Kamis 13 Nov 2025 00:16 WIB

KH Sholeh Iskandar: Integrasi Perjuangan Nasional dan Keislaman dalam Bingkai NKRI

Mengenang sejarah tanpa penghayatan nilai akan menjadikan kita penonton pasif.

Plakat gelar pahlawan nasional terlihat saat pemberian gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional ke sepuluh tokoh, yakni Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, Almarhumah Marsinah, Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin, Almarhum Syaikhona Muhammad Kholil, Almarhum Tuan Rondahaim Saragih dan Almarhum Zainal Abidin Syah.
Foto: Edwin Putranto/Republika
Plakat gelar pahlawan nasional terlihat saat pemberian gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional ke sepuluh tokoh, yakni Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, Almarhumah Marsinah, Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin, Almarhum Syaikhona Muhammad Kholil, Almarhum Tuan Rondahaim Saragih dan Almarhum Zainal Abidin Syah.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh Eko Saputra Dosen Praktisi UIKA Bogor

Dalam perjalanan panjang bangsa kita menuju kemerdekaan dan pembangunan, kita kerap menelisik kembali tokoh-tokoh yang tidak hanya berperan di medan fisik, tetapi juga memadukan dimensi keagamaan, sosial, dan pendidikan dalam visi kebangsaannya. Salah satu sosok yang saya yakini memiliki rekam jejak unggul dalam kapasitas tersebut adalah KH Sholeh Iskandar (1922-1992), ulama dan pejuang dari Bogor, yang turut membentuk identitas Indonesia, baik sebagai bangsa merdeka maupun sebagai masyarakat yang berkemajuan berlandaskan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Sejak era kemerdekaan, KH Sholeh Iskandar telah membuktikan komitmennya sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Ia bukan sekadar mengangkat senjata, melainkan mengartikulasikan semangat jihad kemerdekaan sebagai wujud nyata ukhuwah dan tanggung-jawab terhadap negeri. Perannya dalam barisan perjuangan, kemudian diikuti dengan pengembangan lembaga pendidikan dan pertanian berbasis pesantren, menunjukkan bahwa “kemerdekaan” bagi beliau bukan hanya soal meninggalkan penjajahan, melainkan membuka ruang kemanusiaan dan keislaman yang produktif.

Dalam khazanah keislaman Indonesia, KH Sholeh Iskandar mengambil posisi strategis. Beliau memprakarsai pesantren pertanian Darul Falah dan kemudian mendirikan lembaga tinggi Islam yaitu Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Inisiatif ini menjadi bukti bahwa pendidikan Islam tidak semata-mengaji kitab kuning, tetapi juga mempersiapkan umat dalam kerja nyata, ekonomi produktif, dan penguasaan teknologi sosial. Dengan cara demikian, beliau mengembalikan pesantren ke akar “Ulul Albab” yakni generasi yang cerdas cendikia, berakhlaqul karimah, dan berkontribusi luas.

Pendekatan beliau menunjukkan bahwa dakwah keislaman harus menyentuh tiga ranah utama bangsa, yakni agama, pendidikan, dan kemakmuran sosial. Ketika pesantrennya memadukan pengajaran agama dengan praktik agrikultur dan pemberdayaan ekonomi, maka pesantren tidak lagi dipandang sebagai entitas tertutup, melainkan sebagai agen pembangunan lokal dan nasional. Di sinilah kontribusi KH Sholeh Iskandar tampak sebagai “jembatan” antara nilai keislaman dan nilai kebangsaan: ukhuwah islamiyah dan persatuan nasional.

Menurut hemat saya, pengakuan terhadap jasa-jasa seperti beliau bukanlah sekadar retrospektif sejarah, tetapi juga bentuk pembelajaran strategis bagi generasi sekarang. Dalam zaman yang penuh tantangan dan disrupsi teknologi, perubahan sosial yang begitu instan, polarisasi identitas, kita memerlukan contoh bahwa nilai-nilai agama dan patriotisme tidak harus dipertentangkan melainkan bisa dikolaborasikan. KH Sholeh Iskandar adalah contoh nyata bagaimana seorang ulama‐pejuang mengintegrasikan dua dimensi tersebut: memperkuat iman sekaligus memperkuat negara.

Dengan demikian, seyogyanya kita semua, khususnya warga Bogor, patut mendukung penuh upaya pemerintah daerah dan masyarakat yang telah mengusulkan beliau sebagai pahlawan nasional. Hal ini bukan hanya untuk menghormati memori, tetapi juga untuk menetapkan narasi bahwa perjuangan bangsa kita bersifat multidimensi: militer, sosial, pendidikan, hingga keislaman. Pengakuan resmi akan menguatkan pesan bahwa Indonesia, sebagai negara Pancasila yang menjunjung tinggi nilai Bhineka Tunggal Ika, memberi tempat terhormat bagi ulama yang berkontribusi luas bagi bangsa dan negara.

Dengan demikian, saya mengajak seluruh elemen bangsa, pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pesantren, media massa, untuk menggali lebih dalam arsip, testimoni, dan dokumen terkait KH Sholeh Iskandar, kemudian menyebarluaskan warisan pemikirannya agar tak hanya dikenang, tetapi diteladani. Karena mengenang sejarah tanpa penghayatan nilai akan menjadikan kita penonton pasif. Sebaliknya, ketika generasi muda memahami bahwa pembangunan bangsa adalah bagian dari ibadah dan pengabdian, maka warisan ulama-pejuang seperti KH Sholeh Iskandar akan memberi manfaat jauh melampaui masanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement