
Oleh : Prof. Dr. H. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Waktu kita tidak lama lagi, setiap orang harus mempersiapkan diri dengan teliti agar selalu siap dan waspada saat hari-hari indah itu datang. Evaluasi diri menjadi sangat amat penting, ingat dunia adalah wilayah persinggahan yang sangat singkat. Jangan lengah dan tetaplah waspada, jangan pernah menunda untuk sebuah bekal kebaikan."
Tahun Baru Hijriah 1447 H membuka lembaran baru dalam perjalanan rohani umat Islam. Namun sejatinya, ini bukan hanya perihal mengganti kalender. Ini perihal menata kembali batin, memperbaiki langkah, dan meneguhkan arah. Kita semua tahu, waktu kita tidak lama lagi. Kalimat ini bukan ancaman, melainkan pengingat penuh kasih: bahwa setiap detik adalah peluang, dan setiap hari adalah kesempatan menabur amal untuk masa depan yang abadi.
Mengapa kita harus bersiap? Karena dunia ini bukan tempat tinggal abadi, melainkan wilayah persinggahan yang sangat singkat. Maka, tidak ada alasan untuk menunda amal baik. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, jangan menunggu tua baru beribadah, jangan menunggu tenang baru mendekat pada Allah. Hidup tidak pernah menunggu kesiapan kita—karena yang ditunggu justru kesiapan itulah yang akan menyelamatkan kita.
Sebagai umat Islam di Indonesia—negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia—kita patut bersyukur dan bangga. Namun kebanggaan itu tidak boleh berubah menjadi kesombongan. Justru kita punya tanggung jawab besar: menunjukkan bahwa mayoritas bisa menjadi pelindung, bukan penekan; pembawa ketenangan, bukan kegaduhan. Semangat Tahun Baru Islam semestinya bisa dirasakan juga oleh umat lain—tidak untuk mengubah keimanan mereka, tetapi untuk mengalirkan kesejukan, menunjukkan bahwa Islam di negeri ini adalah rahmat, bukan ancaman.
Namun sayangnya, sebagian dari kita masih terjebak dalam cara dakwah yang mencederai hati. Kita melihat bagaimana media sosial, mimbar, dan ruang publik kadang diisi oleh suara-suara keras: menghina keyakinan orang lain, mencaci pilihan berbeda, dan memelihara dendam atas nama kebenaran. Padahal dakwah yang menyakiti akan menutup pintu hati. Dakwah yang merendahkan justru menjauhkan umat dari Islam itu sendiri. Kita perlu kembali pada akhlak Rasulullah: menyampaikan dengan lembut, tapi menggugah. Menegur dengan hikmah, tapi membangkitkan. Di sinilah letak moderasi: bukan melemahkan iman, tapi menguatkan adab.
Sebagai Guru Besar Moderasi Beragama di Busan University of Foreign Studies (BUFS), saya berinteraksi dengan mahasiswa dan cendekiawan dari berbagai bangsa dan agama. Dari dialog-dialog itu, saya belajar bahwa dunia menaruh harapan besar pada Islam Indonesia. Harapan pada Islam yang tidak keras kepala, tetapi teguh pada pendirian. Islam yang tidak alergi pada perbedaan, tetapi tumbuh subur di tengah kemajemukan, yang diciptakan oleh Allah SWT.