
Oleh : Iskandarsyah Siregar, Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di waktu belakangan ini, ruang publik kita riuh dengan berbagai peristiwa yang menggugah perhatian banyak kalangan, terutama terkait situasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Berbagai polemik yang bermunculan, baik yang bersifat kebijakan internal maupun yang melibatkan purnawirawan, telah menimbulkan pertanyaan besar: apa sebenarnya yang sebenarnya sedang terjadi disana?
Dalam situasi yang semakin kompleks ini, Kita harus lebih cerdas dan bijaksana menatap dan meneropong persoalan ini. Kita tidak bisa menjamah sekadar fenomena dari apa yang tampak di permukaan, tetapi juga dari sudut pandang yang lebih reflektif dan mendalam. Dengan kata lain, kita tidak bisa hanya melihat gejalanya saja, tapi harus mulai menemukan diagnosisnya.
Sebelum masuk ke pokok persoalan, ada hal yang harus kita pahami dan sepakati sejak awal: perang proxy dan strategi adu domba bukan sekadar teori konspirasi. Kedua hal tersebut merupakan kenyataan yang selalu terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, termasuk dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Bangsa kita, dengan segala kekayaan alam, posisi strategis, dan keragaman sosialnya, adalah sasaran empuk bagi aktor-aktor global maupun domestik yang ingin memecah belah dari dalam.
Infiltrasi melalui jalur politik, ekonomi, budaya, bahkan militer bukan lagi hal baru. Justru inilah ancaman yang paling berbahaya karena sering kali sulit dikenali dan tidak kasatmata. Ibarat seorang gadis cantik, Indonesia selalu diperebutkan oleh banyak pihak. Bahkan, jika ada yang sakit hati karena gagal dalam persaingan, meniadakan kesempatan bagi yang lain adalah pilihan yang diambil. Istilahnya: kalau bukan saya yang dapat, tidak ada yang boleh menikmati.
Fenomena terkini yang terasa menyita perhatian adalah apa yang terjadi di tubuh TNI. Kita menyaksikan sebuah institusi yang selama ini dikenal solid, kompak, kokoh, dan menjadi kebanggaan bangsa, kini tampak mengalami gesekan internal yang cukup tajam. Kasus revisi mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo, misalnya, menjadi contoh yang banyak dibicarakan publik. Keputusan yang seharusnya bersifat internal dan administratif justru menjadi konsumsi publik dan menimbulkan kesan bahwa ada ketidakstabilan di lingkaran kepemimpinan militer.
Tak kalah menarik adalah dinamika dan wacana yang berkembang terkait pandangan, pernyataan, dan manuver para purnawirawan. Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang melibatkan suara-suara keras dari beberapa purnawirawan, menunjukkan adanya ketegangan dan keresahan yang nyata.
Di sisi yang lain, ada yang segera pasang badan untuk mempertahankan status quo dengan argumen ketaatan pada konsensus dan konstitusi. Publik melihat bahwa para purnawirawan yang seharusnya menjadi pilar kebijaksanaan, justru terlibat dalam perdebatan terbuka yang kerap kali bersifat tajam. Ini meresahkan. Ibarat anak-anak yang melihat kedua orangtuanya bertengkar dan berada dalam kubu yang berbeda. Tentu saja ini memunculkan tanda tanya besar: mengapa hal seperti ini bisa terjadi, dan siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Inilah yang harus dijawab di awal proses analisis fenomenologi.
Pertanyaan krusial yang muncul dan menjadi ciri khas dalam pendekatan fenomenologi adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari semua fenomena ini? Fenomenologi tidak berhenti hanya pada melihat kejadian, tetapi juga menggali makna dan motif di balik kejadian itu. Dalam setiap konflik atau ketegangan, hampir selalu ada aktor yang memetik manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Fenomenologi berusaha menelaah secara holistik tiap-tiap fenomena yang eksis. Oleh karena itu, ketika melihat fenomena pecahnya soliditas di tubuh TNI atau gesekan di antara purnawirawan, kita perlu bertanya: adakah tangan-tangan tak terlihat yang sengaja memancing di air keruh? Siapa mereka? Dimana mereka? Jawabannya: Mereka bisa siapa saja. Bisa ada di dalam atau di luar. Bisa berada di tengah, belakang, atau bahkan di pucuk teratas. Mereka bisa saja yang mau mengambil alih. Mereka juga bisa yang takut kehilangan. Atau, mereka bisa saja seperti iblis, hanya dengki. Senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
TNI selama ini adalah simbol persatuan bangsa. Ia seperti tali yang merajut lidi-lidi menjadi sapu yang kuat. Bayangkan jika tali itu putus—lidi-lidi yang tadinya kokoh bersatu akan tercerai-berai, rapuh, dan mudah dipatahkan. Itulah mengapa, memecah belah TNI berarti memecah belah Indonesia. Siapa pun yang memahami sejarah bangsa ini akan sadar bahwa kekuatan Indonesia tidak hanya terletak pada sumber daya alam atau jumlah penduduknya, tetapi justru pada kuatnya institusi-institusi strategis, salah satunya adalah TNI.
Oleh karena itu, situasi yang kita hadapi saat ini sebenarnya amatlah berbahaya jika tidak segera disadari dan disikapi dengan bijaksana. TNI harus mampu melihat persoalan ini sebagai ujian besar, bukan sekadar konflik sesaat. Ini bukan soal siapa yang paling berpengaruh, siapa yang punya jaringan lebih kuat, atau siapa yang sedang naik daun. Ini adalah persoalan nasib lembaga TNI itu sendiri dan, lebih jauh lagi, ini adalah tentang masa depan bangsa Indonesia.
Kesadaran ini harus tertanam kuat dalam setiap elemen TNI, dari yang paling senior hingga yang paling junior. Jangan sampai institusi sebesar dan sepenting ini terseret ke dalam pusaran politik praktis yang hanya akan menggerogoti fondasinya dari dalam. Setiap langkah dan kebijakan harus selalu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok mana pun.
Namun, tanggung jawab ini tidak hanya ada di pundak TNI. Rakyat dan seluruh unsur bangsa lainnya juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Kita harus menjadi mitra kritis sekaligus mitra setia yang mendukung TNI untuk memulihkan dirinya dan kembali pada khitah sebagai penjaga persatuan dan kedaulatan negara. Jangan biarkan isu-isu yang berkembang di luar sana menjadi senjata yang memecah belah, baik di internal TNI maupun di masyarakat luas.
Salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi hari ini adalah banjir informasi dan disinformasi. Media sosial, yang pada satu sisi menjadi alat komunikasi yang efektif, di sisi lain juga menjadi medan perang opini yang brutal. Berita-berita yang belum tentu valid, narasi-narasi yang menggiring opini publik tanpa dasar yang kuat, semua itu berpotensi memperkeruh keadaan. Di sinilah literasi publik menjadi sangat penting. Masyarakat harus cerdas dalam memilah dan memilih informasi, tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang sengaja dihembuskan untuk memperlemah ketahanan nasional.
Jika kita belajar dari sejarah, banyak negara yang hancur bukan karena diserang dari luar, tetapi karena keropos dari dalam. Kehancuran internal sering kali bermula dari hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi strategis, salah satunya adalah militer. Maka, menjaga soliditas dan integritas TNI adalah tugas bersama. Jangan sampai bangsa ini jatuh ke lubang yang sama hanya karena kita lengah atau terlena.
Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi bahwa fenomena yang terjadi saat ini adalah alarm keras bagi kita semua. Ini adalah momen reflektif yang harus disikapi dengan kepala dingin dan hati yang jernih. TNI harus segera membenahi dirinya, memperkuat soliditas internal, dan kembali mengokohkan perannya sebagai perekat dan penjaga persatuan bangsa. Rakyat dan unsur bangsa lain juga harus bersatu padu mendukung TNI agar tetap menjadi garda terdepan yang tangguh dan terpercaya.
Kita semua harus ingat: Indonesia terlalu besar untuk dikorbankan demi ambisi sesaat. Dan TNI terlalu berharga untuk dibiarkan goyah oleh aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab. Mari kita jaga bersama kekuatan ini, demi masa depan Indonesia yang berdaulat, adil, dan bermartabat.