
Oleh : Bagus Aryo, Deputi Direktur LKMS, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di era mobilitas tinggi, desa-desa di Indonesia sering kali menyaksikan aset terbesarnya - yaitu generasi mudanya - pergi merantau ke kota besar atau bahkan ke luar negeri. Meskipun keberangkatan mereka kerap dianggap sebagai kehilangan, sesungguhnya para perantau dan diaspora ini adalah sumber daya strategis yang luar biasa. Mereka tidak hanya akan membawa pulang modal finansial, tetapi juga pengetahuan, keterampilan, dan jaringan global yang berharga. Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP), dengan struktur yang tepat dan dukungan regulasi masif yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, dapat menjadi jembatan ideal untuk menyalurkan potensi ini kembali ke desa, mengubah kerinduan pada kampung halaman menjadi investasi nyata yang membangun.
KDKMP muncul sebagai respons terhadap masalah struktural di desa, di mana desa kerap kali "tertinggal dan miskin". Tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,47 persen dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 23,85 juta orang (BPS, 2025). Namun, tingkat kemiskinan di perdesaan sebesar 11,03 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 6,73 persen (BPS, 2025). Koperasi ini dirancang salah satunya untuk mengatasi kemiskinan melalui kegiatan ekonomi dan unit usaha terintegrasi, seperti gerai sembako, rumah produksi pertanian, hingga gudang penyimpanan (cold storage) dan logistik yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perantau dan Diaspora
Berdasarkan Long Form Sensus Penduduk (BPS, 2022) beberapa provinsi penyumbang perantau dan diaspora adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat dengan total lebih dari 22 juta orang. Umumnya motivasi utama para perantau untuk berkontribusi atau berinvestasi di desa sering kali melampaui keuntungan finansial semata; ia didorong oleh ikatan emosional, keinginan untuk memastikan keluarga yang ditinggalkan hidup lebih sejahtera, dan rasa bangga melihat desanya berkembang.
KDKMP dapat memanfaatkan modal ikatan emosional ini dengan menawarkan skema investasi yang transparan dan terukur dampaknya. Model pembiayaan yang ideal untuk kondisi ini adalah blended finance, yaitu kombinasi modal publik, modal swasta, dan dana sosial, yang terbukti mengurangi risiko dan meningkatkan akuntabilitas. Dengan skema ini, KDKMP dapat menarik para perantau sebagai "investor sosial" yang mencari imbal hasil bersamaan dengan dampak positif terhadap komunitas, sejalan dengan prinsip-prinsip dasar koperasi yang mengedepankan kesejahteraan kolektif.
Alternatif Pembiayaan
Meskipun jarak memisahkan, teknologi digital kini memungkinkan perantau berpartisipasi aktif dalam ekonomi desa. Salah satu instrumen modern yang sangat relevan adalah Securities Crowdfunding (SCF), sebuah mekanisme penawaran efek (saham, obligasi, atau sukuk) yang dilakukan secara terbuka melalui platform teknologi finansial. SCF muncul sebagai solusi pendanaan alternatif yang sangat cocok bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang kesulitan mengakses modal dari lembaga keuangan konvensional/Syariah atau pasar modal tradisional.
Melalui platform SCF yang diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) , KDKMP dapat menawarkan kepemilikan di unit usaha produktifnya. Skema ini memungkinkan seorang perantau, dimanapun ia berada - bisa di kota besar atau bahkan di luar negeri - untuk menjadi investor di unit usaha koperasi. Pendanaan ini sangat cocok untuk proyek-proyek spesifik, seperti pembangunan gudang pendingin atau pembukaan gerai sembako, apotek desa dan rumah produksi pertanian.
Model SCF sangat menguntungkan bagi perantau karena memberikan aksesibilitas dan keterbukaan; proses investasi menjadi mudah diakses, dan perantau dapat melihat secara transparan proyek bisnis yang ditawarkan. Selain itu, akuntabilitas terjamin karena platform SCF memastikan tata kelola dan laporan keuangan koperasi transparan, sebuah faktor krusial bagi investor yang berada jauh dan tidak bisa mengawasi secara langsung. Dengan skema ini, perantau tidak lagi menyalurkan uang melalui metode pribadi yang tidak terstruktur, tetapi menjadi bagian dari entitas bisnis yang legal dan profesional, memungkinkan mereka melihat langsung perkembangan usahanya. Dana yang dihimpun melalui SCF juga memiliki batas maksimal Rp10 miliar, menjadikannya opsi pendanaan berkelanjutan bagi proyek-proyek yang membutuhkan modal jangka menengah hingga panjang.
Untuk memfasilitasi peran perantau sebagai investor dan secara legal memisahkan peran mereka dari anggota lokal (produsen atau konsumen), KDKMP dapat mengadopsi model Koperasi Multi-Pihak (KMP). KMP adalah inovasi koperasi yang secara resmi diatur untuk melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan dalam satu wadah. Dalam model ini, perantau dapat dikelompokkan sebagai salah satu pihak anggota - misalnya sebagai investor atau mitra strategis - sementara warga desa yang mengelola bisnis menjadi kelompok produsen atau konsumen.
Struktur KMP memberikan landasan hukum yang kuat bagi perantau untuk berinvestasi. Mereka dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan strategis dan menerima Sisa Hasil Usaha (SHU) berdasarkan kontribusi modal dan peran mereka, tanpa harus terlibat dalam operasional harian koperasi. Ini adalah solusi elegan untuk mengatasi tantangan hukum dan manajemen yang sering muncul saat pihak non-anggota ingin berinvestasi dalam koperasi. Melalui KMP, KDKMP dapat memastikan bahwa modal dari luar desa tidak serta merta mendominasi atau "membajak" kedaulatan ekonomi warga, melainkan menjadi mitra dalam kerangka kerja yang adil dan partisipatif.
Peran Perantau
Peran perantau tidak berhenti pada pendanaan semata; mereka juga dapat menyumbangkan keahlian profesional dan jaringan bisnis yang mereka miliki. Inilah yang disebut transfer pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge), yang sangat dibutuhkan mengingat salah satu tantangan terbesar KDKMP adalah rendahnya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola di desa.
Perantau yang sukses di bidang digital, logistik, bisnis atau manajemen dapat menjadi mentor atau konsultan bagi unit-unit usaha KDMP. Dengan keahlian di bidang pemasaran digital atau ekspor, mereka dapat membantu koperasi memasarkan produk-produk desa ke pasar yang lebih luas. Koperasi dapat berkolaborasi dengan e-commerce untuk mendigitalisasi penjualan hasil panen atau kerajinan lokal ke kota besar, memutus rantai pasok yang panjang.
Pada akhirnya, keberhasilan mengintegrasikan perantau dan diaspora sebagai investor tidak hanya akan memperkuat modal KDKMP, tetapi juga akan menaikkan standar profesionalisme, tata kelola, dan daya saing koperasi di tingkat global. Ini adalah model yang melampaui sekadar investasi, melainkan sebuah gerakan kolektif untuk membangun masa depan desa yang lebih cerah dan berkelanjutan.