
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028, Dr Otong Sulaeman M Hum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Diskusi tentang “Indonesia yang gelap” terdengar di berbagai ruang, mulai dari kampus, pengajian, warung kopi, maupun ruang keluarga.
Gelap di sini bukan sekadar kekurangan cahaya fisik, melainkan kehilangan arah kolektif yaitu ke mana sesungguhnya republik ini diarahkan?
Kecemasan ini menguat, terutama ketika ketidakpastian ekonomi global disertai dengan kinerja elite politik yang—menurut banyak pengamat—jauh dari harapan.
Di tengah suara-suara kepesimisan itu, barangkali kita perlu sejenak menoleh ke belakang, mencari cahaya dari masa lalu.
Dalam khazanah filsafat Islam, kita mengenal seorang pemikir besar abad ke-10, Abu Nasr Al-Farabi, sang al-Mu‘allim al-Tsani (Guru Kedua) setelah Aristoteles.
Tanpa Al-Farabi, Dunia Islam—dan bahkan dunia modern—mungkin tak akan pernah mengenali harta karun filsafat Yunani dengan cara yang jernih.
Al-Farabi bukan hanya penerus, melainkan juga penyelamat, penyusun ulang, dan penyaring bijak pemikiran rasional klasik dalam bingkai etika dan wahyu.
BACA JUGA: Riset Paling Mutakhir Ini Tegaskan Kembali Isyarat Alquran Adanya Kehidupan Luar Angkasa