
Oleh : Fathurrochman Karyadi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam salah satu episode program Kiswah (kajian, siniar, dan dakwah) yang digagas oleh Soul Kajian dan Soul Pesantren di Jakarta, kami hanyut dalam sebuah diskusi yang asyik dan penuh kejutan. Tema yang kami bahas sebenarnya tidak direncanakan. Tapi justru dari percakapan spontan itu, muncul sebuah momen pencerahan yang membuka kesadaran bersama tentang keilmuan dan keislaman.
Saya bertindak sebagai host, bersama Ahmad Rizal sebagai narasumber, Dr. Eng. Indarta Aji sebagai naratamu, dan dua lainnya turut aktif berdiskusi dari balik layar Dani Rahadian sebagai naratata dan Syamsuddin Uud sebagai naradaya.
Di tengah obrolan santai, kami mendapati satu pertanyaan yang terus mengemuka dan tak mudah diabaikan: apa yang sebenarnya membuat umat Islam tertinggal? Pertanyaan ini membawa kami pada akar permasalahan yang lebih dalam: kegagalan memahami hakikat ilmu. Di sinilah pemikiran Imam Syafi’i (w. 204 H) menjadi sangat relevan. Ia pernah berkata, “Ilmu itu ada dua: ilmu fikih dan ilmu kedokteran”. Kutipan ini bukan sekadar klasifikasi, melainkan cerminan pandangan integratif terhadap ilmu. Dalam Islam, tidak ada pertentangan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Keduanya adalah bagian dari satu tujuan besar: pengabdian kepada Tuhan.
Ilmu agama membimbing manusia menuju keselamatan ukhrawi dan kedekatan dengan Tuhan. Ilmu dunia, termasuk sains dan teknologi, dibutuhkan untuk mengelola kehidupan secara bijaksana dan bertanggung jawab. Keduanya harus berjalan beriringan.
Sejarah mencatat terjadinya pembelahan. Saat kolonialisme Barat masuk ke dunia Islam, ilmu dunia dikemas dalam bingkai sekuler dan disajikan sebagai “ilmu netral” yang bebas nilai. Ilmu agama kemudian didorong ke ruang privat dan spiritual semata. Inilah awal dari dikotomi ilmu, pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang hingga kini masih membebani umat Islam.
Padahal, dalam sejarah emas peradaban Islam, para ilmuwan seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rushd tidak memisahkan ilmu berdasarkan label “agama” atau “dunia”. Mereka mempelajari filsafat, logika, kedokteran, astronomi, fiqih, hingga tasawuf dalam satu kerangka besar: mencari hikmah dan ridha Allah. Dikotomi ilmu adalah warisan sistem pendidikan kolonial, bukan warisan Islam.