Selasa 04 Mar 2025 16:26 WIB

Tawa Puasa

"Aku bukan kenal setahun dua tahun dengan ayah. Minta itu hanya alibi dari memaksa."

Anak berpuasa (ilustrasi)
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Anak berpuasa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sule Subaweh*

Beberapa hari sebelum bulan puasa, istri diam seharian dengan wajah ditekuk. Dia tidak mau bicara, tidak mau menatap mata saat berpapasan.

“Jangan seperti anak kecil.” Dia diam menahan dadanya saat mendengar perkataanku." Anak kita baru empat tahun, dan tidak wajib menjalankan puasa.” Katanya kemudian.

“Saya tidak mewajibkan. Kita hanya memintanya,”

“Aku bukan kenal setahun dua tahun dengan ayah. Minta itu hanya alibi dari memaksa.”

“Kita tanyakan, ngasih tahu, puasa seperti apa. Kita menunjukkan nikmatnya puasa, seperti saat kamu menunjukkan nikmatnya makan sayur kubis yang hambar hingga dia suka.”

“Tapi kalau tidak berhasil, jangan maksa ya.”

“Ya!” kataku. Bibirnya mekar seketika mendengar jawabanku.

Begitulah kegundahan rumah berubah. Seperti yang disepakati kami mulai memberitahukan perihal puasa terutama saat buka puasa. Bukan istriku jika dia tidak berhasil. Anak kami, Palian dengan suka cita meminta sendiri untuk ikut puasa dan begitulah kegundahan lain bermunculan.

Kami benar-benar tidak mengira akan menghadapi menit-menit menegangkan sejak hari pertama puasa. Pagi Palian masih berenergi meski cuaca menyengat, bibir pecah oleh angin kemarau. Siang tampak terlihat tidak bermain seperti biasa. Istri berkali-kali mengatakan bahwa puasa hanya wajib untuk orang dewasa tapi tidak wajib untuk anak kecil.

“Kenapa?”

“Kan masih kecil, takut tidak kuat. Kan tidak makan, tidak minum dan tidak boleh nangis.” Palian mengangguk saja saat mendengar penjelasan istri.

Semula kami tidak berpikir bahwa dia akan bangun sahur dan mungkin siang sudah minta makan tapi hingga menjelang sore Palian tidak meminta makan. Kami saling tatap dan lebih banyak mengamatinya dari kamar saat anak kami ke luar dari kamar mandi dengan wajah basah.

“Jangan-jangan?” kami terkesiap.

“Coba ditanya.” pintaku kemudian. Aku berada diantara was-was dan bangga. Risau melihat tubuh anak kami yang tidak begitu lancar bicar tampak lemas, jarang teriak-teriak lagi saat bermain dan, ah tentu saja itu lumrah di bulan puasa. Dia terlalu kecil untuk menjalankan puasa, begitu yang selalu dikeluhkan istri.

"Tidak apa-apa lo dik kalau mau membatalkan puasa sekarang," bujuk istri saat azan ashar berkumandang di hari ke tujuh puasa.

"Bunda juga makan?" suara Palian tampak lemah. Istriku menggelengkan kepala sambil menunjukkan senyum lebar di depannya yang tampak bingung.

"Bunda nunggu adzan magrib." jawabnya kemudian. "Adik tidak lapar?" Palian menggeleng-gelengkan kepala.

Bibirnya yang kering, sepasang mata sayu dan tubuhnya yang kurus membuat kami semakin khawatir dan sekaligus heran. Tujuh hari ikut puasa tanpa mengeluh, melahirkan kecurigaan, dia tampak biasa seperti kebanyak orang puasa, hanya menjelang berbuka tampak lamas.

Hari kesepuluh Palian masih semangat menjalani puasa tapi kami semakin khawatir dan kecurigaan semakin meruncing. Curiga telah membuat kami lebih cepat lemas, ya sangat menguras tenaga.

Karena itu diam-diam aku dan istri mengendap-ngendap dari belakang ketika Palian berjalan ke dapur. Kami berhenti di balik tembok saat Palian duduk di dapur. Dia melihat sekitar lalu duduk tanpa gairah. Kami saling tatap dengan harapan dia tidak minum atau makan sisa makanan sahur. Kami tidak mau dia melakukan kecurangan-kecurangan yang membuat kami semakin khawatir. Tidak apa berhenti, tapi jangan makan diam-diam, itu bohong namanya. Kalimat itu berkali-kali kusampaikan ke Palian. Dia mengangguk saja.

Saat Palian beranjak dan kembali ke ruang tengah, kami segera berhamburan. Dari ruang tamu kami mendengar langkahnya menuju kamar. Terdengar suara tubuhnya dijatuhkan ke kasur.

"Lemas?" Kata istri sambil mengelus kepala Palian yang tubuhnya meringkuk. Dia tampak lesu. "Lapar? Kalau mau buka boleh kok," istri memeluk badannya yang tampak mengecil.

Palian menggeleng kepala sebelum akhirnya dia keluar dan menyibukkan diri dengan mainannya. Dia seperti tidak suka dengan pertanyaan-pertanyaan istri yang menanyakan itu diulang-ulang.

"Apa mungkin dia minum saat mandi?" begitulah kecurigaanku. Ah, siapa yang tahu masuknya air ke tenggorokan seperti yang kulakukan saat masih kecil. Di danau, di kampung tempat warga mandi, setiap siang kami akan mandi di danau itu. Ya di danau itu air mengalir ke tenggorokan. Siapa yang tahu. Kami langsung bugar sebelum akhirnya lelah karena menyesal telah membatalkan puasa diam-diam.

"Coba nanti kita tanya," usul istri.

Palian selalu mandi di jam satu sebelum tidur siang. Dia selalu tampak ceria setelah keluar dari kamar mandi. Sementara sambil menunggu dia selesai mandi, aku sudah duduk di dekat kamar mandi. Istri menyiapkan baju dan handuk. Kami saling tatap dengan senyuman menyakinkan.

"Adik tidak minum kan saat mandi? Tidak menelan air yang masuk tidak sengajakan? Dan…" Sambil mengelap badan Palian, istri melancarkan sederet pertanyaan lainnya.

Palian menggelengkan kepala, "kan tidak boleh minum dan makan kan kalau puasa, iya kan, Bund?" Bukannya bahagia, kami semakin bingung dan khawatir.

Khawatir karena dia terlalu kecil. Teman-teman seumurannya tidak banyak yang puasa, kalaupun puasa, paling puasa setengah hari, sedangkan Palian tidak pernah bolong apa lagi mengeluh.

Hari kedua belas, kami sengaja tidak membangunkannya sahur. Kami menutup pintu kamar, melangkah pelan, tidak banyak bicara, hampir sunyi. Matahari sudah mulai menyala saat Palian bangun, dia melihat jam dan menangis. Tatapannya marah, tampak kekecewaan saat melihat kami. Dia tidak mau bicara sama. Kekhawatiran semakin membayangi, ketika Palian tidak mau makan saat disuruh.

"Kan puasa," jawabannya membuat kami semakin menyesal. Istri terus membujuknya dengan segala cara tapi selalu gagal.

"Ayah saja yang bujuk." pinta istri saat melihat anak kami tampak lemah dan keras kepala.

Biasanya, Palian tidak pernah absen bermain, tapi hari itu dia lebih banyak tidur dan nonton televisi. Istri menggodanya dengan game kesukaannya. Meskin istri main di dekatnya, Palian mengabaikan dan membalikkan badan sambil memeluk guling.

"Kalau Adik lapar, tidak apa-apa makan. Kan masih kecil jadi tidak apa-apa." Sambil memeluk tubuhnya yang kurus aku terus membujuknya. Dia menggelengkan kepala. Membuat kami semakin risau.

Sepanjang waktu kami terus kepikiran dan tak henti-hentinya menggodanya untuk berhenti puasa. Hingga menjelang magrib tidak satupun godaan yang kami luncurkan berhasil.

"Tiga puluh menit lagi azan," kata istri sambil mempersiapkan makanan untuk buka.

Palian melirik ke semangka yang dibelah menjadi beberapa bagian. Dia menelan ludah melihat warna merah kesukaannya itu berada tepat di depannya. Diseretnya semangka itu lebih dekat dengan kakinya yang bersilah. Dia juga meletakkan ikan lele yang krispi kesukaannya. Aroma bumbu lele menguar membuat Palian hanyut dalam bayangannya sendiri.

"Nanti Adik makan ini. Itu, ini juga, itu juga. Semuanya!" Dia menunjuk makanan kesukaannya penuh semangat.

Istri memang sengaja membeli makanan kesukaannya, selain semangka ada pula menu es krim yang jarang dihidangkan. Jeruk, apel dan anggur yang juga jarang kami hidangkan, hari itu meja makan dipenuhi dengan kesukaannya. Pelan–pelan takjil didekatkan di depan kakinya yang bersilah.

Bunyi teriakan sirine dan ketukan mike dari masjid sebelum adzan sudah terdengar, Palian segera mengangkat gelas berisi es buah. Senyumnya segar seperti buah semangka. Hati kami begitu senang melihat dia berhasil finis meski tidak sahur.

"Kok bisa Adik kuat puasanya?" istri mencubit dangunya. Palian hanya tersenyum.

"Kan kata Bunda, arti nama Palian itu kuat, gagah berani dan soleh." Jawabnya kemudian sambil mengunyah semangka.

Kami saling tatap sambil menahan tawa. Lalu ingatan kami melompat saat menjelaskan arti namanya yang sebenarnya tidak punya arti selain gabungan nama kami berdua. Tawa kami pecah diikuti tawa Palian yang tak kalah meriah.

Jejak imaji 2022-2024

*Sule Subaweh bekerja di UAD dan aktif di Komunitas Sastra Jejak Imaji. Kumpulan cerpennya "Bedak dalam Pasir" terbit 2017. Cerpen keduanya “Tidak Ada Resep Memulihkan Kehilangan” terbit 2022 di Diva Press. Saat ini mengelolah kelas menulis di Jejak Imaji. Email: sulesubaweh@yahoo.co.id.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement