
Oleh : Moch Arief Cahyono, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia sedang berada di persimpangan krisis pangan global. Perubahan iklim ekstrem, konflik geopolitik, serta proteksionisme pangan dari puluhan negara membuat stabilitas pasokan pangan dunia terguncang. El Niño melanda Asia dan Afrika, gagal panen terjadi di mana-mana, dan puluhan negara menghentikan ekspor bahan pokok demi keselamatan stok domestik.
Jepang, Filipina, dan Malaysia bahkan telah jatuh ke jurang krisis beras. Di Jepang, harga beras melonjak tajam, bahkan mencapai 82% dalam setahun. Untuk pertama kalinya, pemerintah Jepang melepaskan beras dari cadangan darurat akibat lonjakan harga. Kenaikan ini dipicu oleh cuaca ekstrem yang merusak produksi dan mengganggu distribusi.
Begitupun di Malaysia, kelangkaan beras lokal memicu kepanikan masyarakat. Pasokan yang menipis membuat harga beras meroket, sementara beras impor semakin membebani daya beli rakyat.
Sementara itu, harga beras yang terus melonjak membuat Filipina menetapkan darurat ketahanan pangan pada awal 2025. Menteri Pertanian Francisco Tiu Laurel Jr. mengumumkan pada 3 Februari bahwa pemerintah akan menggunakan stok cadangan untuk meredam harga hingga situasi terkendali.
Namun di tengah kepanikan global ini, Indonesia tampil berbeda. Alih-alih ikut terseret arus ketidakpastian, negeri ini justru berdiri kokoh. Stok beras aman. Harga relatif stabil. Pemerintah tidak panik. Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengatakan bahwa Indonesia dalam posisi aman, sementara negara-negara lain mengalami krisis beras.
Penyebab utama krisis ini adalah cuaca ekstrem seperti gelombang panas, gangguan distribusi, dan ketergantungan pada impor. Tiga hal yang berhasil diantisipasi dengan baik melalui kebijakan pertanian berbasis kalkulasi jangka panjang yang digencarkan oleh pemerintah Indonesia.
Di balik semua pencapaian itu, ada satu sosok kunci: Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang menempuh jalan sunyi penuh risiko demi menyelamatkan petani dan menjaga ketahanan pangan nasional.
Amran adalah sosok religius yang memegang teguh nilai-nilai Al-Qur’an, sunnah Rassul, serta aturan negara. Ia meyakini bahwa kebijakan publik yang baik harus berpijak pada akhlak, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat. Dalam banyak kesempatan, ia menyebut Nabi Yusuf sebagai panutan kepemimpinan yang visioner dan penuh integritas—suatu nilai yang ia coba bawa dalam setiap kebijakan di sektor pangan.
Maka tak heran, Mentan Amran mengambil inspirasi dari Nabi Yusuf AS yang kisahnya kita kenal sejak kecil. Pada Surah Yusuf ayat 47 dalam Al-Qur’an, tertuang strategi Nabi Yusuf AS menghadapi paceklik: “bercocok tanamlah tujuh tahun berturut-turut. Apa yang kamu panen, biarkanlah di tangkainya…”
Kisah ini bukan legenda, melainkan cetak biru manajemen krisis pangan. Prinsip itu dihidupkan kembali oleh Amran Sulaiman: menabung saat surplus untuk bertahan saat krisis. Hasilnya, di tengah ancaman kelaparan global, Indonesia mencatat lonjakan produksi beras tertinggi dalam sejarah modern.
Perjalanan Mentan Amran dalam mengadopsi petuah Nabi Yusuf AS tersebut tampak jelas saat menghadapi El Nino pada tahun 2024. Saat itu, Mentan Amran mengambil langkah ekstrim dengan mengambil langkah ekstrem. Ia memangkas anggaran perjalanan dinas dan perbaikan kantor senilai Rp1,7 triliun, lalu mengalihkannya ke program pompanisasi massal—sebuah langkah yang belum pernah dilakukan pejabat Kementan mana pun.
Dampaknya nyata, berkat kebijakan visioner Mentan Amran, satu juta hektare sawah tetap mendapat air meski musim kering melanda. Petani pun bisa panen dua hingga tiga kali setahun. Produksi padi pun melesat. Biasanya pada Agustus – Desember, produksi padi defisit. Tapi pada Agustus – Desember 2024 kemarin, produksi padi melonjak 1,49 juta ton.
Langkah Mentan Amran tak berhenti di situ. Untuk mencegah kerugian petani saat panen raya, Amran mengusulkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dari Rp5.500 menjadi Rp6.500/kg. Usulan ini langsung disetujui Presiden Prabowo tanpa pikir panjang—langkah cepat yang menyelamatkan petani dari kerugian di tengah anjloknya harga pasar.
Pada Januari 2025—bulan yang biasanya penuh inflasi—harga beras turun di bawah HPP, namun petani tetap untung. Ramadan dan Idulfitri pun dilewati dengan harga pangan yang stabil. Bulog diperintahkan tetap menyerap gabah, meski gudang penuh dan logistik tertekan. Di balik segala keterbatasan, kebijakan ini tetap dilaksanakan.
Buah manis dari kebijakan yang berpihak kepada petani itu adalah Serapan Bulog mencapai 841.000 ton hingga April 2025, naik lebih dari 2.000% dibanding periode sama sejak tahun 2015–2024. Secara psikologis pun dampaknya luar biasa. Petani tetap semangat panen dan mengikuti program percepatan tanam yang langsung digiatkan setelah panen raya. Jaminan harga terbukti menjadi energi positif bagi petani—dan Mentan Amran memastikan itu terjaga.
Dengan perhatian yang sangat besar terhadap petani tersebut, produksi padi ikut terdongkrak. Berdasarkan prediksi Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi periode Januari-April 2025 diprediksi mencapai 24,22 juta ton GKG, menjadi yang tertinggi dalam 7 tahun terakhir, naik 26,02% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Melawan Arus Global: Kebijakan Tak Populer yang Membuahkan Hasil
Capaian yang diraih negara kita yang menjadi anomali di tengah krisis pangan global merupakan hasil dari keberanian Mentan Amran melawan arus global. Di saat negara lain menambah kuota impor, Indonesia justru menolak. Mentan Amran mendorong produksi padi nasional, bahkan menggelorakan semangat para petani dalam berproduksi. Di hilir, Mentan Amran turut “memaksa” Perum Bulog untuk menyerap gabah lokal, meski gudang hampir penuh. Demi meningkatkan efektifitas penyerapan gabah petani, pemerintah pun membekali Bulog dengan anggaran Rp16,6 triliun sehingga Bulog bisa memenuhi target penyerapan gabah setara 3 juta ton beras.
Tak hanya itu, distribusi pupuk pun dirombak. Dulu, urusan pupuk berbelit karena melewati birokrasi 12 kementerian. Sekarang sesuai dengan ide Mentan Amran yang diperkuat oleh instruksi Prabowo, pupuk bisa langsung dari pabrik ke tangan petani. Ini bukan sekedar penyederhanaan birokrasi, tapi menjadi revolusi kebijakan yang telah dinantikan petani selama puluhan tahun.
Kebijakan Mentan Amran tidak selalu populer. Butuh keberanian dan mental baja karena banyak pihak yang terganggu zona nyamannya. Jajaran pejabat di pemerintahan dan BUMN pangan harus bekerja lebih keras dan tidak kenal waktu untuk mengimplementasikan kebijakan di lapangan. Sementara banyak pengusaha, terutama para mafia berkerah putih yang gerah karena kebijakan Mentan Amran telah mengurangi keuntungan mereka.
Namun di lapangan, petani bersorak: distribusi pupuk lancar, produktivitas meningkat. Lagi-lagi, Mentan Amran membuktikan keberpihakan kepada petani, kelompok masyarakat yang selama ini termarjinalkan.
Dari Krisis ke Ekspor: Mimpi Yusuf yang Jadi Nyata
Jika Nabi Yusuf mengubah Mesir menjadi eksportir gandum, Amran punya mimpi serupa untuk Indonesia: dari swasembada menuju ekspor.
Dengan program cetak sawah, benih tahan kering, dan penggiatan korporasi petani melalui koperasi merah putih, ketergantungan pada impor diputus perlahan. Namun tantangan tetap ada: Harga gabah di beberapa lokasi masih di bawah HPP. Selain itu, wacana impor beras yang selalu mengintai.
Krisis pangan bukan takdir, melainkan ujian kepemimpinan. Dan Amran Sulaiman telah membuktikan bahwa dengan kalkulasi visioner, keberanian mengambil risiko, serta keberpihakan kepada petani, Indonesia bisa keluar dari krisis.
Pemerintah diuji: tetap teguh mencontoh Yusuf dengan menyimpan stok strategis, atau tergoda jalan pintas dengan impor. Kuncinya ada pada konsistensi dan keberanian—dua hal yang terus ditunjukkan Mentan Amran.
Seperti yang pernah diutarakan Mentan Amran, “Krisis sudah kita lewati. Sekarang waktunya melompat!” Maka sudah tidak tepat bila kita masih bergulat dengan wacana impor beras, justru saatnya kita mengikuti jalan Nabi Yusuf AS, menjadikan Indonesia sebagai eksportir beras.
Lompatan itu hanya mungkin jika pemerintah terus berani mengambil keputusan tak populer hari ini—demi menyelamatkan masa depan. Yusuf menyelamatkan Mesir dengan lumbung, maka Amran menyelamatkan Indonesia dengan keberanian, kebijakan tajam, dan keteguhan melawan arus.
Terus konsisten Mentan Andi Amran Sulaiman. Memegang teguh falsafah “Toddo puli” satunya kata dan perbuatan. Puang kami mendukungmu.