Ahad 27 Apr 2025 06:02 WIB

Pendidikan Fairness, Kewarganegaraan, dan Zonasi Sekolah

Sistem zonasi menyisakan PR yang tidak sedikit.

Fajar Suryawan
Foto: dokpri
Fajar Suryawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Suryawan, PhD*

Bulan-bulan ini semua orang tua siswa kelas 6 dan kelas 9 disibukkan dengan pencarian sekolah baru untuk putra-putrinya. Semua orang tua itu pada umumnya ingin menyekolahkan di sekolah yang terbaik demi masa depan. Bangsa Indonesia, lewat pemerintahannya, juga berkepentingan untuk mendidik putra-putri bangsa ini untuk menjadi generasi penerus yang cerdas, trampil, dan jujur.

Dekade demi dekade berlalu. Berawal dari urutan berdirinya, timbullah sekolah-sekolah favorit di semua tingkat. SMP dan SMA favorit menjadi sasaran daftar utama, dan ini memungkinkan mereka untuk menjaring dan menyeleksi peserta didik baru yang paling pintar.

Semakin banyak murid cerdas yang mendaftar, semakin lebih banyak lulusan yang terlihat pintar, dan semakin banyak lagi calon peserta didik yang mendaftar di tahun-tahun berikutnya. Kefavoritan sebuah sekolah umumnya akan semakin kuat mengakar. Untuk level SMA, hal ini lebih dikuatkan lagi oleh kenyataan bahwa perguruan-perguruan tinggi negeri (PTN) akan memilih bibit unggul lewat SNBP berdasarkan histori tahun-tahun sebelumnya. Maka semakin bergegaslah para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di SMA favorit itu.

Sekolah yang tidak favorit akan tetap menjadi tidak favorit dan sekedar cadangan saja. Peserta didik yang diterimanya umumnya adalah kualitas nomor dua. Atmosfer belajar tidak sesegar di sekolah favorit. Guru-guru juga tidak sesemangat di sekolah favorit.

Ada yang berargumen bahwa sekolah favorit bisa berprestasi karena bibitnya sudah unggul. Andai saja murid-murid pintar itu semuanya bersekolah di suatu sekolah non-favorit, pasti jugalah lulusannya akan berprestasi. Mendidik anak cerdas lebih mudah dan lebih memberi semangat guru!

Kefavoritan suatu sekolah (dan, dengan demikian, ketidakfavoritan sekolah lain) menjadi kegelisahan bagi banyak orang. Pendidikan berkualitas dan atmosfer belajar yang kuat merupakan hak bagi semua anak. Semua sekolah berhak mendapatkan bibit-bibit unggul. Anak-anak yang belum unggul harus belajar bersama anak-anak yang sudah unggul agar tumbuh bersama-sama.

Maka lahirlah ide zonasi. Semua sekolah negeri menerima peserta didik baru utamanya dari yang dekat-dekat. Lebih dekat lokasi rumah, akan lebih berpeluang masuk ke sekolah itu. Tidak pintar tidak apa-apa. Namun sekolah juga masih diberi kesempatan untuk menerima peserta didik yang rumahnya jauh, lewat jalur prestasi dan jalur keluarga miskin. Semua ini diharapkan akan mendistribusikan anak-anak pintar ke semua sekolah-sekolah yang ada, membangun atmosfer positif di semua sekolah, menghilangkan favoritisme, dan akhirnya memutus rantai kebodohan/kemiskinan.

Sistem zonasi mempunyai keuntungan tambahan: berkurangnya kemacetan lalu lintas saat mengantar dan menjemput sekolah, serta tereduksinya emisi BBM. Sistem zonasi juga membuat sekolah swasta dapat lebih membuat diferensiasi positif untuk lebih menarik peserta didik baru, bahkan dari seluruh Indonesia.

Lebih jauh lagi dalam upayanya menghilangkan favoritisme sekolah, pemerintah lewat Kemendikbud menghapus ujian nasional di akhir masa belajar di SD, SMP, maupun SMA. Ini memang mempunyai efek, salah satunya, mengaburkan indikator akhir pembelajaran sehingga masyarakat tidak langsung bisa mengindera sekolah mana yang lebih bagus.

Namun sistem zonasi menyisakan PR yang tidak sedikit dan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. Betapa banyak orang tua siswa yang pindah surat kependudukan agar anaknya bisa masuk sekolah (yang masih dianggap) favorit. Tidak benar-benar pindah rumah, tapi hanya titip nama di Kartu Keluarga seseorang yang tinggal dekat suatu sekolah.

Tidak sedikit pula orang tua siswa yang mencari surat keterangan miskin hanya supaya anaknya diterima di sekolah favorit yang ditarget, padahal hidupnya sangat berkecukupan. Gawatnya, upaya-upaya tak terpuji di atas seringkali berhasil. Sekolah hanya bisa pasrah ketika menerima surat-surat keterangan asli tapi palsu itu.

Kecurangan di atas menjadi rahasia umum dan sangat menyakiti hati banyak pihak yang ingin berjuang dalam koridor aturan yang ada. Ini juga mengirim pesan berbahaya kepada generasi muda kita: bahwa kecurangan itu oke saja untuk mendapatkan yang diinginkan. Tidak ada konsekuensi. Kita dengan semua itu sedang membangun peradaban berisi kelicikan dan korupsi. Sungguh sangat menakutkan. Bagaimana membaca semua ini, dan apa yang bisa diusahakan di masa depan?

Sistem berbasis prestasi murni, yang memakai hasil ujian nasional untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, akan dianggap fair oleh anak yang pintar dan oleh keluarga yang terbiasa mendidik anak-anaknya dengan semangat belajar. Sistem zonasi dianggap fair oleh anak yang berpotensi, namun tidak berasal dari keluarga yang menekankan proses akademik.

Sistem zonasi (ataupun rayonisasi) sebenarnya bagus dengan alasan-alasan yang sudah diutarakan di atas. Namun perlu diingat, dan ini sangat penting, bahwa sistem zonasi mempunyai syarat-syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka masalah tidak akan teratasi dan kecurangan akan terjadi terus menerus; upaya pencegahan hanya bersifat tambal sulam. Semua syarat ini berpusat pada satu tema, yakni fairness.

Pertama, semua sekolah di tingkat yang sama harus mempunyai fasilitas yang sama. Dari sisi bangunan, sarana dan prasarana pendukung, sampai kualitas gurunya. Jika semua SMP dan semua SMA setara kualitasnya, maka siswa akan rela sekolah di mana saja. Yang terjadi selama ini adalah seorang anak yang tinggal jauh dari pusat kota (tempat sekolah favorit berada) akan bernasib bersekolah di SMA dengan fasilitas lebih rendah daripada temannya yang tinggal di pusat kota.

Kedua, persebaran lokasi sekolah yang merata di seluruh penjuru kota/kabupaten dengan jumlah bangku yang memadai. Kualitas yang setara dan persebaran yang merata adalah kondisi ideal untuk sistem zonasi. Ada sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang mempunyai empat buah SMP yang berdekatan, dalam radius beberapa ratus meter saja. Dalam kasus seperti ini, maka SMP yang sudah favorit akan terus jadi favorit dan yang tidak favorit akan terus tidak favorit.

Anak yang tinggal di sekitar daerah itu akan punya banyak pilihan, anak yang tinggal jauh dari daerah itu (dan tidak ada SMP lain di sekitarnya) akan harus berebut. Tujuan zonasi menjadi pudar dan terkalahkan. Diakui, lokasi sekolah-sekolah negeri yang ada di kabupaten itu selama ini memang tidak dirancang untuk sistem zonasi.

Ketiga, dukungan tingkat pendidikan di atasnya. Sudah cukup lama SMA-SMA negeri memberlakukan sistem zonasi. Namun yang cukup mengherankan adalah PTN-PTN seakan-akan menutup mata akan hal ini. Alangkah fair, jika saat angkatan pertama zonasi lulus SMA, PTN segera mengkaji ulang penerimaan jalur SNBP-nya.

Alih-alih mengkaji, kebanyakan PTN tetap saja menerima mahasiswa SNBP dengan pola yang sama yang menunjukkan favoritisme. Hal ini melestarikan favoritisme sekolah yang menyebabkan orang tua terus saja melakukan segala hal untuk menyekolahkan anaknya di SMA favorit dengan cara-cara tidak terpuji, dan lalu memudarkan semangat penyebaran kualitas.

Keempat, penegakan sanksi terhadap siswa yang masuk dengan curang. Memang kondisi non-ideal yang ada selama ini membuat banyak orang berebut bangku sekolah favorit, meski di sistem zonasi. Kondisi lapangan yang tidak fair membuat orang mencari celah yang bisa diakali. Maka menjadi kewajiban penyelenggara pendidikan untuk menegakkan spirit aturan ini. Misal, dalam satu bulan sesudah penerimaan peserta didik baru, semua alamat diinspeksi mendadak untuk melihat apakah benar sang siswa tinggal di alamat itu, dan apakah kondisi ekonominya memang seperti yang dideklarasikan. Jika terbukti curang, akan dikeluarkan.

Pemerintah, sebagai pengelola sumberdaya, berkesempatan untuk membangun peradaban berkeadilan dengan meng-acknowledge isu ini dengan berusaha penuh untuk memenuhi kondisi-kondisi di atas. Pemerintah berkesempatan untuk mendidik masyarakat, tidak lewat bangku sekolah, namun lewat kebijakan dan wacana publik. Pendidikan fairness untuk publik tidak kalah penting dengan pendidikan formal. Atmosfer keadilan dan fairness akan mendorong orang untuk juga berbuat adil dan fair kepada sesama dan kepada sistem kenegaraan.

Tentu, tidak mudah untuk mewujudkan syarat-syarat di atas. Apa yang harus dilakukan pemerintah daerah (pemda) jika syarat-syarat di atas sulit untuk dipenuhi dalam waktu dekat? Maka ini masuk pada wacana berikutnya: komunikasi terbuka antara penyelenggara negara dan warga negara. Sebuah civic discourse.

Pemda harus tetap berusaha mewujudkan syarat-syarat di atas. Namun karena perubahan-perubahan itu tidak bisa dilakukan dalam sekejap, maka pemda harus mengkomunikasikan rencana dan timeline mewujudkan kondisi-kondisi sistem zonasi itu. Bahwa rencana penyebaran SMP ke seluruh penjuru kabupaten akan dilakukan dalam sekian tahun mendatang. Bahwa peningkatan dan penyetaraan fasilitas semua SMA akan dilakukan dengan strategi begini. Bahwa kualitas guru akan ditingkatkan, dan guru-guru kreatif teladan akan disebar dengan cara begitu. Bahwa PTN akan berkoordinasi dengan Kemendikbud terkait SNBP di sistem zonasi ini. Bahwa sanksi betul-betul akan dijalankan. Dan seterusnya.

Diskusi-diskusi publik di atas akan melegakan hati masyarakat, membuat semua orang kembali dapat menaruh kepercayaan kepada sistem pemerintahan, dan mendidik generasi yang fair dan berkeadilan. Tentu, semua janji pemda dalam diskusi publik ini harus dipenuhi sesuai timeline. Penjagaan fairness dengan aksi nyata dan civic discourse. Ini sangat bisa dilakukan.

*Alumni the University of Newcastle, Australia. Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tinggal di Klaten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement