eksistensial bagi semua pihak.

Entropi Informasi yang Tak Terkendali

Dalam termodinamika, entropi adalah ukuran ketidakteraturan. Sistem tertutup cenderung menuju entropi maksimum—chaos. Begitu pula kasus ini.

Anita Dewi meninggalkan tumbler di KRL. Dalam sistem tertutup (prosedur standar KAI), persoalan ini seharusnya diselesaikan secara linear: lapor → verifikasi → pengambilan barang → selesai. Entropi informasi rendah, terkontrol.

Namun, Anita membuka sistem dengan menghujat di media sosial: "TUMBLER TUKU-ku GONE ATAS KE-TIDAK TANGGUNG JAWAB PETUGAS PT KAI". Sistem langsung menjadi terbuka. Informasi menyebar eksponensial—viral. Entropi meledak.

Dalam fisika, entropi yang meningkat drastis tidak bisa dikembalikan (Second Law of Thermodynamics). Begitu pula reputasi Argi Budiansyah yang hancur, pekerjaan Anita yang hilang—irreversible. Tidak ada "undo button" dalam termodinamika sosial.

Prinsip Superposisi

Dalam eksperimen kucing Schrödinger, seekor kucing berada dalam superposisi kuantum—hidup dan mati secara bersamaan—sampai kotak dibuka dan observasi dilakukan.

Argi Budiansyah adalah kucing Schrödinger versi digital. Sebelum investigasi tuntas, ia berada dalam superposisi: bersalah dan tidak bersalah sekaligus. Ia menemukan tas, memotret sebagai bukti, menyimpan sesuai SOP. Tapi tumbler hilang—entah sebelum atau sesudah ia terima tas dari rekan sebelumnya.

Netizen, sebagai "observer" dalam eksperimen ini, melakukan wave function collapse prematur. Mereka "membuka kotak" dan langsung memutuskan: Argi bersalah. Tidak ada ruang bagi probabilitas lain. Tidak ada investigasi kuantum yang menyelidiki semua kemungkinan state.

Ini bukan sains. Ini pseudosains massa yang dibalut emosi.

Relativitas Persepsi

Einstein mengajarkan bahwa tidak ada frame of reference absolut. Waktu dan ruang bersifat relatif terhadap pengamat.

Dari frame of reference Anita: "Saya melapor, petugas bertanggung jawab, tumbler saya hilang = petugas bersalah."

Dari frame of reference Argi: "Saya menerima tas dari shift sebelumnya, tas sudah ringan, saya simpan sesuai SOP = saya sudah bekerja sesuai prosedur."

Dari frame of reference PT KAI: "Barang bawaan adalah tanggung jawab pelanggan = kelalaian awal ada pada penumpang."

Ketiga perspektif ini sama-sama valid dalam frame masing-masing. Kesalahan fatal netizen adalah menggunakan satu frame absolut dan menghakimi semua pihak dari perspektif tunggal. Ini melanggar prinsip relativitas Einstein.

Efek Kupu-Kupu

Edward Lorenz membuktikan bahwa dalam sistem chaotic, perubahan kecil di kondisi awal dapat menghasilkan perbedaan dramatis di hasil akhir. Seekor kupu-kupu mengepakkan sayap di Brasil bisa memicu tornado di Texas.

Satu tweet Anita dengan huruf kapital—kepakan sayap digital—memicu tornado sosial:

  • Argi terancam kehilangan pekerjaan (gelombang pertama)
  • Netizen menyerang Anita (gelombang balasan)
  • Perusahaan Anita memecat dia (gelombang ketiga)
  • PT KAI harus klarifikasi publik (gelombang keempat)
  • Media massa memberitakan (gelombang kelima)

Ini adalah deterministic chaos: sistem yang sebenarnya deterministik (punya aturan jelas) tapi perilakunya tak terprediksi karena sensitivitas ekstrem terhadap kondisi awal.

Anita tidak mungkin memprediksi bahwa curhatannya akan berujung pemecatan dirinya sendiri. Tapi dalam sistem chaotic media sosial, itu bukan hanya mungkin—itu probable.

Hukum Kekekalan Energi yang Dilanggar

Dalam fisika klasik, energi tidak bisa diciptakan atau dihancurkan—hanya berubah bentuk (First Law of Thermodynamics).

Tapi dalam ekonomi digital, rage (kemarahan) adalah energi yang bisa diciptakan dari ketiadaan. Tidak perlu input energi faktual. Cukup narasi emosional.

Anita mengubah kehilangan tumbler (energi potensial personal) menjadi kemarahan publik (energi kinetik massal). Netizen mengubah kemarahan menjadi virality (energi elektromagnetik digital). Media mengubah virality menjadi klik dan revenue (energi ekonomi).

Ini adalah perpetual motion machine yang mustahil dalam fisika, tapi sangat nyata dalam media sosial: mesin kemarahan abadi yang menghasilkan "energi" tanpa batas, melanggar semua hukum kekekalan.

Konsumerisme Kuantum

Dalam mekanika kuantum, partikel bisa berperilaku sebagai gelombang atau partikel—tergantung bagaimana kita mengamatinya (wave-particle duality).

Tumbler Tuku memiliki dualitas serupa:

Sebagai partikel (objek material): Tumbler adalah wadah minuman seharga ratusan ribu rupiah. Fungsi: menyimpan cairan. Nilai intrinsik: rendah.

Sebagai gelombang (simbol sosial): Tumbler adalah signifier kelas menengah urban, gaya hidup "sustainable", aesthetic Instagram, status sosial. Nilai ekstrinsik: sangat tinggi.

Anita tidak kehilangan partikel. Ia kehilangan gelombang—identitas simboliknya di ruang digital. Dan dalam dunia kuantum media sosial, observasi (likes, shares, validation) adalah yang membuat gelombang ini "real".

Tanpa observasi digital, tumbler hanya tumbler. Dengan observasi massal, tumbler menjadi eigenstate dari krisis identitas konsumerisme modern.

Black Hole Media Sosial

Stephen Hawking pernah mempertanyakan: apa yang terjadi pada informasi yang jatuh ke black hole? Apakah informasi itu hilang selamanya (melanggar mekanika kuantum) atau tetap terenkripsi entah di mana?

Media sosial adalah black hole informasi. Sekali sesuatu "jatuh" ke dalamnya (viral), informasi itu tidak bisa dihapus sepenuhnya. Meskipun Anita menghapus postingan, screenshot abadi. Meskipun Anita minta maaf, Google cache tetap ada.

Hawking radiation dari black hole media sosial ini adalah remix, meme, dan narasi terdistorsi yang terus muncul—radiasi informasi yang slowly evaporates tapi tidak pernah benar-benar hilang.

Argi akan selamanya terhubung dengan kasus ini di search engine. Anita akan selamanya diingat sebagai "wanita tumbler Tuku". Informasi terenkripsi di event horizon digital, tidak bisa dihancurkan, tidak bisa dikembalikan.

Keruntuhan Fungsi Gelombang Kolektif

Dalam interpretasi Copenhagen mekanika kuantum, fungsi gelombang (yang mewakili semua kemungkinan state) runtuh menjadi satu state ketika observasi dilakukan.

Netizen Indonesia melakukan collective wave function collapse prematur:

  • Fungsi gelombang Argi (kemungkinan: bersalah, tidak bersalah, korban sistem, dll.) runtuh menjadi: "pencuri tumbler"
  • Fungsi gelombang Anita (kemungkinan: korban, Karen, lalai, dll.) runtuh menjadi: "entitled woman"

Yang mengerikan: tidak ada decoherence (proses alami keruntuhan fungsi gelombang berdasarkan interaksi dengan lingkungan). Ini adalah forced observation oleh massa yang tidak memahami probabilitas—seperti memaksa partikel kuantum menunjukkan posisi definitif sebelum waktunya.

Hasilnya? Quantum Zeno effect: sistem yang terobservasi terus-menerus tidak bisa berevolusi ke state lain. Argi tidak bisa "tidak bersalah" karena massa terus mengobservasi dia sebagai "bersalah". Anita tidak bisa "ditebus" karena massa terus mengobservasi dia sebagai "Karen".

Entropi Moral dan Heat Death Sosial

Termodinamika memprediksikan bahwa universe akan mengalami "heat death"—kondisi entropi maksimum di mana tidak ada lagi energi untuk melakukan kerja, semua mencapai temperatur seragam, dan semua struktur terurai.

Media sosial Indonesia sedang menuju moral heat death: kondisi di mana setiap perbedaan pendapat langsung dihancurkan oleh mob mentality, setiap nuansa diratakan menjadi hitam-putih, setiap kasus kompleks disederhanakan menjadi narasi hero vs villain.

Energi moral yang seharusnya digunakan untuk membangun diskursus konstruktif justru terhamburkan menjadi panas limbah (rage, hate comments, cancel culture). Sistem sosial mencapai thermodynamic equilibrium yang mematikan: semua orang marah dengan intensitas yang sama, tidak ada gradien energi untuk perubahan konstruktif.

Ini adalah maximum entropy state dari ruang digital: chaos total yang tampak seperti keteraturan karena semua orang bereaksi dengan pola yang sama—marah, judge, move on.

Ketidakpastian adalah Fitrah Realitas

Heisenberg mengajarkan uncertainty principle: kita tidak bisa tahu posisi dan momentum partikel secara simultan dengan presisi sempurna. Semakin akurat kita mengukur satu, semakin tidak pasti yang lain.

Dalam kasus ini: semakin kita "yakin" siapa yang bersalah (Argi atau Anita), semakin tidak pasti kita tentang kompleksitas situasi sebenarnya—sistem keamanan KAI, kondisi stasiun saat itu, chain of custody barang, kemungkinan pihak ketiga, dll.

Netizen melanggar prinsip ketidakpastian dengan mengklaim kepastian absolut: "Argi pasti salah" atau "Anita pasti Karen". Ini epistemological arrogance—kesombongan intelektual yang mengklaim tahu lebih banyak dari yang sebenarnya bisa diketahui.

Fisika modern mengajarkan kerendahan hati: realitas inheren uncertain, probabilistik, dan observer-dependent. Fenomena sosial jauh lebih kompleks dari partikel subatomik. Jika fisikawan terbaik dunia mengakui keterbatasan mereka dalam memahami partikel, mengapa netizen begitu yakin bisa menghakimi manusia dalam 280 karakter?

Epilog: Dalam Ketidakpastian, Temukan Kebijaksanaan

Anita dan Alvin akhirnya meminta maaf. Tapi dalam framework fisika modern, maaf itu adalah information scrambling—upaya mengenkripsi ulang informasi yang sudah keluar dari black hole media sosial. Tidak mungkin sepenuhnya berhasil.

Yang tersisa adalah pelajaran tentang phase transition: transisi fase dari masyarakat rasional ke mob digital terjadi sangat cepat—seperti air yang tiba-tiba membeku. Tidak ada warning. Tidak ada pertengahan.

Tumbler Tuku adalah Higgs boson dari absurditas digital: partikel yang memberi "massa" (significance) pada semua interaksi sosial kita yang seharusnya ringan. Tanpa tumbler itu, tidak ada skandal. Tidak ada viral. Tidak ada kehancuran reputasi.

Tapi tumbler itu ada. Dan dalam keberadaannya yang absurd, ia mengajarkan prinsip paling fundamental dari fisika modern dan kehidupan sosial:

Ketidakpastian adalah fitrah. Observasi mengubah realitas. Entropi selalu meningkat. Dan sekali informasi keluar dari kotak Pandora kuantum media sosial—tidak ada jalan pulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement