
Oleh: Rafika Rahmawati, M.Si., Ph.D (Cand)*)
Penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank milik negara atau Himbara sudah mulai dilakukan. Di antaranya mengalir senilai Rp10 triliun ke satu-satunya bank syariah penerima dana tersebut, yaitu Bank Syariah Indonesia (BSI). Lainnya disalurkan ke bank-bank umum konvensional Himbara, yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN.
Market share bank syariah nasional saat ini mencapai sekitar tujuh persen. Bahwa BSI menerima dana Rp10 triliun tersebut sudah merepresentasikan perbankan syariah secara nasional.
Dibandingkan dengan bank konvensional yang menerima dana jauh lebih besar, ini sangatlah wajar. Sebab, aset, pangsa pasar, dan kapasitas penyaluran kredit bank konvensional cenderung lebih dominan.
Ekonomi syariah yang mengedepankan pengembangan sektor riil sejalan dengan tujuan adanya penyaluran dana pemerintah oleh Menteri Keuangan. Dana Rp 200 triliun ini wajib disalurkan dalam bentuk kredit atau pembiayaan sektor riil, bukan untuk ditempatkan ke surat berharga atau instrumen moneter.
Beban bank penerima dana juga bisa dikatakan rendah. Bank mendapatkan "biaya murah" yaitu hanya sekitar beban bunga sebesar empat persen. Maka, kelima anggota Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) itu diharapkan lebih berani dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan ke masyarakat serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Fokus sektor riil halal
Bagi Bank Syariah Indonesia (BSI), sebagai bank yang menggunakan prinsip syariah, pembiayaan yang dilakukannya dari dana pemerintah itu mesti diarahkan secara eksklusif ke sektor riil halal, seperti UMKM halal, properti syariah, pertanian, energi halal, dan sektor konsumtif halal. Ini akan berpotensi menciptakan lapangan kerja, meningkatkan inklusi keuangan syariah, serta memperkuat branding ekonomi/keuangan syariah.
Dapat dikatakan, BSI lebih prospektif dalam menyalurkan pembiayaan dari dana pemerintah itu ke penguatan UMKM. Bandingkanlah halnya dengan bank konvensional yang tantangan utamanya antara lain ialah kemungkinan terjadinya over-lending ke sektor konsumtif serta penyaluran lebih menyasar ke korporasi yang sudah mapan.
Tentu ada tantangan-tantangan yang akan dihadapi BSI. Misalnya, kecepatan dalam menyalurkan Rp10 triliun tersebut ke sektor riil.
Keadaan bank syariah berbeda dengan bank konvensional, yang melaluinya penyaluran dana akan relatif lebih cepat lantaran sistem bunga kredit yang sudah mapan. Karena itu, dengan proses akad syariah yang lebih panjang, BSI diharapkan melakukan efisiensi agar penyerapan dana lebih cepat dan optimal.

Suntikan dana Rp10 triliun dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI kepada BSI tidak sekadar tambahan likuiditas, melainkan juga sebuah momentum penting bagi penguatan keuangan syariah di Tanah Air. Dengan kewajiban penyaluran ke sektor riil, kebijakan ini sejalan dengan prinsip dasar perbankan syariah yang mengedepankan pembiayaan produktif serta menjauhi praktik-praktik spekulatif.
Fokus pada pengembangan UMKM halal menjadikan langkah ini strategis. Sebab, hal itu tidak hanya mendorong pertumbuhan usaha kecil-menengah yang menjadi tulang punggung perekonomian, tetapi juga memperkokoh ekosistem ekonomi halal nasional.
Jika dikelola secara optimal, dana ini dapat menjadi katalis kebangkitan sektor riil berbasis syariah, memperluas inklusi keuangan Islam, serta mempertegas peran bank syariah sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
*) Rafika Rahmawati, M.Si., Ph.D (Cand) adalah dosen Perbankan Syariah pada Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi, yang akan segera menjadi Universitas Muhammadiyah Indonesia. Saat ini, ia merupakan kandidat doktor Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta.