Sabtu 29 Mar 2025 00:13 WIB

Mudik Konstitusi

Konstitusi menegaskan kebahagiaan merupakan tujuan utama bangsa ini.

Ilustrasi pembahasan konstitusi.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi pembahasan konstitusi.

Oleh : TM Luthfi Yazid*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena Mudik sudah dikenal lama dalam masyarakat Indonesia terutama saat mudik lebaran Idul Fitri. Masyarakat Muslim khususnya pada menjelang akhir bulan Ramadan ini sudah berkemas untuk melaksanakan mudik ke kampung halamannya masing-masing. Fenomena ini biasanya ditandai dengan menumpuknya kendaraan serta macetnya perjalanan, baik darat laut maupun udara. Fenomena mudik alias pulang kampung ini dapat dijelaskan dari berbagai perspektif, baik sosiologis, kultural, religi, psikologis, politik dan lain sebagainya.

Dengan mudik biasanya mereka kembali ke kampung asalnya untuk berjumpa dengan keluarganya, sanak famili, maupun kawan-kawan lama semasa kecil. Tulisan ini mencoba memaknai mudik dari perspektif yang lain yaitu perspektif Konstitusi, UUD 1945. Di dalam pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat seperti ini: “… Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan Makmur”.

Baca Juga

Membaca pembukaan konstitusi tersebut maka para pendiri bangsa sepakat bahwa “kebahagiaan” merupakan tujuan penting dari kemerdekaan republik ini. Akan tetapi untuk menciptakan masyarakat yang berbahagia sebagaimana yang dicita-citakan itu, maka harus ada pra-kondisi yakni terwujudnya keadilan (justice). Dan ini merupakan mandat konstitusional yang harus dilaksanakan. Jika kita menengok lebih jauh ke dalam batang tubuh UUD 1945 maka yang tertera disana adalah kata “kepastian hukum yang adil” sebagaimana tertuang dalam pasal 28 D ayat 1. Hanya dengan terciptaya kepastian hukum yang adil itulah maka masyarakat akan mencapai kebahagiaan.

Cara pandang pemimpin bangsa dengan menempatkan “kebahagiaan” sebagai sebuah asa serta harapan (hope) maka hal itu menunjukan cara pandang yang futuristik. Bahkan sebelum organisasi-organisiasi internasional menyuarakan tentang Index of happiness para founding parents kita telah berbicara tentang kebahagiaan dalam konteks konstitusi. Artinya apabila kita ingin meraih kebahagiaan sebagai warga negara dan pemerintah, maka perjanjian luhur antara negara dengan rakyatnya yakni kontitusi haruslah ditegakan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement