REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Nasihin Masha, Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Kebangsaan
Selasa, 18 Maret 2025, jagat ekonomi Indonesia diguncang oleh jatuhnya indeks harga saham gabungan, khususnya saham emiten-emiten blue chips di Bursa Efek Indonesia. Bahkan bursa sempat dihentikan melalui mekanisme trading halt, bukan sekadar suspend untuk emiten tertentu. Walau tidak terlalu dramatis seperti 1997, ada yang menyebutnya sebagai “Black Tuesday”, ada pula yang menyebutnya sebagai “Tuesday’s Horror” maupun “Tuesday’s Criminal”.
Kejatuhan saham dimulai oleh perusahaan-perusahaan milik Prajogo Pangestu dan juga milik Anthony Salim. Yang diikuti oleh saham-saham Bank BCA, Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BNI. Umumnya adalah perusahaan tambang dan perbankan. Kejatuhan bursa Indonesia ini anomali, karena di negara-negara lain justru tetap positif.
Apa sebetulnya yang sedang terjadi? Ada yang menyebutnya sebagai reaksi terhadap situasi global seperti serangan Amerika Serikat terhadap Yaman maupun kebijakan Trump, namun lebih banyak karena faktor domestik. Apa faktor domestiknya? Macam-macam. Mulai dari kondisi fiskal yang tertekan, kebijakan pemerintah yang ditolak pemodal, manajemen pemerintahan dan konflik politik, hingga soal rumor pencopotan Sri Mulyani Indrawati dari jabatan menteri keuangan. Seperti menyadari akan menghadapi situasi ini, dari awal Presiden Prabowo Subianto seperti tak peduli dengan bursa saham. Misalnya ia menyatakan bursa saham itu perjudian dan rakyat di desa tak punya saham. Semua hal itulah yang memberikan kontribusi bagi runtuhnya bursa saham. Karena itu Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad datang ke bursa saham bersama sejumlah anggota DPR dan menyatakan bahwa Sri Mulyani tidak mundur. Sore harinya Sri Mulyani juga menyatakan dirinya tidak mundur. Situasi kembali adem.
Situasi di bursa saham ini memberikan gambaran tentang kondisi pemerintahan dan politik Indonesia saat ini. Walau elitis, hal itu merupakan cermin nyata. Ada kegelisahan, ada konflik, ada pergesekan. Intinya, ada masalah.
Ada sebuah buku dengan judul yang menarik: Kawan dalam Pertikaian. Buku karya Karel A Steenbrink ini diterbitkan oleh Mizan pada 1995. Judul aslinya datar saja: Dutch Colonialism and Islam: Contacts and Conflicts in Southeast Asia. Namun pada edisi Indonesia, judulnya terasa lebih menggigit. Buku ini bercerita tentang hubungan kolonial Belanda dengan umat Islam. Kaum kolonial membutuhkan stabilitas untuk bisa menjalankan kolonialismenya dengan tenang, di sisi lain, kaum pribumi yang mayoritas beragama Islam membutuhkan jaminan eksistensinya. Terjadi tarik-ulur dan konflik, ibarat berkawan tapi saling menikam.
Fenomena serupa juga terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Jokowi melawan Megawati. Jokowi ingin menjalankan kekuasaannya sesuai yang ia mau, sedangkan Megawati hanya menempatkan Jokowi sebagai petugas partai. Terjadi tarik-menarik dan saling menggigit. Hingga kemudian, dalam batas tertentu, terjadi titik seimbang dan saling pengertian. Tentu saja karena saling menikam, maka semuanya selalu waspada. Lalu, di ujung kekuasaannya, terjadi saling tikam lagi, ketika keduanya berbeda jalan dalam menentukan siapa presiden berikutnya. Jokowi mendukung Prabowo Subianto dengan memasang anaknya sebagai wakilnya – meniru jejak Filipina, yaitu Presiden Rodrigo Duterte yang menjadikan anaknya, Sara Duterte, dipasangkan sebagai wakil presiden dengan calon presiden Bongbong Marcos, putra mantan penguasa Filipina Ferdinand Marcos. Sedangkan Megawati mendukung Ganjar Pranowo. Saling tikam Jokowi-Megawati berlanjut hingga kini. Komisioner KPK yang dibentuk di akhir masa kekuasaan Jokowi menahan Sekjen PDIP Hasto Kristianto. Padahal Hasto inilah yang banyak memberikan masukan politik kepada Jokowi saat masih berkongsi.
Kini, Prabowo menghadapi situasi yang sama dengan Jokowi. Dari awal, Prabowo memiliki arah politik yang berbeda dengan Jokowi. Jika menilik buku-buku yang ditulisnya – Paradoks Indonesia, Strategi Transformasi Bangsa, Indonesia Menang, dan Kepemimpinan Militer – visi Prabowo merupakan antitesa terhadap visi Jokowi. Prabowo ingin merombak struktur ekonomi yang ada: membangun ekonomi yang lebih nasionalistik, redistribusi ekonomi, penguatan UMKM dan koperasi, superholding BUMN untuk pemerataan ekonomi, mengintegrasikan industri kecil dengan industri besar, dan pemerataan ekonomi. Sedangkan Jokowi melanjutkan apa yang ada saja, termasuk bersimbiosis dengan oligarki. Melalui dua program andalannya, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang, Jokowi makin memuluskan laju konglomerat dalam mencengkeram ekonomi Indonesia. Bahkan di ujung kekuasaannya, Jokowi telah menjadi bagian dari oligarki itu sendiri dan menetapkan sejumlah Program Strategis Nasional (PSN) seperti di PIK 2 dan BSD. Namun tanpa Jokowi, Prabowo tak mungkin menang dalam pilpres 2024. Jokowi berbeda dengan Habibie, Megawati, dan SBY dalam menghadapi transisi politik. Ketiga Presiden ini tidak cawe-cawe dan membiarkan proses pergantian rezim berjalan natural. Sedangkan Jokowi dengan tegas melakukan cawe-cawe. Hal itu sudah ia lakukan di Solo, Jakarta, dan akhirnya dalam pilpres. Karena itu, satu-satunya pilihan bagi Prabowo untuk menjadi presiden adalah bergabung dengan Jokowi.
Lalu pertanyaannya adalah, apakah Prabowo membiarkan dirinya menjadi ayam sayur dengan terus dalam asuhan Jokowi atau ingin menjadi macan seperti yang sering dimetaforakan dirinya sendiri? Apakah Prabowo akan mengulang laku Jokowi saat menghadapi Megawati? Namun sebagai catatan, jangan lupa, ada dua hobi Prabowo yang sangat penting, yaitu memelihara kucing dan kuda. Walau memiliki cakar dan taring yang tajam dan kuat, kucing adalah binatang manja dan penurut asal diasuh dengan baik. Walau kuda adalah binatang perkasa dan kuat, namun ia tetap binatang tunggangan dan penarik beban. Hal ini berbeda dengan Jokowi yang gemar pada kodok: binatang yang paling mudah beradaptasi dan bermetamorfosis. Saat berenang, tangannya menggebah dan kakinya berkungfu.
Jenis yang Berbeda
Sebagai orang yang berpengalaman dalam babak “kawan dalam pertikaian” tentu Jokowi sudah memahami benar realitas politik baku tikam semacam itu. Namun sebelum mengulas lebih jauh tentang ini, wajar jika muncul narasi, pertama, mengapa Prabowo dan Jokowi harus menjalani laku “kawan dalam pertikaian”? Kan keduanya sama-sama pejuang dan tokoh bangsa, maka keduanya bisa bekerja sama. Narasi ini sudah disampaikan Prabowo saat pidato di acara ulang tahun Gerindra, yang berujung pada teriakan “Hidup Jokowi” dan menyanyikan lagu “Terima Kasih Jokowi”. Namun, kedua, Prabowo dan Jokowi memiliki visi yang saling berbeda dalam melihat persoalan bangsa dan dalam memberikan solusinya. Maka pertanyaannya adalah, Prabowo akan memilih pilihan yang mana dari kedua pilihan tersebut? Ada yang menarik, ada buzzer yang sudah jelas-jelas menulis “trinitas” Jokowi-Prabowo-Gibran. Artinya, selalu ada upaya kesatuan Jokowi-Prabowo.
Prabowo memang bukanlah Jokowi, situasinya pun berbeda. Apa yang dilakukan Jokowi terhadap Megawati belum tentu bisa dilakukan Prabowo. Setiap pemimpin punya gaya tersendiri dan punya cara tersendiri. Hal ini tidak mudah direplikasi karena menyangkut karakter seseorang yang melekat sejak kecil. Ada aspek keterampilan, ada faktor nyali dan mentalitas, dan ada variabel batas moral. Ketiganya sangat khas sesuai pengalaman masing-masing, sehingga sangat subjektif. Karena itu melakukan replikasi bukanlah hal yang mudah. Salah satu contohnya adalah dalam menghadapi konglomerat. Dulu, Jokowi melakukannya secara diam-diam. Jokowi telah memiliki daftar dosa para konglomerat. Daftarnya berdasarkan data objektif, misalnya soal pajak. Mereka dipanggil oleh petinggi di kementerian keuangan dan ditunjukkan daftar dosanya. Setelah itu, mereka dipanggil Jokowi ke Istana. Mereka datang sudah sebagai kambing congek, dan hanya siap mendukung Jokowi. Tapi semua dilakukan secara tertutup. Sedangkan Prabowo melakukannya secara terbuka melalui kasus tambang timah, kasus pagar laut, maupun kasus bensin oplosan. Setelah itu mereka dipanggil ke Istana. Pertemuan itu dipublikasikan secara resmi.
Selain faktor visi dan gaya kepemimpinan yang berbeda, Prabowo dan Jokowi juga memiliki banyak perbedaan lainnya. Pertama, Jokowi berlatar belakang rakyat kebanyakan, sedangkan Prabowo berasal dari keluarga kelas atas sejak dari nenek moyangnya. Kedua, Jokowi bukan berasal dari keluarga yang cukup literasi – bahkan ijazah sarjana Jokowi masih dipertanyakan hingga kini, termasuk latar belakang pendidikan Gibran Rakabumingraka yang dipersoalkan pada pilpres lalu. Sedangkan Prabowo dan keluarganya memiliki jejak literasi yang sangat kuat. Diskusi dengan Prabowo bisa panjang. Sedangkan Jokowi memiliki narasi terbatas. Ketiga, secara ekonomi, tingkat kemakmuran Jokowi sebelum menjadi Presiden sangat njomplang dengan tingkat kemakmuran Prabowo. Keempat, Prabowo adalah pendiri dan ketua umum partai, sedangkan Jokowi bukan ketua umum partai. Kelima, sebelum menjadi presiden, pengalaman Jokowi benar-benar di daerah, sehingga saat menjadi presiden, Jokowi seperti rusa masuk kampung. Butuh pengenalan. Sedangkan Prabowo sudah lama malang melintang di jagat politik nasional. Keenam, Jokowi adalah figur yang selalu menang dalam pertarungan – kecuali saat menjagokan Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta yang kalah oleh Anies R Baswedan. Sedangkan Prabowo lebih banyak kalah sejak 1998. Ia dipecat dari tentara sehingga harus mengelana di luar negeri selama bertahun-tahun dan kalah di pilpres hingga tiga kali, bahkan saat ingin maju lewat Golkar pada 2004 pun tersingkir di babak penyisihan.
Ketujuh, Prabowo hanya mendengar pendapat dan masukan dari sedikit orang atau dari orang yang ia kehendaki saja, khususnya dengan orang yang secara emosional ia merasa nyaman. Pintu masuk ke Prabowo sangat terbatas. Sedangkan Jokowi sangat terbuka dan mau mendengar masukan dan pendapat dari siapapun. Semua orang bisa merasa memiliki akses mudah ke Jokowi. Saat ini, Jokowi adalah politisi terbaik dari semua politisi. Ia dengan cepat mengolah masukan untuk kemudian diambil keputusan. Kedelapan, Jokowi adalah orang yang sangat tegas, bahkan dalam beberapa hal beyond tegas. Inilah yang kemudian ia bisa melampaui moral dan nilai. Ia beberapa kali mengubah aturan dan mengeluarkan Perppu agar secara legal-formal memiliki landasan, termasuk soal persyaratan untuk menjadi presiden/wapres. Walau Prabowo seorang tentara, bahkan dengan reputasi kasus penculikan, ternyata ia belum bisa membuktikan untuk hal semacam ini. Kesembilan, Jokowi memiliki skill teknokrasi yang lebih baik daripada Prabowo. Ia bisa memperhatikan hal-hal yang detil dan kecil, sehingga ia memiliki kemampuan mengendalikan situasi. Mungkin ini terkait dengan pengalamannya sebagai pengusaha mebel, yang harus detil terhadap produknya. Sedangkan Prabowo tak bisa sedetil itu, hal itu tampak pada kasus kisruh elpiji, kekacauan program efisiensi, bergesernya arah Danantara, dan kacaunya komunikasi publik. Salah satu keunggulan lain Jokowi adalah – ibaratnya -- mampu membuat seribu langkah dalam waktu bersamaan. Ia jago memainkan catur politik.
Dengan semua kondisi itu, maka Prabowo akan menjalankan roda kekuasaan dengan gaya yang berbeda dengan Jokowi. Dengan catatan Prabowo tetap konsisten dengan visinya, maka hanya soal waktu saja babak “kawan dalam pertikaian” antara Prabowo dan Jokowi akan menemukan bentuknya. Tapi jika ternyata keduanya masih satu jenis – cinta kuasa dan harta serta tak ada kepahlawanan -- maka “Indonesia Gelap” menjadi keniscayaan dan “KaburAjaDulu” merupakan sesuatu yang sangat disarankan.
(Bersambung)