
Oleh : Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revitalisasi sekolah sering dipandang semata sebagai pekerjaan teknis seperti mengganti atap, memperbaiki lantai, menambah toilet, atau memasang laboratorium komputer. Padahal, bila dilihat dari lensa ekonomi pembangunan, revitalisasi adalah investasi dengan efek berlapis baik yang sifatnya langsung, tidak langsung, dan terakumulasi dalam jangka panjang.
Investasi itu bekerja seperti batu kecil yang dilempar ke kolam: riakannya menyentuh banyak sisi, mulai dari pekerja bangunan yang menerima upah, toko material yang kebanjiran pesanan, sampai anak-anak yang lebih betah belajar dan nantinya menyumbang produktivitas daerah.
Data resmi menunjukkan tantangan yang besar. Statistik Pendidikan 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan kondisi fasilitas, ketersediaan ruang kelas, dan sumber daya guru yang masih perlu banyak perbaikan di berbagai provinsi. Kondisi fisik sekolah yang rapuh dan ketidakmerataan sarana-prasarana bukan hanya soal kenyamanan pendidikan; ia berimplikasi langsung pada akses, kualitas pembelajaran, dan peluang ekonomi daerah ke depan.
Menurut data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), terdapat 1,18 juta ruang kelas sekolah dasar (SD) di Indonesia untuk tahun ajaran 2024/2025. Mirisnya, sebanyak 60,3 persen ruang kelas tersebut dalam kondisi rusak, dengan rincian 27,22 persen rusak ringan, 22,27 persen rusak sedang, dan 10,81 persen rusak berat. Ruang kelas SD yang berada dalam keadaan baik hanya 39,7 persen.
Angka ini memperlihatkan urgensi program revitalisasi skala besar agar lingkungan belajar memenuhi standar aman dan layak. Kondisi infrastruktur seperti ini menciptakan beban ekonomi tersendiri: produksi pembelajaran menurun, anak lebih mudah putus sekolah, dan kesempatan daerah untuk memanfaatkan bonus demografi melemah.
Program revitalisasi sekolah lahir untuk menjawab persoalan ini. Tahun 2025 ini jumlah sasaran revitalisasi ialah sebanyak 10.440 satuan Pendidikan. Adapun sumber dana yang dialokasikan ialah sebesar Rp 17,1 triliun, dimana sumber dana ini sebelumnya dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan kini beralih ke Kemendikdasmen.
Program ini dicanangkan sebagai prioritas nasional dengan anggaran triliunan rupiah. Presiden bahkan menjadikannya salah satu “quick win” untuk menunjukkan komitmen nyata dalam memperbaiki layanan dasar pendidikan.
Saat proyek revitalisasi berjalan, efek ekonomi yang paling segera tampak adalah penyerapan tenaga kerja lokal. Tukang, mandor, pengemudi, penjual bahan bangunan, hingga warung makan di sekitar lokasi proyek merasakan putaran uang yang sebelumnya tidak ada. Uang proyek yang dialokasikan ke pembangunan sarana pendidikan cenderung “menetes” ke berbagai pelaku ekonomi lokal dan dapat menciptakan tambahan permintaan sementara namun nyata bagi perekonomian desa atau kecamatan.
Analisis dari studi infrastruktur menunjukkan bahwa investasi pembangunan, termasuk sekolah aka memiliki efek pengganda yang signifikan terhadap pendapatan dan lapangan kerja, karena menstimulasi permintaan input lokal dan jasa pendukung. Efek ini lebih kuat lagi di wilayah dengan ekonomi lokal yang relatif kecil, di mana satu proyek besar bisa menaikkan aktivitas ekonomi mikro secara nyata. Selain itu, alokasi sumber daya yang tepat pada infrastruktur pendidikan memberi dampak ganda: pada sarana fisik dan hasil pembelajaran yang lebih tinggi. Kondisi ini yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas jangka panjang.
Contoh sederhana di level rumah tangga: seorang pekerja bangunan dari desa A menerima upah harian selama 3 bulan proyek revitalisasi. Uang itu dipakai untuk membeli bahan pokok di pasar desa, anaknya berobat di puskesmas setempat, dan sisanya disimpan di koperasi. Dalam hitungan makro mikro ini, satu rupiah yang masuk ke desa dapat berputar beberapa kali sebelum “keluar” dari ekonomi lokal. Contoh inilah esensi efek pengganda jangka pendek.
Revitalisasi yang baik bukan sekadar mengganti fisik, melainkan harus mampu pula mengubah pengalaman belajar. Ruang kelas yang layak membuat anak betah, guru lebih termotivasi, dan orangtua merasa investasi pendidikan anak mereka dihargai. Data jumlah siswa putus sekolah menurut jenjang menunjukkan bahwa meski angka putus sekolah nasional relatif kecil secara persentase, terdapat variasi antarwilayah yang signifikan, dimana daerah-daerah tertinggal mencatat angka putus sekolah yang lebih tinggi. Dengan fasilitas yang lebih baik, kendala non-finansial seperti rasa malu akibat bangunan buruk atau jarak yang semakin terasa berat dapat dikurangi, sehingga insentif untuk melanjutkan sekolah meningkat.
Dampak ini bersifat kumulatif: ketika lebih banyak anak menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, kualitas tenaga kerja daerah meningkat. Dalam jangka menengah, peningkatan keterampilan dasar (literasi, numerasi, literasi digital) mendorong produktivitas sektor-sektor lokal seperti pertanian yang lebih modern, usaha mikro yang mampu mencatat dan mengelola keuangan, serta pelayanan publik yang lebih efisien.
Di banyak desa, aula sekolah menjadi ruang serba guna seperti rapat warga, posyandu, pelatihan keterampilan, hingga lokasi evakuasi saat bencana. Revitalisasi sekolah yang berorientasi masyarakat memperkuat fungsi itu yaitu memperbesar kapasitas komunitas untuk bekerja sama, bertukar informasi, dan membangun jejaring ekonomi lokal.
Sosiologi pembangunan menekankan pentingnya modal sosial untuk menciptakan lingkungan usaha yang sehat yaitu tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi memudahkan transaksi, gotong royong, dan investasi bersama. Sekolah yang layak membantu memperkuat modal sosial ini, dimana efeknya tak kasat mata tetapi sangat nyata bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi daerah.
Revitalisasi modern yang dirancang dengan baik akan memperhatikan aspek sanitas, akses air bersih, fasilitas ramah anak perempuan, dan akses untuk penyandang disabilitas. Ini bukan sekadar keindahan fisik, melainkan perbaikan sanitasi mengurangi penyakit infeksi saluran pernapasan dan diare. Dua faktor tersebutyang seringkali mengganggu kehadiran murid di sekolah. Murid yang sehat lebih sering hadir dan lebih siap belajar, yang berujung pada hasil pembelajaran lebih baik.
Selain itu, bila revitalisasi digabungkan dengan digitalisasi, misalkan melalui penyediaan listrik stabil, jaringan internet, dan perangkat pembelajaran, maka daerah terpencil dapat mengejar ketertinggalan literasi digital.
Dampak ekonomi jangka menengah juga akan tercipta seperti tenaga kerja lokal menjadi lebih tersambung dengan pasar digital, sehingga mereka mampu menjual produk UMKM secara online, memperoleh akses pelatihan jarak jauh, dan memanfaatkan informasi harga pasar yang lebih baik. Dukungan sektor energi (misalnya perusahaan listrik setempat melakukan program dukungan untuk sekolah) seringkali mempercepat adopsi teknologi di tingkat daerah.
Program revitalisasi tidak otomatis menghasilkan efek maksimal. Ada sejumlah kendala nyata. Pertama, anggaran yang terbatas dan prioritas yang bersaing. Pemerintah seringkali harus memilih antara memperbaiki infrastruktur jalan, layanan kesehatan, atau pendidikan. Tanpa perencanaan terpadu, revitalisasi yang kecil bisa tersebar dan kurang berdampak.
Kedua, kualitas implementasi dan risiko korupsi. Pembangunan yang asal-asalan atau pembengkakan biaya mengurangi nilai manfaat program. Transparansi dan sistem pengawasan diperlukan agar dana benar-benar sampai ke tujuan.
Ketiga, kesenjangan kapasitas guru dan kurikulum. Memperbaiki bangunan tanpa meningkatkan kompetensi guru berarti potensi pembelajaran masih terhambat. Program revitalisasi idealnya menjadi paket yang mencakup pelatihan guru.
Keempat, keterbatasan akses pasar. Peningkatan keterampilan harus diiringi peluang ekonomi lokal. Karena tanpa pasar atau jaringan, lulusan terdidik bisa terpaksa merantau. Menghadapi tantangan ini memerlukan kebijakan terpadu mulai dari alokasi anggaran yang efisien, pelibatan aktor lokal, peningkatan kapasitas guru, hingga sinergi program pusat-daerah.
Jika program revitalisasi sekolah dicanangkan massal dan konsisten selama dekade berikutnya, efeknya akan terus terkumpul. Lulusan yang lebih terampil, lebih sehat, dan lebih melek teknologi cenderung menjadi pelaku ekonomi yang inovatif seperti membuka usaha kecil, menerima pekerjaan produktif, dan meningkatkan produktivitas sektor utama daerah (pertanian, perikanan, pariwisata). Secara makro, peningkatan kualitas manusia ini meningkatkan basis pajak daerah, menurunkan beban sosial, dan menarik investor yang mencari daerah dengan tenaga kerja lebih kompeten.
Paradigma “revitalisasi sama dengan pembangunan ekonomi” bukan sekadar retorika. Program ini perlu diperlakukan sebagai bagian dari strategi komprehensif pembangunan daerah yaitu infrastruktur fisik yang mendukung pembelajaran, peningkatan kualitas pendidik, akses teknologi, dan integrasi dengan ekonomi lokal.
Mengganti genteng yang bocor atau menambah toilet sekolah mungkin tampak kecil di daftar prioritas pembiayaan publik yang panjang. Namun yang kecil itu membuka pintu, yaitu pintu bagi murid untuk hadir lebih sering, bagi guru untuk mengajar dengan lebih baik, dan bagi masyarakat untuk merasakan efek ekonomi yang nyata.
Revitalisasi sekolah, bila dilaksanakan secara tepat dan terintegrasi, bukan sekadar proyek fisik. Ia adalah tindakan ekonomi strategis yang menggandakan manfaat bagi daerah seperti menciptakan pekerjaan, memperkuat pasar lokal, meningkatkan kualitas SDM, dan merajut kembali modal sosial.
Kita dapat membayangkan masa depan di mana desa-desa yang hari ini memiliki sekolah reyot berubah menjadi pusat-pusat pembelajaran dan usaha, di mana alumni membuka usaha lokal, mempekerjakan tetangga, dan akhirnya mengembalikan nilai ekonomi ke komunitas mereka. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan niat politik, perencanaan yang matang, transparansi, dan kemitraan lintas sektor. Tapi satu hal pasti bahwa setiap genteng yang diganti adalah investasi kecil yang berpotensi menggandakan harapan sebuah komunitas.