REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tulus Musthofa, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Wakil Ketua Dewan Syuro PP Ikadi
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sekadar slogan. Ia merupakan ruh yang menjiwai seluruh sila lainnya. Artinya, agama menempati kedudukan sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka ini, ulama—sebagai otoritas moral dan sumber otentik dalam memahami agama—memiliki peran fundamental, bukan sekadar di wilayah ritual, tetapi juga dalam arah peradaban bangsa.
Sayangnya, dalam praktik kehidupan kebangsaan, ulama sering hanya ditempatkan secara dekoratif: hadir di acara seremonial, tampil sebagai simbol penghias, atau dijadikan pajangan untuk memberi legitimasi moral. Dalam situasi lain, ulama dipanggil bak pemadam kebakaran: hadir secara reaktif ketika bangsa dilanda krisis, konflik sosial, atau kegaduhan politik. Peran semacam ini jelas bersifat temporer dan tidak menyentuh akar persoalan bangsa.
Peran ideal ulama seharusnya ikut merancang konstruksi kebangsaan, merumuskan jalan pelaksanaan, serta mengevaluasi arah perjalanan bangsa sebagaimana yang dilakukan ulama dalam setiap momentum perjalanan bangsa. Dengan demikian, sila pertama benar-benar menjadi napas yang menghidupkan sila-sila lainnya, bukan sekadar teks dalam pembukaan UUD 1945.
Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah penting dengan mengundang 16 ormas Islam ke Hambalang, diikuti dengan pertemuan bersama tokoh lintas agama, partai politik, dan serikat buruh di Istana Negara. Dialog yang berlangsung dari hati ke hati itu menghasilkan kesepakatan bersama untuk menjaga stabilitas bangsa dan meredam potensi konflik.
Momentum ini perlu diapresiasi sebagai bentuk konkret menghidupkan sila pertama Pancasila. Dengan melibatkan ulama dan tokoh lintas agama secara aktif, pemerintah tidak hanya menghadirkan mereka sebagai simbol, tetapi benar-benar menjadikan agama sebagai sumber nilai strategis untuk menjaga harmoni kebangsaan.
Keterlibatan ulama dan tokoh agama dalam kehidupan berbangsa bukanlah hal baru dan tanpa alasan, sebab data menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat sangat tinggi terhadap mereka: MUI (73 persen), NU (71 persen), dan Muhammadiyah (67 persen) tercatat sebagai lembaga non-pemerintah paling dipercaya masyarakat (LSI–ICW, 2018).