Oleh: Achmad TS; Koordinator ECO-FITRAH, keluarga FKPPI dan ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ungkapan “We Are What We Eat” sering kita dengar dalam dunia kesehatan modern. Ia menegaskan bahwa apa yang kita makan membentuk tubuh, pikiran, bahkan kepribadian kita. Pola makan yang buruk akan menghasilkan tubuh yang sakit dan pikiran yang lemah, sementara makanan sehat melahirkan daya tahan, kecerdasan, dan energi positif.
Ungkapan ini punya jejak sejarah panjang, muncul dari beberapa tokoh dalam periode berbeda. Anthelme Brillat-Savarin (1755–1826), seorang penulis kuliner asal Prancis,dalam bukunya Physiologie du Goût (1826) ia menulis: “Dis-moi ce que tu manges, je te dirai ce que tu es” (“Katakan padaku apa yang kau makan, akan kukatakan siapa dirimu”). Ini dianggap versi awal ungkapan tersebut.
Berikutnya Ludwig Feuerbach (1804–1872), filsuf Jerman.Dalam esainya tahun 1863, ia menulis:“Der Mensch ist, was er ißt” (“Manusia adalah apa yang ia makan”). Ia menekankan hubungan materialisme: tubuh dan jiwa ditentukan oleh makanan.
Pada era modern, ungkapan ini dipopulerkan kembali dalam wacana nutrisi, gaya hidup sehat, dan gerakan back to nature. Dalam konteks Islam, sebetulnya selaras dengan perintah Alquran untuk makan yang halal dan thayyib (QS Al-Baqarah:168).
Makna Filosofis dan Praktis
Makna fisik,nutrisi menentukan kesehatan tubuh. Kekurangan zat gizi, berarti berpeluang penyakit; pola makan baik menghasilkan vitalitas. Makna psikologis, pola makan juga mempengaruhi mood, konsentrasi, dan stabilitas emosi.
Makna spiritual adalah makanan halal-thayyib menumbuhkan keberkahan; makanan haram/berlebihan bisa mengeraskan hati. Alquran 14 abad lalu sudah lebih dulu memberi peringatan mendasar: “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.”(QS 'Abasa: 24)
Ayat ini bukan sekadar ajakan untuk memperhatikan menu sehari-hari, melainkan perintah reflektif agar kita merenungi asal, proses, kualitas, hingga dampak dari makanan yang masuk ke tubuh. Dengan kata lain, konsep halalan thayyiban (halal dan baik) dalam Islam sesungguhnya adalah "puncak" dari prinsip We Are What We Eat.
Landasan Qurani: Halal, Thayyib, dan Amanah Pangan
Islam menekankan dua dimensi makanan: halal (sah secara hukum syariat, tidak haram, tidak najis, tidak hasil kezaliman) dan thayyib (baik secara gizi, higienis, bermanfaat, dan tidak merusak tubuh maupun alam).
Kedua konsep ini saling melengkapi: makanan bisa halal tetapi tidak thayyib (misalnya gorengan berulang kali dipakai minyak jelantah). Bisa juga thayyib tetapi tidak halal (misalnya anggur merah yang sehat, tapi difermentasi menjadi minuman keras).
Dengan kata lain, QS ‘Abasa:24 adalah panggilan Qur’ani untuk: Pertama,memperhatikan sumber pangan -- dari mana asalnya? Apakah halal,ramah lingkungan? Kedua,memperhatikan prosesnya--apakah bersih, tidak dicampur zat berbahaya, tidak dieksploitasi dengan cara zalim? Ketiga,memperhatikan manfaatnya --apakah memberi gizi yang cukup, memperkuat tubuh, atau justru melemahkan iman, akal, dan generasi?
Ayat ini meneguhkan bahwa masalah pangan bukan sekadar urusan pribadi, tetapi amanah sosial dan peradaban.
Jika dulu orang hanya memikirkan soal cukup makan, kini tantangan pangan jauh lebih kompleks. Ada beberapa masalah nyata: Pertama,Krisis Pangan Global. Konflik geopolitik, dan ketergantungan pada impor membuat kedaulatan pangan banyak negara terguncang. Indonesia, misalnya, masih tergantung pada impor gandum dan kedelai, padahal tanahnya subur untuk pangan lokal.
Kedua,Fenomena Ultra-Processed Food Makanan instan dan ultra-proses semakin mendominasi. Praktis memang, tapi penuh zat aditif, rendah gizi, dan berpotensi menimbulkan obesitas, diabetes, hingga kanker.
Ketiga,Disinformasi Pangan. Konsumen dibombardir iklan dan buzzer yang mempromosikan produk “sehat” padahal manipulatif. Susu kental manis misalnya, lama dipromosikan seolah “bergizi”, padahal kandungan gulanya sangat tinggi.
Keempat, Stunting dan Gizi Buruk. Ada hal yang ironis, di negeri agraris, angka stunting masih tinggi. Artinya, ada ketidakseimbangan antara ketersediaan pangan, distribusi, edukasi gizi, dan daya beli masyarakat.
Semua ini membuktikan bahwa perintah “fal yanzhuril insaan ilaa tho‘aamihi” bukan hanya relevan, tapi urgen untuk dijadikan pedoman kebijakan publik.
Dimensi Fitrah: Makanan, Pikiran, dan Peradaban
Makanan tidak hanya membentuk tubuh, tetapi juga akhlak dan cara berpikir. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa hati manusia bisa bersih atau kotor tergantung dari apa yang ia konsumsi.
Di sini, kita bisa memperluas makna We Are What We Eat menjadi:
We Are What We Think :Pikiran membentuk persepsi dan arah hidup.
We Are What We Do: Tindakan membentuk kebiasaan dan karakter.
We Are What We Speak: Ucapan membentuk reputasi dan pengaruh sosial.
We Are What We Support: Dukungan kita membentuk sistem sosial-politik.
Dengan kata lain, "makanan adalah pintu pertama", tetapi keberlanjutan hidup ditentukan oleh kesatuan makan-pikir-bicara-tindakan. Inilah fitrah manusia sebagai khalifah di bumi:menjaga amanah jasmani, rohani, dan sosial.
Agar jargon We Are What We Eat tidak berhenti pada teori, ada langkah konkret yang bisa dilakukan: Pada level Individu, periksa halal dan thayyib: biasakan membaca label, mencari tahu asal-usul makanan. Utamakan pangan lokal segar: sayur, buah,ikan, daging,telur,beras,dst; ketimbang junk food. Moderasi konsumsi: ingat pesan Alquran , “makan dan minumlah, jangan berlebihan" (QS Al-A’raf:31). Pada level komunitas,gerakan pangan lokal dan organik: koperasi tani, pasar sehat, urban farming.
Literasi gizi berbasis Alquran dan sains di majelis taklim, sekolah, komunitas --perlu aktif memberi edukasi. Gerakan antihoaks pangan: membongkar iklan atau klaim menyesatkan.
Terakhir pada level negara,kedaulatan pangan: meminimalkan ketergantungan impor berlebihan. Kebijakan FSN (FOOD SECURITY AND NUTRITION) merancang ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pangan untuk semua lapisan.
Berikutnya,regulasi iklan pangan: jangan biarkan industri mengendalikan narasi publik. Dan selanjutnya,investasi riset pangan halal-thayyib: mendorong inovasi produk lokal yang sehat, halal, dan berdaya saing global.
We Are What We Eat bukan sekadar kalimat motivasi, tapi amanah Qurani. QS ‘Abasa: 24 menegaskan bahwa manusia wajib memperhatikan makanannya: apakah halal, thayyib, menyehatkan, dan tidak merusak lingkungan.
Dalam konteks global yang penuh disinformasi, krisis pangan, dan gaya hidup serba instan, kembali kepada prinsip halal-thayyib adalah solusi fitrah. Ia tidak hanya menyehatkan tubuh, tapi juga menyehatkan pikiran, menjaga akhlak, dan memperkuat ketahanan bangsa.
Jika kita serius mengamalkan pesan Alquran ini, maka kita tidak hanya sekadar menjadi what we eat, tetapi juga menjadi manusia yang utuh: sehat jasmani rohani,jernih akal, bersih hati, dan kokoh peradaban.
Makan bukan sekadar kenyang. Ia adalah amanah: halal untuk iman, thayyib untuk kesehatan, dan adil untuk peradaban.
QS ‘Abasa: 24 mengingatkan: perhatikan makananmu. Karena dari situlah lahir sehat atau sakitnya tubuh, jernih atau keruhnya akal.
Pangan halal-thayyib adalah benteng bangsa. Krisis pangan bukan hanya soal perut, tapi soal martabat dan kedaulatan. “We are what we eat-- dan kita akan binasa jika makan hoaks, junk food, dan ketergantungan impor.
Menjaga makanan berarti menjaga fitrah, menjaga iman, dan menjaga masa depan. Negeri kita,dengan anugerah tanah air yang subur, punya potensi produk pangan yang halal dan thoyyib.Dan itu pasti berkah untuk penduduk negerinya berikut warga dunia.
Insyaa Allah kita mampu!