Ahad 04 May 2025 21:41 WIB

Polemik Bansos Bersyarat Vasektomi dari Sudut Pandang Islam

Penanggulangan kemiskinan harus menghormati martabat manusia.

Warga antre menerima bantuan sosial. Gubernur Jawa Barat mewacanakan syarat vasektomi bagi penerima bansos.
Foto: ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Warga antre menerima bantuan sosial. Gubernur Jawa Barat mewacanakan syarat vasektomi bagi penerima bansos.

Oleh: Dr Salahuddin El Ayyubi, Dosen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB University & Peneliti CIBEST

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini, jagat maya Indonesia dihebohkan dengan wacana kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ia mengusulkan agar pria juga ikut berpartisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB) melalui prosedur vasektomi bahkan menjadikannya sebagai syarat utama bagi keluarga prasejahtera untuk bisa menerima bantuan sosial (bansos) dan berbagai bantuan pemerintah lainnya di wilayahnya. 

Tentu saja, usulan ini memicu perdebatan sengit dan menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Menurut pak Gubernur, gagasannya muncul berdasarkan pengamatan lapangan bahwa seringkali keluarga dengan kondisi ekonomi sulit namun memiliki jumlah anak yang sangat banyak. Kondisi ini dinilai memberatkan keluarga itu sendiri dan juga anggaran negara, terutama mengingat tingginya biaya persalinan saat ini. 

Beliau menambahkan, bahwa tanggung jawab ber-KB jangan selalu dibebankan kepada perempuan, tetapi juga dibutuhkan peran aktif suami atau ayah dalam KB melalui vasektomi. Melalui langkah kebijakan ini diharapkan bantuan pemerintah seperti bansos tunai, bantuan listrik, beasiswa anak, hingga perbaikan rumah, bisa didistribusikan lebih merata dan tidak terkonsentrasi pada keluarga yang sama. Bahkan ia menjanjikan akan memberikan insentif khusus yaitu Rp 500.000 bagi pria yang bersedia divasektomi dalam program yang akan dijalankan ini. 

Badai Kritik: Pelanggaran HAM hingga Norma Agama

Meski didasari niat baik untuk mengatasi kemiskinan dan mendorong kesetaraan gender dalam KB, tentu saja perlu untuk ditelaah lebih lanjut dari berbagai sudut pandang. Sebagian kalangan menilai kebijakan vasektomi yang dikaitkan dengan bantuan sosial melanggar etika medis dan HAM karena dianggap sebagai bentuk “pemaksaan terselubung”. Hal ini mencederai hak individu untuk menentukan pilihan reproduksinya secara bebas dan hak atas otonomi tubuh. Prinsip informed consent (persetujuan tindakan medis yang bebas dan terinformasi) juga terancam, karena tekanan ekonomi bisa membuat persetujuan tidak lagi murni sukarela. Komnas HAM bahkan menyebut kebijakan ini diskriminatif karena secara spesifik menargetkan kelompok miskin.  

Dari sudut pandang sosiologi, kebijakan ini diprediksi berpotensi menimbulkan resistensi budaya terutama masyarakat Sunda yang memandang anak sebagai anugerah yang harus disyukuri, dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Kebijakan ini juga dikhawatirkan menambah beban keluarga miskin yang mungkin menolak vasektomi karena alasan pribadi atau keyakinan, namun di sisi lain membutuhkan bansos. Ditambah lagi mengaitkannya dengan program KB dengan paksaan bisa merusak citra program KB nasional yang selama ini dibangun atas dasar kesukarelaan.  

 Agama Islam sendiri memandang bahwa sterilisasi permanen (vasektomi dan tubektomi) dihukumi haram (terlarang) karena dianggap mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), sekaligus menghilangkan fungsi reproduksi secara permanen. Salahsatu dalil yang diungkap adalah analogi terhadap praktik pengebirian pria (al-Khisa’) yang secara tegas dilarang dalam Islam melalui hadis Ibnu Mas'ud RA, “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu, kami bertanya kepada Nabi SAW, 'Bolehkah kami melakukan pengebirian?'. Maka Nabi SAW melarangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban). Selain itu, ide ini bertentangan dengan tujuan pernikahan itu sendiri (Maqashid an-Nikah) yaitu untuk memperoleh keturunan (hifz an-nasl) yang akan melestarikan umat dan membangun peradaban. 

Dalam konteks keluarga berencana, fikih Islam membedakan antara tanzhim an-nasl (mengatur keturunan) yang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, dan tahdid an-nasl (membatasi keturunan secara permanen) yang jelas terlarang terutama jika menggunakan alasan kemiskinan dan keterbatasan ekonomi. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra’: 31). Membatasi keturunan karena takut miskin dianggap sebagai bentuk keraguan terhadap janji Allah SWT. 

Fikih Islam memang mengenal prinsip dharurah (keadaan darurat) yang membolehkan menempuh hal haram demi menghindari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sterilisasi, para ulama sepakat bahwa dharurah yang dibolehkan adalah kondisi dimana kehamilan dapat mengancam nyawa atau kesehatan ibu secara serius berdasarkan rekomendasi dokter. Sehingga alasan kesulitan ekonomi atau kemiskian tidak termasuk dalam kategori dharurah yang membenarkan sterilisasi permanen.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tahun 2012, memang memungkinkan vasektomi menjadi mubah (boleh) tapi dengan syarat yang sangat ketat yaitu adanya jaminan bahwa prosedur bisa dibalik (rekanalisasi) dan fungsi reproduksi pulih seperti semula. Tentu saja syarat “jaminan” ini menjadi sulit dipenuhi sulit dipenuhi, sehingga tujuan KB haruslah sebagai bagian dari tanzhim an-nasl (mengatur kelahiran) dan bukan tahdid an-nasl (membatasi permanen). Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga memiliki pandangan yang sama, yaitu melarang adanya tindakan yang menyebabkan kerusakan permanen pada fungsi reproduksi dan meragukan kepastian (muhaqqaqah) keberhasilan rekanalisasi.

Persoalan Bansos yang awalnya adalah tanggungjawab negara dan menjadi hak warga negara yang miskin berubah menjadi sebuah ‘hadiah’ yang hanya diberikan kepada mereka yang bersedia melakukan vasektomi. Tentu saja ini menjadi sebuah preseden yang berbahaya kedepannya, karena negara dapat saja menetapkan persyaratan medis atau biologis lainnya sebagai syarat bagi rakyatnya untuk dapat mengakses layanan publik lainnya. Hal ini akan mengarah kepada bentuk kontrol sosial yang diskriminatif dan berpotensi menjadi praktik eugenika berbasis kelas ekonomi atau status sosial lainnya. 

Zakat Produktif sebagai Alternatif yang Lebih Etis dan Islami

Kelihatannya memang sederhana, memiliki banyak anak apalagi dengan jarak yang begitu dekat cukup memberatkan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Tapi, menyederhanakan bahwa “keluarga miskin anaknya banyak” menjadi penyebab utama kemiskinan adalah kesimpulan yang terlalu terburu-buru. Kemiskinan itu sendiri lah yang menjadi penghalang untuk mengakses pendidikan yang setara, pekerjaan yang layak, dan layanan kesehatan yang berkualitas.

Gubernur Dedi Mulyadi jangan tergesa-gesa men simplifikasi kan yang bisa jadi menarik secara politis, tetapi mengalihkan perhatian dari kegagalan kebijakan struktural yang lebih fundamental seperti penciptaan lapangan kerja berkualitas, pemerataan akses pendidikan dan kesehatan, dan lainnya. Sebaiknya, pak Gubernur fokus saja pada pemberdayaan ekonomi keluarga pra sejahtera yang komprehensif dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja yang layak dan produktif di sektor formal dan informal dan inisiatif pemberdayaan ekonomi lainnya. 

Ide yang menarik untuk difikirkan juga adalah potensi sinergitas antara program zakat dan program bansos pemerintah melalui integrasi data mustahik penerima bantuan yang akurat sehingga menghindari terjadinya duplikasi penerima. Modal yang bisa dikembangkan adalah program bansos disalurkan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar, kemudian mustahik potensial diarahkan kepada program zakat produktif atau juga sebaliknya. Kerjasama ini tentu saja membutuhkan koordinasi yang kuat antara pemerintah dan organisasi pengelola zakat terutama pada proses transisi penerima bansos ke program zakat produktif atau sebaliknya. Zakat produktif hadir sebagai alternatif yang lebih etis dan Islami dalam upaya pengentasan kemiskinan dibandingkan kebijakan yang bersifat memaksa atau memberikan bantuan dengan persyaratan problematis. Pendekatan ini berfokus pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas mustahik melalui pemberian sumber daya dan dukungan untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha mandiri. Zakat produktif menghargai martabat dan pilihan individu, mendorong partisipasi sukarela, serta bertujuan membuka peluang ekonomi, bukan mengontrol aspek personal mustahik. Pendekatan ini selaras dengan maqashid syariah dengan membantu mustahik memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka secara lebih baik melalui peningkatan kemampuan ekonomi. Dengan demikian, zakat produktif bukan hanya sesuai dengan norma Islam, tetapi juga unggul secara etis karena mengedepankan pemberdayaan, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Penutup 

Kompleksitas masalah kemiskinan yang kita hadapi tetap memerlukan kebijakan yang memberikan penghormatan terhadap martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal, daripada terjebak dalam solusi instan yang kontroversial dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Benang kusut kemiskinan perlu lebih dari sekadar kebijakan parsial; tetapi membutuhkan strategi terpadu (integrated approach) sehingga solusi yang muncul bersifat multidimensi dan terintegrasi. Integrasi program zakat produktif dengan program bansos pemerintah bukan sekedar mengurangi angka kemiskinan tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang mandiri, berdaya, dan bermartabat. Pemberdayaan mustahik untuk menjadi agen perubahan dalam kehidupan tidak hanya memutus rantai kemiskinan antargenerasi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemandirian dan tanggung jawab sosial. Semua elemen ini saling terkait dan membentuk sebuah ekosistem kebijakan dan tidak mengabaikan salah satu pilar atau menjalankannya secara terpisah yang akhirnya akan melemahkan dampak keseluruhan dari upaya pengentasan kemiskinan itu sendiri. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement