
Oleh : Heru Susetyo; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Direktur Eksekutif Misi Indonesia untuk Perdamaian Dunia (MINDA)
No one plays the victim better than the one who actually caused the damage
No one cries louder than the one who threw the first punch (anonym)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah bukan cerita baru bahwa Zionis Israel amat hobi bermain peran. Berperan seolah-olah sebagai korban. Dalam sejarah formal penjajahan-nya di Palestina sejak Mei 1948 peran sebagai korban ini kerap dimainkan. Sampai hari ini. Sedangkan keberadaan bangsa Palestina sebagai korban yang berhak untuk merdeka di tanahnya sendiri kerap ditolak Israel. Sedihnya praktek hukum internasional kerap mengafirmasi ketidakadilan ini. Sebercanda itu hukum internasional.
Sampai hari ini Israel, melalui PM nya Benjamin Netanyahu masih menolak eksistensi negara Palestina. Netanyahu menyampaikan pernyataan tersebut saat berkunjung ke permukiman Maale Adumim di Tepi Barat (West Bank). Ia secara resmi menandatangani proposal yang akan membangun ribuan rumah baru sebagai bagian dari rencana kontroversial untuk memperluas pemukiman Tepi Barat. "Kami akan memenuhi janji kami bahwa tidak akan ada negara Palestina, tempat ini milik kami," kata Netanyahu. "Kami akan melindungi warisan kami, tanah kami, dan keamanan kami," lanjutnya lagi (dw.com, 11/09/ 2025).
Narasi Playing Victim
Dalam penjajahan Israel terhadap Palestina, narasi "playing victim" (bermain peran sebagai korban) sering digunakan sebagai strategi politik dan diplomasi oleh Israel. Strategi ini menampilkan Israel sebagai pihak yang selalu menjadi korban ancaman dan serangan, yang kemudian digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan militer maupun kebijakan agresifnya. Ironisnya, narasi ini muncul di tengah kritik internasional yang menilai Israel juga sebagai pelaku pelanggaran berat atas hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional, terutama terkait pendudukan wilayah Palestina dan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang merugikan warga sipil Palestina.
Narasi korban yang dikonstruksi Israel berfungsi sebagai alat narasi perang yang penting dalam menggaet dukungan dan simpati global. Setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, klaim korban Israel berhasil membangkitkan empati dunia, terutama dari negara-negara Barat. Pemimpin negara seperti Presiden AS secara jelas menyatakan dukungan terhadap Israel dengan mengutuk serangan sebagai tindakan kejahatan yang murni, memperkuat citra Israel sebagai pihak yang harus dibela dan dilindungi.
Dalam medan pertempuran narasi, Israel menampilkan dirinya sebagai korban yang sah dan harus melakukan tindakan pembelaan diri (self-defense), yang menyediakan justifikasi moral atas operasi militernya, meskipun menimbulkan korban sipil di Gaza. Narasi ini mendukung pemeliharaan dukungan politik dan bantuan militer dari sekutu utamanya.
Namun, dinamika opini publik ini tidak statis. Konflik di kawasan padat penduduk seperti Gaza yang menyebabkan peningkatan korban sipil Palestina perlahan menggeser persepsi global. Setiap kematian sipil memberikan narasi keunggulan kepada pihak Palestina untuk menampilkan Israel sebagai agresor yang melakukan kejahatan perang. Narasi ini diperkuat oleh media sosial dan jurnalisme alternatif yang menyebarkan dokumentasi penderitaan warga Palestina, sehingga perlahan mengikis efektivitas narasi korban Israel.
Sementara narasi Israel masih kuat di kalangan pemerintah negara-negara kaya dan berpengaruh, opini publik dunia cenderung semakin kritis dan berempati kepada warga Palestina yang menderita. Narasi Palestina mendapatkan ruang yang lebih besar di kancah opini internasional, terutama di kalangan masyarakat sipil global dan aktivis HAM.
Kegagalan propaganda Israel ini terkait dengan sensor media ketat, pembungkaman terhadap jurnalis di Gaza, bahkan hingga pembunuhan terhadap jurnalis Aljazeera, serta manipulasi informasi yang kini semakin mudah diungkap oleh media sosial dan platform alternatif. Pergeseran opini ini menimbulkan risiko bagi posisi diplomatik Israel jika konflik meluas, karena kehilangan dukungan moral dapat berdampak pada legitimasi internasional dan dukungan politik.
Menyalahgunakan Antisemitism dan Holocaust
Penggunaan narasi korban oleh Israel bukan hanya untuk memperoleh simpati dunia, tetapi juga untuk membungkam kritik dan mengatur persepsi global. Oleh sebab itu, Israel kerap menuduh pihak-pihak yang mengkritik atau mengecamnya sebagai "melakukan antisemitisme" sambil "memainkan kartu korban" mereka sendiri. Strategi ini cukup efektif dalam mempolarisasi wacana dan menghambat upaya penegakan hukum internasional.
Klaim korban yang digunakan oleh Israel dalam diplomasi internasional berakar kuat dari pengalaman traumatis historis bangsa Yahudi, terutama pembantaian massal atau genosida oleh NAZI di era Hitler yang lazim disebut sebagai Holocaust (Shoah) selama Perang Dunia II (1939 – 1945). Identitas nasional Israel banyak dibangun dengan mengacu pada penderitaan kolektif ini, yang menjadikan narasi korban Holocaust sebagai landasan moral, politik, dan diplomatik yang sangat kuat. Dalam wacana internasional, narasi ini menempatkan Israel sebagai pewaris legitimasi untuk mempertahankan eksistensi dan keamanan negara, sekaligus sebagai korban yang harus dilindungi dari ancaman kekerasan dan permusuhan.
Sejak berdirinya negara Israel secara sepihak pada Mei 1948 dan sepanjang konflik-konflik yang berlangsung, klaim korban ini menjadi alat diplomasi utama dalam menghadapi kritik dan tekanan internasional. Israel sering menggunakan narasi bahwa mereka hidup dalam lingkungan yang bermusuhan dan selalu menghadapi ancaman eksistensial dari negara atau kelompok tetangga, misalnya dari Palestina dan negara-negara Arab. Narasi ini tidak hanya muncul secara verbal dalam forum diplomatik, tetapi juga dikomunikasikan secara intensif melalui media massa dan lobi internasional untuk memperoleh dukungan politik dan militer.
Namun, klaim korban Israel bukan tanpa kontroversi. Strategi "playing victim" ini terkadang dipakai untuk membenarkan kebijakan agresif dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina. Narasi ini telah menjadi cara untuk membungkam kritik dan menolak tanggung jawab atas pelanggaran internasional yang dituduhkan kepada Israel.
Sejatinya, klaim korban Israel mengalami evolusi dinamis, dari fokus pada penderitaan Holocaust menjadi sebuah narasi yang juga menekankan ancaman konstan dan keharusan mempertahankan diri. Narasi ini kemudian dikonstruksi sebagai bagian dari legitimasi politik yang sulit dipatahkan dalam arena internasional, berkat simpati luas yang dimiliki Israel pasca-Holocaust dan dukungan politik negara-negara Barat, khususnya sekutu terbaiknya: Amerika Serikat.
Dari Korban Genosida jadi Pelaku Genosida
Dalam beberapa dekade terakhir, terutama dengan meningkatnya eksposur terhadap penderitaan rakyat Palestina, narasi klaim korban Israel menghadapi tantangan. Kritik menyatakan bahwa narasi tersebut mengabaikan dan meniadakan penderitaan serta hak-hak dasar warga Palestina, yang juga mengalami penindasan dan kekerasan sistematis. Apalagi sejak Oktober 2023, Dimana serangan Israel terhadap Gaza yang menewaskan ribuan jiwa tak dapat disebut sekadar upaya ‘bela diri’ terhadap serangan HAMAS pada 7 Oktober 2023, namun juga adalah bukti suatu kejahatan genosida dan kejahatan kepada kemanusiaan yang nyata.
Klaim korban Israel dan posisi dominannya dalam wacana politik internasional memperlihatkan ketidakseimbangan dan bias dalam penegakan hukum dan keadilan internasional. Padahal Israel telah bergeser dari korban genosida (tepatnya bangsa Yahudi di Eropa) menjadi pelaku genosida. Dulu bangsa Yahudi di Eropa adalah korban holocaust, maka Israel bersemangat meratifikasi Konvensi Genosida tahun 1950, dua tahun saja sejak konvensi tersebut dilahirkan pada tahun 1948. Namun pada awal tahun 2024 Israel justru digugat oleh Afrika Selatan di Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) atas dasar melakukan genosida. Dengan dasar hukum Konvensi Genosida yang diratifikasinya 74 tahun sebelumnya. Senjata makan tuan, Bro!
Bercandanya Hukum Internasional
Secara historis, klaim korban Israel dalam diplomasi bukan hanya soal mengadvokasi keamanan nasional, tetapi juga berfungsi sebagai alat geopolitik dan simbol moral yang kompleks dan kontroversial. Narasi ini menjadi pilar penting dalam legitimasinya di panggung dunia, sekaligus cermin dari realitas politik di mana hukum internasional dan diplomasi sering dipengaruhi oleh kekuatan dan kepentingan geopolitik.
Fenomena ini juga menunjukkan betapa lemahnya sistem hukum internasional dalam mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh negara kuat dengan dukungan geopolitik global. Israel, misalnya, bukan negara pihak (state party) dalam Statuta Roma (Rome Statute) yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada tahun 1998, sehingga sulit bagi pengadilan internasional untuk mengadili pelanggaran yang dituduhkan kepadanya tanpa dukungan Dewan Keamanan PBB, yang sering kali diblokir oleh sekutu kuat Israel seperti Amerika Serikat yang memiliki Hak Veto
Ketidak-ikutsertaan Israel dalam mekanisme hukum internasional serta politik perlindungan oleh Amerika Serikat telah menciptakan sebuah siklus impunitas. Hal ini membuat hukum internasional menjadi kurang efektif dalam menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan perang dan pelanggaran HAM yang terjadi. Kasus kejahatan seperti penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia dan serangan terhadap kawasan sipil yang dilaporkan oleh berbagai organisasi HAM tidak mendapat penanganan hukum yang memadai.
Inilah sisi bercandanya hukum internasional dalam konteks penjajahan Israel di Palestina. Hukum internasional masih sangat rentan terhadap pengaruh politik dan kepentingan negara adikuasa, sehingga sulit ditegakkan secara objektif dan adil. Akibatnya, rakyat Palestina seringkali menjadi pihak yang paling dirugikan, sementara ketegangan dan kekerasan terus berlangsung tanpa solusi yang menegakkan keadilan.
Fakta aneh yang lain dari (praktek) hukum internasional adalah perihal keanggotaan di PBB. Israel, negara yang berdiri secara illegal, langsung diakui sebagai anggota PBB sejak 11 Mei 1949. Alias, kurang satu tahun saja sejak ia berdiri pada 14 Mei 1948. Sementara itu, eksistensi negara Palestina sebagai negara yang Merdeka dan berdaulat dan menjadi anggota PBB terus ditolak. Sampai kini. Utamanya oleh Israel dan pelindungnya, Amerika Serikat. Sejak tahun 1970 sampai 2024 tak kurang 49 kali Amerika Serikat menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi PBB yang merugikan Israel (middleeasteye.net, 20/11/2024).
Dan hal itu terus terjadi sampai saat ini. Pada voting Majelis Umum PBB hari Jumat 12 September 2025 untuk pengesahan Deklarasi New York Juli 2025 yang digagas Perancis dan Saudi Arabia, dari seluruh 193 negara anggota PBB, 142 negara memberikan suara mendukung resolusi. Sementara itu, seperti biasa Israel dan Amerika Serikat menolaknya, bersama sembilan negara lainnya – Argentina, Hongaria, Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, Paraguay dan Tonga. Sementara 12 negara lain-nya abstain (news.un.org, 12/09/2025). Penolakan Amerika Serikat ini hal yang serius, karena ia mempunyai Hak Veto atas resolusi-resolusi PBB. Seperti yang sudah digunakan-nya bertahun-tahun lamanya. Untuk melindungi kepentingan Israel.
Dan inilah salah satu sumber masalahnya. Palestina terjepit di antara negara yang hobi playing victim dan negara yang konsisten melindungi sang pemain playing victim tersebut, sementara sang wasit, yaitu PBB, kehilangan gigi karena kemampuan menggigit-nya sudah kadung dipreteli oleh pelemahan struktur PBB dan hukum internasional, bahkan sejak awal berdirinya di tahun 1945.