
Oleh : Idy Muzayyad, Waketum Forum Jurnalis Wakaf Zakat Indonesia (Forjukafi) dan Ketua DPS LAZ Investa Amanah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Setiap tahun, potensi zakat di Indonesia mencapai sekitar Rp327 triliun (Baznas, 2023). Namun, yang benar-benar terkumpul baru sekitar Rp33 triliun kurang dari 11 persen dari total keseluruhan potensi yang ada.
Angka ini menunjukkan jurang besar antara potensi dan realisasi. Salah satu penyebabnya adalah belum optimalnya pemanfaatan ruang digital, sebagai media tak tak terelakkan dalam kehidupan manusia modern di era yang juga menyajikan beragam fasilitas kemudahan. Banyak hal bisa dilakukan hanya melalui telepon genggam. Dunia bergerak cepat. Urusan perzakatan, mesti menyentuh lini ini.
Kita apresiasi kinerja Baznas dan sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) yang telah melakukan lompatan signifikan dan transformasi digital perzakatan, termasuk layanan pembayaran yang sudah tersedia secara online.
Namun, penting diakui digitalisasi zakat bukan sekadar memindahkan kotak amal ke layar smartphone. Ini adalah transformasi menyeluruh, mulai dari penghimpunan, pengelolaan, hingga pelaporan.
Melalui integrasi dengan QRIS, e-wallet, mobile banking, e-commerce, bahkan aplikasi zakat khusus, pembayaran bisa dilakukan dalam hitungan detik. Tak perlu bawa uang tunai. Lebih jauh, sistem ini memungkinkan pencatatan otomatis setiap transaksi, sehingga dana yang masuk bisa langsung tercatat dan siap disalurkan.
Di sisi distribusi, teknologi membuka peluang akurasi yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan big data dan AI, lembaga zakat bisa membuat poverty mapping untuk mengetahui wilayah dan kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
Fitur geotagging memudahkan verifikasi penerima zakat (mustahik) secara langsung di lapangan, menghindari duplikasi bantuan, dan memastikan zakat benar-benar tepat sasaran sesuai delapan asnaf yang diatur dalam QS At-Taubah ayat 60. Bahkan, laporan distribusi bisa dipublikasikan secara real-time agar muzaki dapat memantau langsung dampak zakat mereka.
Generasi muda yang melek digital adalah kunci percepatan ini. Survei APJII (2024) menunjukkan bahwa 79,5 persen penduduk Indonesia adalah pengguna internet aktif, mayoritas dari kalangan milenial dan Gen Z.
Mereka terbiasa dengan sistem cashless dan lebih percaya pada platform yang transparan. Digitalisasi zakat menjawab kebutuhan ini, mempermudah sekaligus memperluas partisipasi. Dalam perspektif Islam, ini sejalan dengan prinsip taysīr, memudahkan umat untuk berbuat kebaikan.
